Islam
Indonesia, Islamnya Dunia
Husein Ja'far Al Hadar ; Penulis
|
KORAN TEMPO, 30 Mei 2015
Dakwah Islam adalah
kerja kebudayaan. Sebab, kebudayaan adalah fondasi utama bangsa. Apa yang
tertanam dalam kebudayaan bukan hanya kokoh dan akan lintas zaman, namun juga
menjadi identitas sekaligus pandangan hidup kebangsaan. Dengan demikian,
dakwah sebagai kerja kebudayaan itu membuat Islam menjadi roh bagi seluruh
sendi kehidupan: dari budaya, sosial, ekonomi, bahkan hingga politik.
Strategisnya lagi karena itu berjalan tanpa harus membuat negeri ini
kehilangan identitas primordialnya dan kearifan lokalnya, atau pula harus
menjadikannya sebagai negara Islam.
Dalam konteks itu,
mengislamkan Indonesia berarti mengindonesiakan Islam (terlebih dulu).
Keduanya integral, tak bisa dipisahkan. Sebab, itulah memang teladan dakwah
ala Nabi Muhammad. Khalil Abdul Karim dalam Syari'ah: Sejarah Perkelahian
Pemaknaan (LKiS, 2003) memaparkan tentang itu, bahwa tak sedikit syariat
Islam merupakan hasil akulturasi dengan budaya Arab pra-Islam. Bahkan hingga
membuat sebagian kita "gagap" menarik garis batas mana (substansi)
ajaran Islam dan mana (irisan) budaya Arab.
Itu pula yang
dilakukan Wali Songo dan pembawa Islam pertama di Indonesia. Mereka membawa
Islam minus Arab, meskipun mereka sendiri bahkan keturunan Arab dari kalangan
'Alawiyyin (keturunan Nabi), setidaknya menurut beberapa catatan riset
akademis yang kuat. Sebab, mereka sadar bahwa mereka dan Islam yang dibawanya
akan menjadi bagian dari Indonesia, entitas lain di belahan bumi yang berbeda
yang jelas itu bukan Arab. Mereka kemudian memformulasi apa yang kita sebut
dengan Islam Indonesia atau Islam Nusantara, yakni perpaduan antara
nilai-nilai (substansi) Islam yang diakulturasikan dengan budaya Indonesia.
Dengan demikian, sebagaimana Islam Arab ala Nabi, Islam Indonesia ala mereka
pun menjadi bagian integral dari bangsa ini yang mempengaruhi seluruh sendi
kehidupan bangsa ini.
Maka, hadirlah satu
Islam dengan berbeda wadah (cita rasa) budaya: Arab dan Indonesia. Persis
seperti diperintahkan Allah dalam Surat Al-Hujurat: 13, agar kita saling
berlomba dalam ketakwaan namun tetap menyadari, melestarikan, dan
mengembangkan identitas budaya masing-masing.
Kini, ketika berbagai
negara muslim-khususnya di Timur Tengah-sedang dirundung kekacauan akibat
konflik agama (Islam), kesuksesan dakwah Islam di Indonesia bukan hanya bisa
diklaim secara kuantitas dengan menghasilkan populasi umat Islam terbesar di
dunia, tapi juga kualitas dengan menghasilkan corak Islam yang mampu
menghadapi tantangan zaman dengan segala pola krisisnya. Sebab, di negeri
turunnya, yakni Arab Saudi, dakwah Islam sebagai kerja kebudayaan justru
ditentang: dakwah Islam justru diubah menjadi kerja menghancurkan
"berhala" kebudayaan. Dengan demikian, kini dunia Islam mulai sadar
bahwa Islam Indonesia justru potensial menjadi kiblat Islam dunia. Bukan
untuk diimpor, tapi untuk disadari bahwa dakwah Islam adalah kerja
kebudayaan. Jadi, sangat tepat dan patut kita apresiasi pemilihan tema
"Memperkokoh Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia"
dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 pada Agustus mendatang. Islam
Nusantara perlu terus dilestarikan, dikembangkan, dan diperjuangkan. Bukan
hanya karena itu Islam kita, tapi juga karena itu Islamnya dunia dan Islam
masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar