Kriminalisasikan
Bangsa Ini
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 29 Mei 2015
Negara apa ini? Negara
bernama Indonesia, tempat aku lahir, hidup, dan akan mati nanti? Negara yang
kuputuskan untuk kubela dengan semua pori-pori hidup fisikal, intelektual,
hingga spiritualku? Ketika mereka yang menjadi penyelenggaranya, telah
menciptakan ketakutan begitu masif? Ketika perang, intimidasi, intervensi
asing, hingga totaliterianisme gaya Soeharto jadi gurauan cengeng bagi
kekacauan adab seperti ini.
Bagaimana tidak,
ketika orang yang tidak tahu atau
tunahukum, ternyata harus dihukum-hanya karena didakwa mencuri dua balok kayu
(yang masih sumir pembuktiannya)-setara dengan koruptor uang rakyat miliaran
rupiah?
Padahal, kita tahu,
orang tak tahu tidaklah berdosa, tidak bersalah. Padahal, kita paham rakyat
kecil yang bodoh, sangat miskin dan didesak oleh kebutuhan primer, buta huruf
dan buta hukum, semua kepapaan yang bersifat sistemik dan struktural,
bukanlah obyek hukum. Ataukah hukum itu telah menjadi buta, keji, jauh dari
maksud-maksud asalinya yang mulia dan menghamba keadilan manusia, keadilan
semesta, keadilan ilahiah?
Hukum apa ini, ketika
dengan mudah seseorang dicari-cari kesalahannya di sekujur hidup sosialnya
hanya untuk mengurung, membungkam, dan menunjukkan kuasa dari penyelenggara
negara, yang sepatutnya dan sepatutnya(!) tidak memiliki posisi jangankan
untuk adigang adiguna (sok hebat sok kuasa) bahkan sekadar sombong sedikit
saja.
Bagaimana tidak? Mari
kita bertanya: siapakah yang telah melewati kehidupan sosial sekurangnya dua
dekade di negeri ini yang tidak pernah melanggar hukum apa pun? Apa pun? Saya
yakin, tak ada. Tidak ada. Kita jangan bicara kasus, tetapi bicara jujur,
jujur apakah ada di antara kita yang tak pernah memberi suap (tips apa pun
dan berapa pun) kepada petugas kelurahan untuk mengurus surat-surat, polisi
untuk tilang, urusan kendaraan atau apa saja? Benarkah kita tak pernah
meledek, menghina atau mencemarkan nama baik orang lain? Benarkah kita tidak
pernah melanggar rambu atau marka jalan? Atau sekadar menggunakan mobil
hingga kertas, pulpen atau properti milik negara lainnya untuk manfaat
pribadi?
Siapa yang berani
mengatakan dirinya sama sekali tidak pernah melakukan satu saja tindakan (dan
banyak contoh lainnya) yang tergolong pidana itu? Percayalah, jika bukan
kasus, keajaiban, nabi atau malaikat, sesungguhnya Anda, saya, atau kita
semua satu bangsa-yang hidup dalam zaman degil ini-dengan ribuan alasan yang
kita punya, untuk bertahan hidup atau menunaikan tanggung jawab alamiah kita,
pasti pernah melakukan-sengaja atau tidak, mengerti atau tidak-satu atau
lebih tindak pidana itu. Jangan berdusta. Jujurlah pada diri sendiri, kepada
Tuhanmu, jika kau percaya.
Kesombongan aparat negara
Jika perilaku
penyelenggara negara seperti terjadi belakangan ini, orang-orang dan tokoh
yang begitu dipercaya oleh rakyat memiliki integritas walau jelas tidak
sempurna (lagipula siapa sempurna kecuali-Nya) ternyata begitu mudah
dijadikan tersangka, dipenjara, lalu diadili, dihakimi dan diputuskan
bersalah, dijadikan manusia yang cacat hukum serta akan mendapatkan sanksinya
sosial, politik, dan ekonomi, hingga ia ke liang lahat. Betapa sombongnya
manusia! Membayangkan dirinya menjadi Tuhan lalu memutus nasib begitu saja.
Sombongnya manusia. Seolah manusia lain, rakyat, itu buta. Seolah Tuhan tidak
bicara. Sombongnya manusia!
Sementara di bagian
lain, seorang yang sudah menjadi terdakwa bahkan tersangka, tiba-tiba
diselamatkan oleh sesama penegak hukum dengan cara melawan atau mengacaukan
hukum. Dan kita, rakyat yang tidak setuju, protes serta menolak itu semua
akan ditekan, tidak oleh senjata, tidak oleh intimidasi, tetapi oleh
permainan retorika yang memutarbalik kebenaran atau nama kebebasan
menggunakan media, juga media sosial. Hingga yang salah harus kita biarkan,
yang benar justru diragukan.
Apa yang terjadi pada
negara ini ketika tersangka yang diselamatkan dengan cara yang melawan hukum
itu diselamatkan oleh negara bahkan menjadi pejabat tinggi? Apa yang terjadi
pada pemimpin negeri ini, pada Presiden sebagai kuasa tertinggi, ketika semua
kata, kebijakan, hingga perintahnya seperti beras mentah yang tungku
penanaknya dibunuh api pemanasnya? Mengapa rakyat yang telah memilihnya tidak
berdaya ketika Presiden pilihannya sendiri dinegasi, dipelintir bahkan
dikhianati keputusan-keputusannya.
Benarkah ia
benar-benar memilih bawahan-bawahan yang bukan cuma mbalelo, tetapi bahkan
membelokkan semua kebijakannya bukan untuk mencapai harapan bangsa sendiri,
tetapi-bisa jadi-harapan bangsa lain? Atau sesungguhnya ia memilih dengan
terpaksa atau dipaksa untuk memilih? Negara apa ini, karena katanya demokrasi
sukses memilih pemimpin, tetapi sang pemimpin tidak mampu menggunakan
kekuatan pemilihnya itu karena pertarungan politik telah diambil alih
tepatnya dirampas oleh political game
and tricking para individu, golongan, dan kekuatan-kekuatan sektarian
yang seperti selimut mengelililingi istana?
Terus terang, saya
bukan lagi cemas, tetapi takut. Takut yang sesungguhnya. Takut kapan pun
waktu saya akan dicari kesalahan-kesalahan yuridis saya hanya untuk membunuh
eksistensi saya secara sosial, politik, ekonomi hingga kultural. Karena saya
sekurangnya bukan orang suci secara yuridis, dalam wilayah hukum formal yang
begitu mudah dipelintir bahkan dimanipulasi di depan mata 230 juta lebih
rakyat yang diminta menganggapnya supreme! Saya sungguh takut, sistem yang
dibela habis-habisan oleh para elite dan para pendukung palsu kelas
menengahnya ini, akan membunuh juga eksistensi kita sebagai bangsa, sebagai
riwayat yang begitu hebat, sejak ribuan tahun lalu.
Semena-mena
Mengapa sistem ini,
termasuk sistem hukum ini, sistem kenegaraan ini, dapat mengizinkan para
penyelenggara negaranya dengan semena-mena menggunakan kekuasaan yang
diamanahkan atau dititipkan padanya untuk menciptakan represi ke tingkat
mental, intelektual hingga spiritual seperti ini? Benarkah mereka adalah
bagian dari bangsa ini? Yang lahir dari Bumi, dibesarkan di Bumi, dihidupi
oleh hasil bumi, dan akan dikuburkan di Bumi Pertiwi ini?
Jika benar, mengapa
begitu gelapnya mata fisik, mata hati, pikiran, dan batinnya sehingga ia
merusak dan menghancurkan negeri, bangsa, serta sejarah yang telah melahirkan
nenek moyang anak cucunya? Karena apa, dengan apa, dan untuk apa kegelapan
itu tercipta dan diciptakan? Saya tidak punya kata lain untuk membela yang
seharusnya, untuk memperjuangkan yang seharusnya, saya menyatakan
"Tidak!" untuk semua kedegilan itu.
Saya tahu banyak yang
tidak suka dan tidak setuju, bahkan marah dengan sikap itu. Namun, saya tahu
lebih banyak yang sebaliknya. Mereka yang bisu, tidak berdaya, dan marah
hanya dengan hatinya; mereka yang menjadi khalayak, yang menjadi apa yang
kita sebut rakyat, yang sejatinya adalah inti bangsa ini.
Karena itu, jika
mereka, orang-orang banyak yang tidak suka dan benci dengan keadaan ini, yang
protes, menolak, dan tidak lagi menghormati para penyelenggara negara, lalu
dianggap sebagai halangan atau gangguan bagi tujuan-tujuan jahat itu, silakan
kriminalisasi saja kami, bangsa ini, juga presiden, kiai, dan semua orang
suci. Terdakwakan, tersangkakan, hakimi, adili, dan penjarakan kami, dengan
atau tanpa ayat dan pasal kitab hukum yang ada. Karena, digunakan atau tidak,
sama saja. Kitab hukum-juga politik-itu bukan untuk mencipta keadilan,
ketenteraman, dan kesejahteraan, tetapi sekadar mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan dari 0,1 permil bangsa ini saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar