SN
Dikti dan Publikasi Internasional
Syamsul Rizal ; Guru Besar Universitas Syiah Kuala
|
KOMPAS, 30 Mei 2015
Pada 20 Mei 2015, Hari
Kebangkitan Nasional, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Muhammad Nasir mengeluarkan surat edaran Nomor 01/M/SE/V/2015 tentang
Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satu yang
dievaluasi adalah Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi (SN Dikti).
SN Dikti memang
menjadi trending topic di kalangan
para staf pengajar di universitas. Penyebabnya jelas: SN Dikti membidik para
profesor yang tidak mempunyai publikasi internasional. Terkadang para
profesor ini punya nama dan institusi yang besar. Tetapi, karena tak punya
publikasi internasional, profesor ini tak mungkin dilibatkan dalam proses
pendidikan di program studi S-3. Bahkan, kalau profesor dan doktor yang tak
punya publikasi internasional ini bergabung dalam sebuah prodi S-3, maka
prodi ini berdasarkan SN Dikti terancam untuk dibubarkan.
Tidak semua jadi doktor
Indonesia memang sudah
begitu lama bermain-main dengan kualitas pendidikan doktornya. Padahal, tidak
semua orang mesti menjadi doktor. Para profesornya pun, terutama di kota-kota
besar, tanpa dasar sering dibesar-besarkan oleh media. Mereka bahkan jauh
lebih mirip dengan para selebritas daripada ilmuwan.
Munculnya SN Dikti, membuat para ilmuwan
seperti ini merasa terpojok. Menurut SN Dikti, publikasi internasional adalah
instrumen yang paling cocok untuk menjaring promotor yang pantas membimbing
S-3. Yang menjadi dasarnya adalah output dari hasil pembimbingan yang harus
menghasilkan 2 publikasi internasional bagi kandidat doktor. Dengan demikian,
menjadi tidak logis apabila para promotornya justru tidak mempunyai publikasi
internasional. Seharusnya promotor juga punya sedikitnya 2 buah.
Ada tiga alasan utama, mengapa masalah
publikasi internasional ini harus dipertahankan dalam SN Dikti. Pertama, pada
diskusi-diskusi awal, saat pembentukan dan penggabungan Kemenristek dan Dikti
diwacanakan, kita berharap universitas akan dipacu ke arah riset yang semakin
bermutu.
Kalau universitas
diletakkan di bawah Kemendikbud, maka dikhawatirkan riset di universitas
tidak ada yang mengurus implementasinya. Begitulah kira-kira, alasan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menggabung Kemenristek dan Dikti.
Fokus riset
Karena kita ingin
fokus dalam masalah riset, maka tidak bisa tidak, masalah publikasi
internasional menjadi melekat di dalamnya. Ini berarti, masalah publikasi
internasional menjadi semacam roh bagi Kemenristek dan Dikti. Menafikan
publikasi internasional dalam Kemenristek dan Dikti, berarti kita secara
sengaja mengarahkan institusi ini bergerak tanpa roh: hanya badan saja. Kalau
manusia hanya punya badan saja dan tidak mempunyai roh, maka tempatnya sudah
berpindah ke alam kubur.
Alasan kedua,
publikasi internasional kita sudah kalah terlalu jauh bila dibandingkan
sesama negara ASEAN yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit daripada
jumlah penduduk kita. Masalah ini sudah sering sekali dibahas. Ini fakta yang
sangat memalukan dan sekaligus memilukan bangsa dan negara kita. Kita tentu
saja tidak mau dan tidak rela, bangsa kita dihina dan dipermalukan, karena
ilmuwan dari bangsa ini tidak mau berupaya maksimal untuk melakukan
perlawanan terhadap fakta yang sangat menyedihkan ini.
Alasan ketiga, di
tengah kurangnya dana pemerintah untuk membangun infrastruktur dan lain-lain,
Pemerintah Indonesia, telah menggelontorkan begitu banyak uang untuk menggaji
para profesor di Indonesia. Di samping itu, usia pensiun para profesor pun
sudah diperpanjang menjadi 70 tahun. Belum lagi pemerintah yang telah begitu
banyak mengalokasikan dana untuk penelitian di universitas.
Dari mana dana ini diperoleh pemerintah?
Sebagian besar dari pajak yang harus ditanggung rakyat, sebagian lagi dari
kebijakan tak populer yang harus dipertaruhkan Jokowi-JK: menaikkan harga
BBM.
Kalau para profesor
masih berkilah dan berkeluh kesah untuk menelurkan publikasi internasional,
setelah mengetahui fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka kita pantas
untuk turut berduka cita. Kalau tidak mau melakukan riset dan
memublikasikannya secara internasional, tugas mulia apalagi yang pantas dan
yang harus dibebankan kepada para profesor?
Para ilmuwan Indonesia
harus mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi untuk menjaga marwah negara
bangsa ini. Di seluruh sudut dan sektor, panji-panji nasionalisme ini harus
dikibarkan, termasuk juga di sektor riset, yang di dalamnya berisi para
profesor dan doktor.
Publikasi atau mati
Dalam editorialnya
yang berjudul Publish or Perish,
Watts (1992) mengemukakan: tidak ada jalan lain untuk memastikan bahwa riset
yang kita lakukan itu bermutu atau tidak, atau bahkan betul atau salah, jika
kita tidak memublikasikannya. Artikel atau manuskrip harus dikirim ke jurnal
yang dapat dipastikan bahwa para juri (reviewers)
adalah para ahli yang sangat menguasai bidangnya, yaitu peers.
Proses peer review
adalah proses yang paling penting untuk menjamin publikasi internasional yang
dilahirkan dapat dipublikasi atau tidak.
Bagi para pengarang, proses peer review adalah kesempatan untuk
memperoleh bantuan dari respected
colleagues, sehingga manuskrip dapat direvisi dan ditingkatkan
kualitasnya. Dengan demikian, proses peer review ini, bukanlah proses yang
harus ditakuti atau dihindari, tetapi justru proses yang harus dihadapi
secara riang gembira para profesor dan peneliti sejati.
Setelah dipublikasi,
tulisan kita menjadi public domain yang siap untuk dikritisi dan diapresiasi.
Di sini kita bisa memantau, siapa saja yang mengutip tulisan kita.
Dengan demikian, riset
yang kita lakukan tak berhenti sebagai laporan riset saja. Tetapi, harus
dipertanggungjawabkan pula kepada komunitas ilmiah secara internasional untuk
mendapatkan umpan balik (feedback).
Berkah SN Dikti
Saya ingin berbagi
pengalaman ketika sempat menjadi Direktur Program Pascasarjana Universitas
Syiah Kuala (2009-2014). Sebelum ada SN Dikti, sangat sulit bagi kami untuk
mendirikan prodi S-3.
Di samping persyaratan
yang tidak jelas, rasanya kami "kurang dipercaya" untuk mendirikan
prodi S-3. Setelah SN Dikti diberlakukan, sekarang di hampir semua cabang
ilmu, kami memiliki prodi S-3.
Mengapa demikian?
Karena untuk mendirikan prodi S-3, SN Dikti menuntut adanya publikasi
internasional dari pengajarnya dan sebagian besar profesor dan doktor di
Unsyiah mempunyai publikasi internasional.
Bahkan dengan adanya
SN Dikti sekarang ini, beberapa profesor dan doktor dari Unsyiah sudah mulai
memublikasikan hasil penelitian bersama mahasiswa S-1-nya di jurnal
internasional. Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan, sebelum adanya
desakan SN Dikti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar