Larangan
Iklan Rokok di Televisi
Endang Suarini ; Pemerhati Kesehatan Masyarakat
|
KORAN TEMPO, 28 Mei 2015
Sejak industri rokok
kretek berdiri di Jawa pada pertengahan abad ke-19, rokok menjadi komoditas
paling dikenal, bahkan sampai ke pelosok desa. Hal ini, salah satunya, dipicu
oleh kecerdikan para ahli strategi iklan di balik industri rokok. Meski Badan
Kesehatan Dunia (WHO) terus mengajak melawan sponsor, promosi, dan iklan
rokok, industri rokok selalu bisa menyiasati setiap regulasi yang tidak ramah
terhadap rokok.
Bayangkan, acara-acara
festival seni dan budaya di berbagai negara, termasuk di Vatikan, hingga kini
masih disponsori Philip Morris. Ini mirip kejadian yang terus terulang di
kampung-kampung di Jawa, setiap ada pengajian besar, pasti selalu ditunggangi
iklan rokok.
Menurut AC Nielsen
Media Research, belanja iklan rokok di negeri kita menduduki peringkat
(rating) kedua sebesar Rp 100 triliun (2012), naik berlipat ganda dibanding
2007 sebesar Rp 1,5 triliun. Iklan rokok di televisi kita saat ini terbilang
cukup signifikan, yakni mencapai 5 persen dari total belanja iklan, terutama
free to air (FTA) TV. Bayangkan, dari 10 TV FTA di Indonesia pada 2014,
belanja iklan mencapai Rp 15 triliun. Porsi iklan rokok yang mencapai 5 persen
dari total belanja iklan itu berarti sekitar Rp 750 miliar.
Riset Media Partners
Asia Database (2014-2015) mengestimasi belanja iklan bersih di Indonesia
tahun ini mencapai US$ 3 miliar atau Rp 39 triliun (di semua jenis media),
dengan iklan rokok memberikan kontribusi sekitar 4,6 persen.
Iklan memang
diperlukan untuk mendukung produksi rokok. Pada 1995, produksi rokok hanya
199.450 miliar batang, dan pada 2012 menjadi 260 miliar batang. Sedangkan
pada 2014 mencapai 362 miliar batang, meningkat 16 miliar batang dibandingkan
dengan realisasi pada 2013. Indonesia pun tetap menjadi pasar cerah bagi
rokok. Bahkan orang paling kaya di negeri ini masih berasal dari industri
rokok. Padahal di negara-negara maju, industri rokok sudah mendekati tamat.
Gencarnya iklan rokok
jelas berdampak buruk, karena membunuh akal sehat. Orang lalu lupa pada
peringatan "rokok membunuhmu". Iklan memang merupakan cara efektif
mempengaruhi pikiran orang. Namun boleh jadi iklan yang paling menyesatkan
adalah merokok itu sehat. Bahkan masalahnya ditarik ke ranah politik dan
budaya. Misalnya, tudingan pihak asing tidak suka jika kretek Indonesia
berjaya, atau asing hendak membunuh para petani tembakau.
Gara-gara gerakan
seperti itu, orang muda bahkan anak-anak tergoda menjadi perokok. Menyedihkan
melihat anak-anak sekolah yang masih duduk di bangku SMP sudah menjadi korban
rokok. Padahal begitu mengisap sekali, orang akan ketagihan, akibat jerat
penuh nikmat dari nikotin yang ada di dalam rokok.
Maka, seiring dengan
peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei, kita menyambut baik
rencana penyusunan draf UU Penyiaran oleh DPR, yang hendak melarang total
penayangan iklan rokok di televisi. Pada Agustus mendatang, penyusunan draf
itu diharapkan rampung. Pasalnya, UU Penyiaran yang berlaku selama ini
dianggap tidak berhasil mengurangi tingkat konsumsi rokok secara nasional,
karena hanya membatasi waktu dan cara penayangan iklan rokok di televisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar