Problem
Banyak Anak dan Manusia Tidak Beragama
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 25 Mei 2015
INILAH
dua hasil penelitian yang akan membuat para pimpinan agama (Islam dan
Kristen), mestinya, tidak punya waktu lagi untuk bicara yang remeh-temeh.
Persaingan untuk berebut pengaruh di antara golongan-golongan dalam satu
agama pun bisa tidak relevan lagi. Apalagi persaingan antaragama. Hasil
penelitian itu benar-benar akan membuat para pimpinan agama masing-masing,
mestinya, terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah masing-masing yang sangat
besar ini.
Bulan
lalu Pew Research Center yang
berpusat di Washington DC, Amerika Serikat, mengumumkan hasil penelitiannya.
Pertama, jumlah umat Islam menjadi imbang dengan umat Kristen pada 2050 (31,4
persen Kristen, 29,7 persen Islam). Jumlah penganut Islam akan melebihi umat
Kristen pada 2070. Kedua, perkembangan itu bukan karena banyak umat Kristen
yang masuk Islam, melainkan lebih karena keluarga Kristen memiliki lebih
sedikit anak (2,3) dibanding keluarga Islam (3,5). Juga karena akan banyak
umat Kristen, di Eropa khususnya dan di Barat umumnya, yang tidak mau lagi
terikat dengan agama.
Sambil
melakukan perjalanan dengan naik bus ke kota-kota Nashville, Memphis, New
Orleans, Houston, dan Austin pada hari-hari tidak ada mata pelajaran di akhir
pekan, saya merenungkannya dalam-dalam. Saya tertegun.
Saya
membayangkan betapa seharusnya tiap-tiap pimpinan agama kini bekerja keras
untuk merespons hasil penelitian itu. Seharusnya sudah tidak ada waktu lagi untuk
berebut pengaruh.
Ambil
contoh di internal Islam. Menjadi mayoritas lebih karena jumlah anak yang
lebih banyak bukankah akan menimbulkan persoalan tersendiri? Yakni, bagaimana
dengan jumlah anak yang lebih banyak itu bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Menyiapkan
diri untuk menjadi agama terbesar bukanlah pekerjaan mudah. Terutama kalau
Islam akan menempatkan dirinya menjadi seperti yang diinginkan agama itu:
menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Pertanyaan
mendasar akan datang dari dunia Barat: Dengan Islam menjadi mayoritas,
akankah dunia lebih aman dan damai? Akankah dunia lebih sejahtera? Lebih
makmur? Akankah umat manusia lebih bahagia? Apakah tidak justru sebaliknya?
Lebih kacau? Lebih saling serang? Lebih saling mengafirkan? Lalu, lupa pada misi
utama untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam?
Dunia
Barat –dengan keunggulan teknologi, ekonomi, dan ilmu pengetahuan– tentu
harap-harap cemas menghadapinya. Terutama pada 2070 nanti, ketika penduduk
dunia menjadi 9,3 miliar dari 6,9 miliar saat ini.
Di era
teknologi, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, jumlah bukanlah inti kekuatan.
Justru sering terjadi, dan banyak terbukti, besarnya jumlah sekadar angka
tidak bertulang.
Pertambahan
umat Islam yang besar itu, terang Pew, terjadi di India dan negara-negara
muslim di Afrika. Keluarga mereka memiliki anak yang lebih banyak. Pada 2050
nanti, Indonesia tidak bisa lagi menyebut dirinya sebagai negara muslim
terbesar. Kalah dari India.
Sayang,
banyak-banyakan anak itu, dalam ilmu pengetahuan (termasuk ilmu ekonomi),
akan terkait langsung dengan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Bisa-bisa
tingginya angka kelahiran itu akan berdampak meningkatnya kemiskinan.
Tiongkok,
misalnya, sengaja dengan keras mengendalikan angka kelahiran agar bisa
meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Seandainya tidak ada pengendalian itu,
jumlah penduduk Tiongkok kini mencapai 1,7 miliar. Alias 400 juta lebih
banyak daripada kenyataan sekarang yang 1,3 miliar. Angka kelahiran yang bisa
dicegah itu saja dua kali jumlah penduduk Indonesia. Atau 25 kali penduduk
Malaysia. Untuk menyediakan sarana kesehatan, pendidikan, dan perumahan bagi
400 juta orang itu saja bukan main memakan kemampuan negara.
Negara-negara
Barat tentu akan memperhatikan penuh pengaruh ledakan penduduk tersebut.
Barat pasti khawatir kalau negara-negara berpenduduk besar itu sulit keluar
dari kemiskinan. Itu, bagi Barat, akan dianggap sebagai sumber kekacauan,
imigrasi, dan bahkan sampai terorisme. Maka, pekerjaan untuk meningkatkan
kemakmuran di negara-negara muslim seharusnya menjadi agenda terbesar para
pimpinan agama di segala lapisan.
Pihak
Kristen mestinya juga memiliki agenda internal yang tidak kalah besar. Bukan
dalam menghadapi agama lain, melainkan menghadapi kenyataan baru:
meningkatnya jumlah orang Kristen di Barat yang tidak mau lagi beragama.
Jumlah mereka terus meningkat.
Tentu
para pimpinan Kristen akan memiliki kesibukan yang luar biasa untuk mencegah
hal itu terjadi. Bayangkan, sampai 2050 nanti, papar Pew, 170 juta orang
Kristen menjadi tidak beragama. Khususnya di Inggris, Prancis, Belanda, dan
Selandia Baru.
Hasil penelitian
itu sangat menantang bagi para pimpinan agama tersebut di segala lapisan.
Mungkin perlu lebih banyak pendeta dan pastor dari Indonesia untuk menjadi
misionaris di sana, mengikuti jejak Pendeta Stephen Tong dari Batu, yang
sangat terkenal hebat di Barat.
Sulitnya,
pengertian ”tidak beragama” itu tidak sama dengan ”tidak bertuhan”. Mereka
tetap percaya akan adanya Tuhan, tapi tidak mau terikat dengan agama apa pun.
Itu berbeda dengan pengertian ateis atau komunis pada masa lalu.
Untuk
masa depan, agama tampaknya memang harus sinkron dengan ilmu pengetahuan.
Tidak bisa lagi agama mengajarkan A, ilmu pengetahuan membuktikan B. Pada
zaman dulu, doktrin agama terbukti sering bertabrakan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Soal bumi bulat, soal manusia pertama, soal penciptaan alam
semesta, misalnya, adalah beberapa contoh.
Ilmu
kedokteran, terutama ilmu kromosom, DNA, dan sel, kelihatannya menjadi
penyumbang terbesar doktrin kuno dalam menafsirkan doktrin agama. Demikian
juga ilmu fisika dan ilmu kimia.
Lihatlah
hasil penelitian lain ini. Sejak dua tahun lalu, agamawan aliran lama
tertegun oleh penemuan partikel subatom baru. Penemunya memberi nama sindiran
untuk ”barang” itu sebagai ”partikel Tuhan”. Sebab, mereka yakin bahwa
partikel itulah yang menjadi awal mula terbentuknya jagat raya.
Tentu
masih memerlukan pengujian lebih lanjut terhadap temuan itu. Tapi, mereka
yakin akan bisa melanjutkan penelitiannya dan membuktikan kebenaran
ilmiahnya.
Maka,
ilmuwan yang tergabung di pusat penelitian CERN menciptakan alat untuk
menguji partikel Tuhan itu. Bulan lalu alat tersebut berhasil dibuat. Pada 5
April 2015, CERN mengadakan konferensi pers. Alat penguji itu mulai dicoba
digerakkan. Bentuknya sebuah mesin, yang menurut CERN terbesar yang pernah dibuat
manusia.
Fungsi
mesin itu adalah menabrakkan partikel Tuhan dalam kecepatan tinggi. Menyamai
kecepatan cahaya. Kini CERN sudah menghidupkan mesin tersebut. Lokasi uji
coba itu adalah sebuah terowongan penelitian milik CERN sepanjang 17 mil di
perbatasan Swiss dengan Prancis.
”Kami
sedang menunggu uji coba mesin itu untuk mencapai kecepatan cahaya. Mungkin
dalam dua bulan ke depan,” ujar Direktur Jenderal CERN Rolf-Dieter Heuer
dalam konferensi pers bulan lalu.
Mereka
ingin membuktikan bahwa teori big bang benar: Jagat raya ini tercipta oleh
ledakan besar yang ditimbulkan oleh tabrakan partikel dalam kecepatan cahaya.
Mereka lagi menguji penafsiran doktrin agama yang mengatakan bahwa jagat raya
diciptakan oleh Tuhan begitu saja, tanpa proses fisika.
Mereka
percaya bahwa tabrakan besar partikel tersebut terjadi 14 miliar tahun lalu
dan saat itulah awal mula terbentuknya jagat raya. Penemuan itu nanti, kalau
terbukti, tidak harus kita artikan menolak doktrin bahwa jagat raya
diciptakan oleh Tuhan. Tapi, setidaknya itu akan menggugurkan cara
menafsirkan doktrin agama yang dilakukan selama ini, yakni bahwa jagat raya
diciptakan Tuhan begitu saja. Tidak lewat proses fisika.
Di
tengah gelombang ilmu pengetahuan seperti itu, adakah yang masih menganggap penting
memperdebatkan kapan jatuhnya hari Lebaran sampai berhari-hari? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar