Memitigasi
Perlambatan Ekonomi
Aunur Rofiq ; Praktisi Bisnis
|
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2015
PERLAMBATAN ekonomi sebagaimana yang tampak
dari data kuartal I/2015 memberi sinyal kuat bahwa kondisi terburuk belum
sepenuhnya berlalu. Dari sisi makroekonomi, selama kuartal I/2015,
perekonomian ditandai oleh turbulensi nilai tukar rupiah dan ancaman
pelemahan ekonomi. Pada Maret lalu, Forbes melansir bahwa depresiasi rupiah
telah mencapai posisi sebesar 6,53%, atau menempati urutan ketiga terburuk
setelah real Brasil (16,8%), lira Turki (11,49%), dan sedikit di atas rand
Afrika Selatan (6,4%), serta peso Meksiko (5,79%).
Artinya, Indonesia dianggap belum sepenuhnya
terhindar dari risiko global jika pemerintah gagal dalam mengatasi masalah
defisit transaksi berjalan, inflasi, dan nilai tukar. Tidak mustahil juga hal
itu akan membuat pelemahan terus berlanjut. Risiko perlambatan itu sudah
mulai terlihat selama kuartal I 2015 ini, dengan laju ekonomi hanya tumbuh
4,7%, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu
yang mencapai 5,2%. Pada 2015 ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,7%.
Pelemahan itu setidaknya disebabkan beberapa
hal. Dari sisi produksi, pelemahan ditandai dengan penurunan produksi pangan,
produksi minyak mentah, batu bara yang mengalami kontraksi, distribusi perdagangan
melambat, dan kinerja konstruksi yang terhambat realisasi belanja
infrastruktur. Sementara itu, dari sisi konsumsi ditandai dengan pelemahan
semua komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang
melambat. Konsumsi masyarakat bisa terganggu dengan adanya kenaikan harga
beberapa barang pokok dan kebijakan moneter yang ketat.
Perlambatan ekonomi sepanjang awal tahun ini
juga ditandai kinerja sejumlah
sektor bisnis yang melemah. Daya beli yang
menurun mendorong masyarakat lebih memilih menahan diri untuk mengonsumsi,
khususnya motor, mobil, alat-alat elektronik, rumah, dan properti. Itulah
sebabnya, Gaikindo kembali merevisi target penjualan mobil 2015 dari 1,2 juta
unit menjadi 1 juta-1,1 juta unit.
Penjualan mobil pada triwulan I/2015
mengalami penurunan hingga 15% jika dibanding dengan triwulan I/2014.
Penjualan sepeda motor pada triwulan I/2015 juga mengalami penurunan sekitar 17%
ketimbang triwulan I/2014.
Sektor properti juga mengalami penurunan
tajam, khususnya untuk sub-sektor perkantoran dan apartemen. Penjualan semen
secara nasional juga ikut turun sebesar 3,2% daripada periode yang sama pada
2014 seiring dengan anjloknya pasar properti. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) juga menunjukkan pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan
sedang pada kuartal I/2015 turun sebesar 0,71% bila dibandingkan dengan kuartal
IV/2014. Industri yang mengalami penurunan produksi, seperti industri barang
galian bukan logam turun 6,64% dan peralatan listrik turun 4,74%. Selain itu,
industri kayu, barang dari kayu, gabus, dan barang anyaman dari bambu, serta
rotan dan sejenisnya turun 4,38%. Pengolahan tembakau pun ikut turun 3,15%.
Dampak dari melambatnya daya beli membuat
terpangkasnya belanja modal dan kinerja keuangan korporasi besar. Rata-rata
pertumbuhan pendapatan dan laba bersih korporasi di kuartal I/2015 yang
sahamnya tercatat di bursa saham, khususnya dari kelompok blue chips, hanya
sebesar 2,6% dan 5,15%, atau turun signifi kan dari periode yang sama tahun
lalu.
Yang tidak kalah mengkhawatirkan ialah sumber
pendanaan pembangunan, yakni perpajakan, juga meleset. Penerimaan pajak
hingga triwulan I tahun 2015 sangat buruk, hanya 13,65% dari target setahun. Itu
merupakan pencapaian terburuk untuk periode yang sama dalam lima tahun
terakhir. Itu pun merupakan pencapaian yang ironis di tengah upaya pemerintah
untuk menaikkan penerimaan pajak yang tinggi pada tahun ini menjadi Rp1.296
triliun (di luar penerimaan bea dan cukai).
Memitigasi pelemahan
Salah satu upaya mendorong percepatan pertumbuhan
ialah dengan mendorong investasi pemerintah dan swasta. Percepatan pencairan anggaran
pemerintah terutama untuk infrastruktur akan mendorong pergerakan ekonomi.
Selanjutnya, pihak swasta yang akan merespons untuk mempercepat realisasi
investasi mereka. Percepatan penyerapan APBN pada kuartal I/2015, yang hanya berkisar
20%, berdampak pada kegiatan ekonomi lainnya. Harus kita akui, selama ini,
kebijakan APBN menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional, terlebih
ketika sektor-sektor lain menghadapi tekanan.
Penyerapan APBN yang rendah menyebabkan sejumlah
proyek pembangunan infrastruktur melambat yang kemudian berandil besar dalam
penurunan penyaluran kredit perbankan dan melemahnya konsumsi domestik. Bank
sentral merilis penyaluran kredit perbankan nasional triwulan I/2015 berada
pada level 11%-12% atau lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang di atas
18%.
Pemerintah memiliki anggaran Rp290,3 triliun
untuk pembiayaan infrastruktur dan sangat penting untuk mempercepat realisasi
pembangunan infrastruktur. Sejumlah proyek infrastruktur (jalan tol,
pembangkit listrik, dan rumah susun) yang sudah digroundbreaking beberapa waktu lalu diharapkan dapat menjadi
sinyal positif bagi investor. Selain itu, sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor perlu diselamatkan untuk
menopang kinerja ekspor nonmigas di tengah melemahnya harga komoditas di
pasar global. Pada kuartal I/2015, kinerja industri manufaktur menurun. Itu
disebabkan daya beli domestik yang melemah dan pengaruh nyata dari penurunan
kinerja ekonomi global.
Di tengah kelesuan ekonomi, pemerintah juga
harus memacu sektor-sektor yang mampu menampung hajat hidup orang banyak,
seperti pertanian, pekebunan, dan perikanan. Sektor itu harus tetap tumbuh
karena menjadi bantalan bagi penghidupan sebagian besar rakyat. Sektor
pertanian, perkebunan, dan perikanan memberikan kontribusi 13,75% dalam
produk domestic bruto triwulan I/2015.
Sektor lain yang bisa menjadi andalan di
tengah kelesuan ekonomi ialah sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pemerintah harus memberikan perhatian terhadap UMKM karena sektor itu menjadi
andalan dalam menampung lapangan kerja dan menjadi harapan bagi peningkatan
daya beli masyarakat di
tengah kelesuan ekonomi.
Yang tidak kalah penting ialah menjaga daya
beli masyarakat agar tidak makin turun, baik dengan menjaga inflasi atau
kenaikan harga barang kebutuhan pokok maupun dengan mempercepat realisasi
pengeluaran pemerintah melalui proyek-proyek pembangunan. Konsumsi masyarakat
selama ini menjadi penyumbang terbesar dari pembentukan PDB. Karena itu,
menjaga daya beli masyarakat sangat penting, terutama menjaga harga-harga
bahan makanan agar tidak naik. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari
BPS mencatat 60% dari konsumsi masyarakat digunakan untuk membeli bahan
makanan dan sisanya untuk nonbahan makanan.
Di tengah pelemahan daya beli masyarakat, pengeluaran
pemerintah pada bulan-bulan mendatang, yakni realisasi dari belanja modal
dengan proyek-proyek pemerintah, diharapkan mampu mendongkrak kegiatan ekonomi
dan daya beli masyarakat. Pemerintah perlu menyelamatkan daya beli konsumen,
baik dari sisi harga maupun pendapatan, sebagai upaya untuk mencegah
pelemahan ekonomi lebih lanjut yang bisa mengarah pada resesi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar