Status
Penyelidik dan Penyidik KPK
Hifdzil Alim ; Dosen Ilmu Hukum UIN Yogyakarta
|
KORAN TEMPO, 29 Mei 2015
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kalah lagi dalam sidang praperadilan. Kali ini putusan hakim
Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara garis besar menyatakan
KPK tak berhak memeriksa Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK yang ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi. Koran Tempo (27 Mei 2014) menggarisbawahi
pertimbangan hakim tunggal dalam putusan praperadilan itu dengan kalimat "proses penyelidikan, penyidikan, dan
penyitaan KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik antikorupsi
ilegal".
Vonis hakim tunggal
yang sekaligus sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melahirkan,
setidaknya, dua pertanyaan serius. Pertama, apakah dalam kerangka hukum,
kedudukan penyelidik dan penyidik KPK benar-benar melawan hukum-atau minimal
tidak sah? Kedua, apakah semua kegiatan, dokumen, dan/atau produk hukum
lainnya yang diterbitkan oleh penyelidik dan penyidik KPK ilegal?
Eksistensi penyelidik
dan penyidik komisi antikorupsi diatur dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 yang berkata, "Penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan
sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada
KPK." Tafsir atas ketentuan tersebut jelas, misalnya polisi yang
menjadi penyelidik maupun penyidik di komisi antirasuah maupun jaksa yang
berperan sebagai penuntut umum tidak seluruhnya berhenti dengan mutlak.
Statusnya masih menjadi pegawai di kepolisian atau penuntut di kejaksaan.
Artinya, jika masa
tugasnya berakhir di KPK, penyelidik dan penyidik akan kembali ke instansinya
semula. Begitu juga dengan penuntut umum KPK, kalau selesai masa kerjanya di
lembaga antikorupsi, ia akan kembali ke Gedung Bundar sebagai pegawai
kejaksaan. Tidak lagi bekerja dan tidak pula bertanggung jawab kepada KPK.
Apakah pola pinjam pakai pegawai yang ada di KPK kemudian
membuat status penyelidik dan penyidik polisi, serta penuntut umum yang
bekerja di dalamnya, menjadi tidak sah atau ilegal? Jawabannya, tidak. Sebagai contoh, mari
menengok ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 2002. Ayat 1
pada pokoknya mengatur, semua kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang
termaktub dalam KUHAP-maknanya segala kewenangan umum investigasi ala
kepolisian-berlaku pula bagi penyelidik dan penyidik antikorupsi di KPK.
Meski demikian,
meskipun kewenangan umum penyelidikan dan penyidikan berlaku di KPK, garis
tanggung jawabnya dibatasi oleh Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 yang
intinya berujar, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi di KPK." Ada
batasan struktural bagi penyelidik dan penyidik di KPK. Sementara dalam Pasal
7 ayat (2) KUHAP yang mengacu ke Pasal 6 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa
penyidik khusus berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
kepolisian, tidak demikian dengan penyelidik dan penyidik KPK.
Penyelidik dan
penyidik KPK tunduk kepada UU No. 30 Tahun 2002 dan menyimpangi Pasal 6 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang hal ini diperkenankan oleh Pasal 38
ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002. Demi menguatkan konstruksi hukum sedemikian,
maka hadirlah Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU 30 Tahun 2002.
"Penyelidik dan penyidik adalah penyelidik dan penyidik pada KPK yang
diangkat dan diberhentikan oleh KPK", bukan diangkat dan diberhentikan
oleh Mabes Polri.
Pendek kata, secara hukum kelembagaan negara, serta
berdasarkan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 ayat (3), Pasal 43 ayat
(1), dan Pasal 45 ayat (1) UU 30 Tahun 2002 yang disinkronkan dengan Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) UU 8 Tahun 1981, maka status penyelidik dan
penyidik KPK adalah sah. Kedudukan penyelidik dan penyidik polisi-ataupun penuntut umum
kejaksaan-yang bekerja di KPK adalah legal.
Selanjutnya,
katakanlah status penyelidik dan penyidik KPK sah dan legal, mungkinkah
kegiatan, dokumen, dan produk lainnya yang diterbitkan oleh para penyelidik
dan penyidik KPK tidak sah atau ilegal? Kemungkinan seperti ini ada dengan
catatan, sebut saja, penyelidikan, penyidikan, termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, penyitaan, dan penangkapan yang dilakukan ternyata didasarkan
pada gratifikasi atau sumpah/janji dari pihak tertentu yang membuat
penyelidik dan/atau penyidik melakukan segala perbuatan itu. Artinya, meski
status penyelidik dan penyidik sah, produknya menjadi ilegal.
Lalu, bagaimana dalam kasus penetapan tersangka Hadi
Poernomo oleh KPK? Sepertinya tidak ada yang dilanggar oleh KPK. Status
penyelidik dan penyidiknya sah. Juga tampaknya tidak ada "pesanan"
dalam produk hukum penetapan tersangka itu. Dengan demikian, semuanya sah
atau legal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar