Keluar
dari Perombakan Kabinet Semu
Suhardi Suryadi ; Direktur Program Prisma Resource Center
|
KOMPAS, 26 Mei 2015
Sejak
hasil survei Litbang Kompas atas enam bulan kinerja pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla dipublikasikan, gagasan tentang perombakan kabinet semakin
sering dibicarakan.
Situasi
politik dalam negeri sendiri berkembang dinamis dan mulai mencair dengan
kehadiran sejumlah elite partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih dan
Koalisi Indonesia Hebat pada pembukaan Rakernas Partai Amanat Nasional, 6 Mei 2015.
Walaupun
masih samar-samar, beberapa pihak mulai menyodorkan perlunya "penataan
ulang" kabinet. Partai politik pun sigap merespons "rencana"
tersebut, termasuk partai dari KMP. Ada partai yang terang-terangan meminta
dan ada yang yakin kadernya tidak akan
tergusur. Namun, ada pula yang menuntut presiden harus mendiskusikan terlebih dahulu soal perombakan kabinet itu
dengan partainya.
Alasan perombakan
Menurut
Wakil Presiden Jusuf Kalla, kalaupun dilakukan perombakan kabinet, lebih
dimaksudkan agar pemerintahan dapat
memiliki kinerja lebih baik dan efektif, bukan karena tekanan atau tergantung
dari hasil survei. Pernyataan tersebut sesungguhnya mengisyaratkan dan
sekaligus bentuk pengakuan bahwa selama enam bulan berjalan, kinerja kabinet
yang ada sekarang disadari kurang berhasil membawa perubahan dan kemajuan berarti.
Alasan
lain akan perlunya perombakan kabinet ini adalah terkait dengan kapasitas
menteri. Mengingat sejak awal terpilih ada sejumlah figur menteri yang
dinilai kurang berkualitas. Sulit dimungkiri bahwa tidak efektifnya roda
pemerintahan sesungguhnya juga disebabkan oleh ketidakleluasaan Jokowi dalam
memilih anggota kabinet. Presiden senantiasa dihadapkan pada pertimbangan
bagaimana harus "memenuhi" permintaan (baca: tuntutan)
partai-partai pendukungnya.
Persoalan
lain adalah di lingkungan internal tiap-tiap kementerian yang belum dapat
menjalankan peran secara optimal karena dihadapkan pada masalah penataan
kelembagaan yang tak kunjung selesai. Beberapa jabatan eselon I dan II masih
dalam proses seleksi sehingga membuat para pejabatnya belum dapat bekerja
maksimal.
Sebagai
contoh, penyerapan anggaran hingga April 2015 hanya mencapai 18,5 persen
sehingga aktivitas pembangunan cenderung stagnan. Harapan Presiden Jokowi
kepada para menteri untuk lebih aktif mempercepat penyerapan anggaran sebagai
cermin perbaikan kinerja tampaknya
berhenti sebatas imbauan dan tidak ada tindak lanjut yang berarti.
Dengan
demikian, masalah kinerja dan kapasitas yang rendah harus dijadikan acuan
sehingga perombakan kabinet dapat menjadi instrumen ampuh dalam memperbaiki
aneka masalah bangsa, terutama stabilitas politik, pemberantasan korupsi,
penegakan hukum, dan kemajuan ekonomi.
Di sisi lain, yang perlu dihindari adalah rencana reshuffle bukan
bertujuan mempertahankan citra Jokowi yang popularitasnya cenderung
menurun dari 89,9 persen saat tiga
bulan memerintah menjadi 65,2 persen setelah enam bulan memimpin (Litbang Kompas, 27 April 2015).
Pertaruhan politik
Perombakan
suatu kabinet sering kali tidak selalu memberikan jaminan adanya perubahan
yang mendasar atas situasi politik, ekonomi, dan hukum. Sekalipun menteri
pengganti dapat memberikan perspektif
baru atas sebuah kebijakan kementerian, tetapi yang dikhawatirkan
bertentangan dengan kebijakan menteri sebelumnya sehingga tidak ada
kontinuitas dalam arah pembangunan.
Dampak
lain dari perombakan kabinet adalah menteri baru membutuhkan waktu untuk
proses membangun komunikasi dan relasi yang baik dengan aparatur dan parlemen
dalam rangka mendukung efektivitas kerjanya.
Terlepas
dari itu, upaya perbaikan dan peningkatan kinerja pemerintahan masih terbuka
lebar mengingat semua pihak memiliki
motivasi kuat dalam mewujudkan kemakmuran dan kemajuan negara dan bangsa.
Yang menjadi soal dan masih mengganjal adalah sejauh mana motivasi tersebut
dapat diwujudkan melalui momentum reshuffle. Setidaknya ada dua prasyarat
yang perlu dipertimbangkan. Pertama, anggota kabinet dipilih berdasarkan
kepemimpinan, keahlian, dan kompetensi. Partai-partai politik mitra koalisi
tidak perlu "mendaftarkan" elite dan kadernya jika tidak memenuhi
kriteria tersebut. Parpol bisa merekrut tenaga profesional untuk diusulkan
sebagai wakil partai dalam kabinet.
Kedua,
kebijakan dan program kerja kabinet hasil reshuffle perlu secara nyata
menjawab ketidakpuasan masyarakat dalam pelbagai hal, terutama soal
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, kemampuan daya beli, kemiskinan,
birokrasi lamban merespons persoalan, meluasnya tindak pidana korupsi, dan
penegakan hukum yang jauh dari rasa keadilan.
Reshuffle
sekarang atau nanti merupakan pertaruhan politik bukan hanya bagi Presiden
Jokowi, melainkan juga bagi partai-partai politik mitra koalisi. Artinya,
perombakan kabinet tidak semata-mata mengganti orang per orang, tetapi juga
menuntut komitmen dan integritas
politik dari partai untuk mengakselerasi kemajuan bangsa ini.
Bagaimanapun,
reshuffle akan bersifat semu
manakala sumber inefektivitas pemerintahan justru terletak pada lemahnya
kapasitas Presiden. Banyak pihak memandang bahwa Presiden Jokowi dinilai
kurang tegas dan berwibawa memimpin dan mengendalikan kerja para menteri yang
berasal dari latar belakang berbeda. Semoga
hal ini hanya kekhawatiran belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar