Demam
Akik dalam Perilaku Kerumunan
Olivia Fachrunnisa ; Dekan Fakultas Ekonomi Unissula Semarang
|
SUARA MERDEKA, 22 Mei 2015
KILAU
bisnis batu akik yang beberapa waktu lalu mengalami booming kini memudar.
Demam batu akik seperti merepetisikan booming bisnis ikan louhan (Flowerhorn Cichlid, Amphilopus) dan
tanaman gelombang cinta (Anthurium
plowmanii) beberapa waktu lalu. Kini, di tengah hangatnya perbincangan
naik turunnya harga BBM yang bisa terjadi sewaktu-waktu, atau keputusan
pemerintah yang kadang kurang rasional, para pelaku ekonomi industri kreatif
seperti memiliki bahan kajian baru. Sejatinya, kerajinan batu akik merupakan
bagian dari industri ekonomi kreatif mengingat komoditas itu merupakan bagian
dari perhiasan individu dan bagian seni perbatuan.
Adapun
perhiasan merupakan salah kebutuhan tersier manusia, setelah kebutuhan pokok.
Realitasnya, sebagian masyarakat menjadikannya sebagai kebutuhan pokok.
Walaupun ditawarkan dengan harga selangit, mereka tetap berusaha untuk bisa
memilikinya. Dalam teori ekonomi, harga sebuah barang atau jasa ditentukan
oleh beberapa faktor, dan salah satunya adalah kegunaannya. Bila sebuah
barang atau jasa memiliki tingkat kemanfaatan tinggi bagi seseorang maka
harga yang tinggi itu tidak akan dirasakan atau dianggap mahal. Sebaliknya,
bagi sebagian orang yang menganggap bahwa barang atau jasa itu tidak memiliki
kegunaan pokok bagi dirinya maka harga berapa pun akan dianggap irasional.
Begitu pula batu akik, sebagian orang yang memersepsikan sebagai perhiasan
maka harga mahal itu dirasakan sebagai harga irasional.
Mereka
akan berpikir mengapa uang begitu banyak hanya untuk menebus perhiasan yang
tingkat utilitas dasarnya tidak bisa menopang kebutuhan hidup dasar. Perilaku
sebagian masyarakat yang ”tiba-tiba” menggemari batu akik menunjukkan
fenomena psikologis tertentu. Realitas itu jamak disebut perilaku massal atau
perilaku kerumunan, yang dalam terminologi ilmu keperilakuan biasa disebut
herding behavior. Individu cenderung mengikuti apa yang saat ini sedang
dilakukan banyak orang di sekitarnya.
Mereka
meniru perilaku tersebut dengan berbagai alasan, salah satunya wujud
eksistensi diri. Self-existence ini
bisa diterjemahkan sebagai salah satu bentuk motivasi individu untuk jadi
bagian dari sebuah kerumunan atau sekumpulan individu yang lain. Sayang,
keputusan berperilaku seperti itu lebih mendasarkan pada pertimbangan kurang
rasional. Pola ikut-ikutan itu kerap berakhir pada tindakan ekonomi yang
kurang rasional pula.
Berbeda
halnya dari individu yang mempelajari kegiatan atau aktivitas tersebut
sebagai bagian dari pembentukan kompetensi diri mengingat keputusannya lebih
mendasarkan pada sejumlah alasan yang lebih rasional. Dukungan Regulasi Dari
sisi kegiatan ekonomi, keputusan untuk membeli komoditas itu akan memberikan
peluang adanya loss profit dalam waktu singkat. Bisnis batu akik yang
beberapa waktu lalu merebak diyakini memiliki keberlangsungan (durability)
sangat singkat. Hal itu berbeda dari bisnis penciptaan barang atau jasa yang
membutuhkan expertise kompleks. Produk yang berbasis sains dan teknologi
dengan tingkat kemanfaatan lebih luas, semisal alat-alat kesehatan, teknologi
informasi, atau transportasi massal yang ramah lingkungan diyakini lebih
mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan lebih tinggi sehingga
keberlangsungannya pun akan lebih panjang. Bisnis yang bersifat instan
seringkali kurang memikirkan value kemaslahatan dan kegunaan bagi umat secara
lebih luas.
Yang
terjadi pada akhirnya hanyalah aliran uang dari sebagian masyarakat yang
menyediakan barang itu kepada masyarakat yang membutuhkan barang tersebut.
Itu pun berlangsung dalam waktu relatif singkat. Pemerintah perlu
menggariskan berapa kebijakan supaya bisnis-bisnis instan tersebut bisa
menjadi aktivitas ekonomi yang memiliki kegunaan luas dan lebih terjamin
keberlangsungannya?
Pertama; penguatan kebijakan ekonomi dan perindustrian di
bidang itu. Batu akik merupakan bagian dari industri ekonomi kreatif. Banyak
pihak terlibat, mulai dari pencari batu, ahli perbatuan, pengasah, desainer
perhiasan, pembuat mesin, sampai penjual. Terlebih negeri ini kaya akan
”bahan bakunya”.
Kedua; ketersediaan sistem rantai pasok. Bila pemerintah
mempunyai aturan main yang jelas dan infrastruktur nonfisik memadai maka
bisnis dalam bidang itu dapat menjadi salah satu penopang industri kreatif
ekonomi.
Ketiga; edukasi dan sosialisasi. Perlu secara intens mengedukasi dan
menyosialisasikan kepada masyarakat untuk menentukan tiap keputusan perilaku
ekonominya. Upaya itu akan mendorong mereka jadi bagian dari masyarakat
cerdas, yang peduli pada kemaslahatan umat dan menghargai kekayaan alam di
sekitarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar