Putusan
Haswandi dalam Praperadilan Hadi Poernomo
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
|
KORAN SINDO, 29 Mei 2015
Hiruk-pikuk kedua soal
putusan praperadilan melawan KPK terjadi lagi satu hari setelah Hakim
Haswandi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memutuskan KPK tidak sah
menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka. Ada pertimbangan Hakim
Haswandi yang membuat gelisah pimpinan KPK dengan menyatakan bahwa putusan
tersebut akan membuyarkan pemberantasan korupsi dengan merujuk kepada 371
perkara korupsi yang telah in-kracht.
Sejatinya dalam sistem
kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak dianut yurisprudensi sebagai sumber
hukum selain undang-undang. Selain itu, kekhawatiran pimpinan KPK berlebihan karena putusan Haswandi
tidak dapat “diberlakukan” surut. Putusan Haswandi tidak retroaktif tetapi
prospektif, itu pun jika hakim lain mengikutinya.
Tidak ada perlu ada
reaksi yang berlebihan, apalagi dengan mengatakan putusan Hakim Haswandi
mendelegitimasi status PPNS yang terdapat di kementerian/lembaga (K/L). Jika pengamat dan
pimpinan KPK cermat membaca permohonan pemohon praperadilan (HP), di dalamnya
ada permohonan terkait status penyelidik dan penyidik pada KPK. Seingat
penulis, permohonan aquo yang
pertama dimasukkan ke PN Jaksel tidak tercantum soal status penyelidik dan
penyidik, tetapi dicantumkan dalam permohonan praperadilan yang kedua. Jadi
tidak ada putusan Hakim Haswandi yang bersifat ultra petita.
Dalam kaitan status
penyelidik dan penyidik pada KPK, juga terdapat pemahaman keliru dari
pimpinan KPK. Lex specialis yang dimaksud dalam
UU KPK merujuk pada aspek historis dan teleologis mengenai latar belakang
pembentukan KPK. Dalam hal ini hanya terkait kewenangan komisioner KPK yang
luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP, bukan terkait pada status pegawai
penyelidik, penyidik dan penuntut pada KPK.
Alas hukum mengenai
hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 6 dan khususnya Pasal
12 UU KPK. Sementara status penyelidik, penyidik, dan penuntut (P3) tetap
merujuk pada KUHAP yang merupakan “payung hukum” (umbrella act) proses beracara dalam perkara pidana termasuk
perkara tipikor. Jika di dalam UU KPK tidak ditegaskan status siapa P3, yang
berlaku adalah ketentuan aquo yang
telah diatur dalam payung hukum tersebut. Tidak boleh ditafsirkan oleh
pimpinan KPK karena tidak diatur secara khusus, pimpinan KPK dapat
menafsirkan dan mengangkat sendiri karena proses peradilan harus mengikuti
secara hierarkis dan secara prosedural berpegang teguh pada sistem
kodifikasi.
Dalam kaitan
pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK (Pasal 43, 44 dan
Pasal 51 UU KPK) khususnya penyidik dan penuntut seharusnya dibaca terhubung
pada Pasal 39 ayat (3) UU KPK. Karena penyelidik, penyidik dan penuntut
diberhentikan sementara dari institusi asalnya sehingga harus ada yang mengangkat
agar dapat menjalankan fungsinya, yaitu pimpinan KPK.
Bunyi Pasal 39 ayat
(3) UU KPK jelas merujuk pada ketentuan KUHAP mengenai siapa P3 sehingga
institusi asalnya dimaksud adalah Kepolisian bagi penyelidik dan penyidik dan
kejaksaan bagi penuntut. Bahkan dalam
UU KPK, fungsi jaksa penuntut hanya sebatas penuntutan bukan penyidikan;
posisi yang berbeda ketika jaksa berada dalam lingkungan kerja kejaksaan di
mana sesuai dengan bunyi UU Nomor 6 Tahun 2004, penuntut dapat melaksanakan
fungsi penyidikan dalam tindak pidana tertentu termasuk tipikor.
Dalam UU KPK tidak ada ketentuan eksplisit menyebutkan
bahwa penuntut dapat melakukan fungsi penyidikan juga. Berdasarkan uraian
aspek hukum dari pertimbangan Hakim Haswandi, ketidakpuasan atau keberatan pimpinan KPK
seharusnya dijadikan bahan introspeksi internal KPK untuk berbenah diri
secara total. Pembenahan itu baik dari aspek manajemen perkara, proses
pengambilan keputusan melalui gelar perkara berdasarkan sistem kolektif-kolegial
dan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada prinsip hukum
“due process of law“.
Diharapkan ke depan
KPK menjalankan penegakan hukum secara bermartabat dalam pemberantasan
korupsi jika merujuk pada penetapan tiga tersangka yang tidak sah yang oleh
KPK selalu diikuti dengan proses pencekalan, pemblokiran, penyitaan yang mutati mutandis tidak sah. Akibat hukum putusan
Haswandi, tindakan KPK terhadap tiga tersangka adalah merupakan bentuk
perampasan kemerdekaan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 333 KUHP.
Putusan Hakim Haswandi hanya berdampak terhadap status
penyelidik dan penyidik pada KPK dan tidak ada kaitannya dengan status PPNS
yang telah diatur di dalam beberapa UU Sektoral yang secara eksplisit telah
dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar