Pansel
KPK
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 28 Mei 2015
Surprise ! Prediksi
banyak pihak tentang nama-nama yang bakal menjadi tim panitia seleksi
(pansel) untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meleset semua. Bahkan sangat
jauh. Sebab nama-nama yang sebelumnya beredar semuanya ”arjuna”. Kini
ternyata tim Pansel KPK seluruhnya berisi ”srikandi”. Dan ketika nama-nama
tim pansel diumumkan, seperti biasa, selalu muncul pro dan kontra. Intinya
mereka mempertanyakan kompetensi dan kapabilitas anggotanya. Tapi ini adalah
soal biasa terjadi di negeri kita. Saya tidak menganggapnya sebagai sesuatu
yang serius. Dari dulu juga begitu. Namanya juga numpang tenar.
Bagi saya masalah yang
serius adalah tugas Pansel KPK ini sungguh berat. Jika melihat
persyaratannya, mereka dituntut mampu memilih ”orang-orang suci” (menurut
persepsi publik lagi) atau ”manusia setengah dewa”. Mereka seakan-akan harus
mampu memilih orang-orang yang rekam jejak perjalanan hidupnya tidak punya
cacat cela. Padahal, orang yang suci itu bisa jadi belum teruji.
Kata orang bijak,
semakin teruji, ada saja bocel-bocelnya. Jangan-jangan stoknya sudah habis.
Apalagi yang masih mau. Bersih saja tentu tak cukup bukan?
Anda ingat kasus
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Sejatinya, yang menjadi soal bukan
benar atau tidaknya duduk perkara kasus tersebut. Yang terpenting adalah
adanya rekam jejak yang bisa dijadikan alat untuk mempersoalkan posisi
keduanya. Padahal
dulu waktu kita uji kita pun sudah minta kepada Polri, BIN, PPATK, dan
lembaga resmi lainnya untuk memberikan informasi. Toh dalam perjalanan waktu,
bisa saja mereka dianggap ”memicu” pihak lain menemukan fakta-fakta baru di
masa lalu yang bisa menyurutkan langkah, bahkan mematikan lembaganya.
Maka Pansel KPK kali
ini harus mampu memilih orang-orang yang bebas dari kemungkinan jadi ”sasaran
tembak”.
Tambahan pula,
kandidat itu harus mampu berpikir dan membangun langkah strategis, bukan yang
emosional dan gampang tersulut atau sekadar mendapat keprokan heroik.
Misalnya, kenapa sih korupsi ini makin hari makin merajalela? Apa bijak kita
menuntut perubahan kalau gaji PNS, penegak hukum, dan pejabatnya cuma segini
aja ? Artinya kita butuh pegulat baru, bukan sekadar pejuang gagah-berani
seperti yang sudah-sudah. Itu sebabnya saya menyebutnya tugas mereka adalah
memilih ”manusia setengah dewa”.
Di luar itu, dalam
menjalankan tugasnya mereka juga masih harus menghadapi gangguan-gangguan
dari luar. Misalnya soal pro-kontra yang terus bergulir. Ini sebetulnya
gangguan kecil, tapi bisa menjadi besar kalau mereka tak sanggup
mengelolanya. Lalu, gangguan yang lumayan besar adalah intervensi dari banyak
pihak yang ingin ”jagonya” terpilih. Apakah mereka akan mampu mengatasinya?
Belajar dari China
Saya mengenal sebagian
dari tim Pansel KPK kali ini. Sepengetahuan saya, mereka yang saya kenal itu
bersih, memiliki integritas, visi sebagai pemimpin, dan pintar kalau ada yang ragu soal ini,
saya cuma bisa menyunggingkan bibir sambil berguman: ”hebat juga ya cari
sensasinya”. Emangnya jadi pansel itu kita berani bayar berapa? Sudah syukur
kalau ongkos transpornya dibayar tepat waktu. Jadi belajarlah menghormati
mereka yang masih mau meminjamkan kecerdasan dan kebersihan dirinya.
Jadi kalau tugas tim
Pansel KPK ini adalah memilih orang-orang yang kompeten, memiliki kapabilitas
dan integritas untuk memimpin KPK, saya yakin tim ini mampu.
Namun memilih
”orang-orang suci” yang sama sekali tidak mempunyai cacat cela? Apakah ada di
antara kita yang betul-betul tidak mempunyai cacat cela?
Bicara soal ini, saya
jadi teringat dengan ucapan Bapak Bangsa yang juga mantan Wakil Perdana
Menteri China, mendiang Deng Xiaoping. Ucapan Deng yang kemudian melegenda
adalah ”Saya tidak peduli apa warna kucingnya, yang penting dia bisa
menangkap tikus.”
Ucapan itu dilontarkan
ketika Deng menyaksikan betapa tertinggalnya China. Maka Deng mengirimkan
ratusan ribu mahasiswa untuk belajar ke luar negeri. Setelah kembali, mereka
memberikan kontribusi yang hebat dalam memodernisasi China. Bahkan lebih dari
itu. Ucapan Deng tadi juga mampu menyatukan perbedaan ideologi. Pertikaian
ideologi ”yang diada-adakan” inilah yang membuat China terbelakang.
Dalam konteks yang
sama, saya kira ucapan Deng bisa menginspirasi kita dalam memerangi korupsi.
Bukankah kita semua setuju bahwa korupsi di negara kita sudah menjadi masalah
yang akut? Korupsi bukan saja mengakibatkan kerugian keuangan negara, tetapi
juga merusak moral dan mental bangsa. Korupsi juga membuat kita menjadi
bangsa yang terbelakang.
Bahkan kalau mengingat
kisruh ”cicak vs buaya” atau KPK vs Polri, korupsi terbukti mampu memecah
belah bangsa kita. Apa yang kita alami sebetulnya sama dengan pengalaman
China. Maka, kita memodifikasi ucapan Deng menjadi ”Lupakan siapa orangnya,
yang penting dia bisa menangkap para koruptor.”
Jadi, kita tak perlu
lagi menuntut tim Pansel KPK untuk mencari ”orang-orang suci” atau ”manusia
setengah dewa”. Juga tak perlu mempersoalkan siapa Destri. Saya kenal
orangnya dan saya kira kita bisa memercayainya. Kita terima orang yang
bersungguh-sungguh dan alhamdulillah kalau ketemu yang setengah dewa tadi.
Kalau tidak ada, kita cari saja orang-orang yang bisa menangkapi para
koruptor dan membangun masa depan baru.
Komisi dan Pansel
Baiklah sekarang kita
bicara tentang pansel-pansel yang lain. Ini penting, sebab selain KPK, kita
juga mempunyai banyak sekali komisi negara. Sebagian kalangan menyebut kita
mengalami kelebihan pasok komisi.
Beberapa komisi
dibentuk atas perintah UU. Misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Beberapa lainnya dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah.
Lalu, beberapa komisi
sangat kita kenal, beberapa lainnya terdengar asing. Misalnya, saya yakin
sebagian Anda tentu masih asing dengan Komnas Lansia atau Komnas FPBI. Komnas
Lansia tentu Anda sudah tahu. Ini yang menangani kalangan lanjut usia. Kalau
Komnas FPBI? Itu singkatan dari Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan
Pandemi Influenza.
Kalau saya menyebut
komisi-komisi tadi, itu karena sebagian pengurusnya mesti dipilih oleh
panitia seleksi. Contohnya KPK tadi, lalu KPU, KPPU atau KPI. Bahkan sekarang
untuk mendapatkan pejabat eselon I dan II pun membutuhkan pansel. Saat ini
saya juga terlibat dalam pansel di sejumlah kementerian untuk memilih pejabat
tinggi tersebut. Jadi kalau ada kelebihan pasok komisi, tentu bakal ada
kekurangan pasok pansel. Mencari anggota pansel menjadi sangat sulit. Mungkin
bakal ada orang-orang itu saja yang menjadi anggota pansel. Maklum
pengorbanan waktunya lumayan banyak.
Apalagi selain
komisi-komisi tadi, masih ada lagi sejumlah petinggi negara yang prosesnya
juga harus dipilih lewat seleksi terbuka. Ini untuk membangun sistem
meritokrasi dan sekaligus menangkal KKN. Jangan sampai posisi-posisi penting
di pemerintah diisi oleh kerabat pejabat tertentu atau orang-orang
terdekatnya.
Birokrasi pemerintahan
kita rusak, antara lain, karena faktor ini. Jadi, mesti ada tim seleksi.
Di antaranya posisi
untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT). Alhasil, mereka yang masuk tim pansel
harus orang-orang mempunyai kapasitas secara akademis, dapat dipercaya, dan
berpengalaman.
Lalu, orang-orang ini
harus menghasilkan orang-orang terpilih. Sebab orang-orang inilah yang akan
mengisi posisi-posisi penting di pemerintahan.
Belajar dari tim
Pansel KPK tadi, guna mengisi orang-orang di komisi-komisi lainnya, saya
berharap kita tidak terjebak untuk mencari ”orang-orang suci” atau ”manusia
setengah dewa”. Kalau tidak, kita bakal kesulitan mencari orang yang mau
duduk di komisi-komisi tadi dan kesulitan mencari anggota panselnya. Kecuali
orang-orang suci yang sudah masuk surga mau turun kembali ke bumi untuk
mengurusi masalah ini. Anda mau? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar