FIFA,
Korupsi, dan PSSI
Djoko Susilo ; Duta Besar RI untuk Swiss 2010-2014
|
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2015
MUNGKIN bagi sebagian masya rakat Indonesia,
operasi penangkapan sejumlah pejabat FIFA, Rabu (27/5) pagi di Zurich, yang
dilakukan oleh polisi Swiss dan sejumlah agen FBI, cukup mengejutkan. Itu
merupakan operasi penangkapan cukup besar yang dialami jajaran elite pejabat
FIFA. Meski demikian, bagi kebanyakan orang di Swiss, terbongkarnya korupsi
di FIFA tidak terlalu mengagetkan. Mereka sudah lama mencium gelagat bau
busuk di FIFA. Hanya, mereka masih sangat sulit membuktikannya.
Andrew Neill ialah wartawan senior Inggris
yang secara lengkap mampu mendokumentasikan tindakan korup sejumlah pemimpin
FIFA melalui bukunya yang berjudul Foul,
yang telah terbit hampir lima tahun yang lalu. Akibat tulisannya itu, menurut
Thierry Regennas, seorang pejabat FIFA yang punya hubungan khusus dengan
PSSI, Andrew Neill dicekal dan dilarang menghadiri semua kegiatan FIFA di
mana pun. Ia menjadi persona non grata di lingkungan FIFA. Masalahnya, yang
diungkapkan Neill itu sangat memalukan bagi Sepp Blatter, bos FIFA, baik
sebagai warga Swiss maupun sebagai tokoh dunia.
Neill mencontohkan, meski Blatter sehari-hari
tinggal di Zurich, alamat KTP-nya tercatat di Kota Appenzell, sebuah kota
kecil yang cukup jauh dari Kantor FIFA. Mengapa dia memilih menuliskan
alamatnya di kota kecil Appenzell? Alasannya sederhana saja, untuk urusan
pajak penghasilan. Sebab, jika dia menuliskan alamat KTP-nya sesuai tempat
tinggalnya di Zurich, dia harus membayar pajak jauh lebih tinggi. Di Swiss,
hal yang demikian termasuk ilegal meski belum tentu bisa dipidanakan.
Blatter yang sudah bergaji jutaan franc Swiss
per tahun, kabarnya sekitar 5 juta franc Swiss per tahun, masih sering minta
uang tiket, sewa apartemen, dan belanjaan pacarnya dibayar FIFA. Sampai 2012,
FIFA dan Blatter seperti tokoh Al Capone dalam film The Untouchables dan dia memang benar-benar The Untouchables. Kondisi itu cukup membikin gusar sejumlah
politikus dan pejabat di Swiss, khususnya anggota parlemen. Oleh karena itu,
pada 2012, Bundesrat atau Parlemen
Swiss menerbitkan sebuah UU yang mewajibkan semua organisasi internasional
yang bermarkas di Swiss harus tunduk dan patuh kepada hukum Swiss.
Perkecualian diberikan kepada PBB, WHO, WTO, dan sebagainya. Karena FIFA
bukan organisasi internasional antarnegara, FIFA wajib tunduk kepada hukum
Swiss. Oleh karena itu, sungguh sangat mengherankan bahwa ada oknum PSSI yang
mengatakan hanya patuh kepada FIFA, tapi tidak kepada Menpora yang merupakan
pemerintah Indonesia.
Jika Blatter dan FIFA tunduk kepada hukum
Swiss, sudah seharusnya kalau hukum nasional Indonesia menjadi acuan dan
sandaran bagi kegiatan PSSI.
Jika Swiss tidak mengakui kepemilikan hak
ekstrateritorialitas dan hak imunitas FIFA sebagaimana diatur dalam Konvensi
Wina 1815 tentang Hubungan Internasional, jelas sekali bahwa PSSI juga tidak
memiliki kekebalan apa pun terhadap hukum Indonesia. PSSI tidak bisa hanya
tunduk kepada FIFA dan terus berlindung kepada status FIFA. Itu hanyalah
rekayasa untuk mencoba memanfaatkan status ekstrateritorialitas dan hak
imunitas, yang di Swiss saja sudah tidak diakui.
Implikasi arogansi
Penangkapan itu cukup melemahkan Blatter. Ia
sudah lama diawasi, tetapi belum ada bukti kuat yang bisa menjeratnya. Hanya,
sudah hampir lima tahun terakhir ini Blatter tidak berani menginjakkan
kakinya di Amerika Serikat, khawatir akan diringkus FBI. Ketika saya masih di
Bern, saya sempat menulis artikel di koran der Bund dengan judul Nein
zum der neo-kolonialismus Herr Blatter (Jangan Bertindak sebagai Penjajah Baru Tuan Blatter), saya
mendapat sambutan dan apresiasi hangat dari banyak pihak. Inti tulisan saya
ialah meminta Blatter dan FIFA jangan mengobok-obok PSSI dan Indonesia, yang
dianggap mereka mirip tanah jajahan.
Implikasi arogansi FIFA itu merembet ke Tanah
Air. Sudah lama pengurus PSSI bersikap merendahkan pemerintah. Ketika saya
menjabat duta besar di Bern, saya cek dari data yang ada, satu-satunya
organisasi Indonesia yang mengunjungi Swiss dan tidak pernah memberitahukan
kehadiran dan aktivitasnya hanyalah PSSI. Bisa dikatakan PSSI tidak pernah
menganggap keberadaan KBRI Bern sebagai wakil pemerintah RI di Swiss.
PSSI mencoba mengikuti pola dan arogansi FIFA
dengan cara yang lebih buruk.Para pejabat FIFA meski juga dikenal arogan,
mereka tetap mempunyai kemampuan yang mumpuni. Sebut saja Thierry Regenass
dan Jerome Valcke. Mereka mempunyai kemampuan bicara dalam bahasa Inggris,
Prancis, dan Jerman.
Dengan kondisi riil yang terjadi sekarang ini,
PSSI hanyalah mengekor dan meniru FIFA dalam format yang buruk. Kesan yang
muncul ialah PSSI antiintelektual, tidak taat hukum, ngeyel, keras, dan mau menang sendiri.
Pembandingkan FIFA dengan PSSI sebenarnya tidak relevan.
Sebab, sejelek-jeleknya Blatter dan geng yang berkuasa di markas FIFA Zurich,
mereka berjasa memopulerkan sepak bola sebagai the beautiful game dan menjadi cabang olahraga paling terkenal di
muka bumi. Selama dua dasawarsa, pemasukan FIFA dari berbagai kegiatan yang
dikelola sangat luar biasa. FIFA telah menjadikan sepak bola sebagai tambang
emas. Sebaliknya, PSSI sudah selama hampir tiga atau empat dasawarsa tidak
memiliki prestasi yang berarti. Malahan ranking Indonesia merosot di bawah
Timor Leste.
Jadi, sesungguhnya sangat mengherankan jika
pengurus PSSI saat ini masih ngotot ingin mempertahankan eksistensinya yang
tanpa prestasi.Wajar sekali jika pemerintah geregetan dan mengambil tindakan
tegas dengan tidak mengakui eksistensi PSSI. Di negara maju seperti Jepang,
Korea Selatan, dan Eropa Barat, jika para pengurus gagal, mereka dengan
sukarela mengundurkan diri.
Paralel dengan yang terjadi di Zurich, sudah
waktunya pemerintah harus berani bertindak lebih tegas, bukan hanya dengan
menolak mengakui kepengurusan PSSI, melainkan juga harus berani melakukan
tindakan audit secara tuntas. Para pejabat FIFA itu ditangkap setelah didakwa
menerima suap. Tidak ada uang pemerintah baik dari AS maupun Swiss, tetapi
jelas bahwa mereka telah melakukan tindakan tidak terpuji.Sayangnya, di
Indonesia, jika perbuatan suap itu tidak melibatkan penyelenggara negara dan
menggunakan uang negara, tindakan itu halal saja. Jadi, jika seseorang
menyuap untuk terpilih dalam kepengurusan organisasi nonpemerintah,
tindakannya tidak bisa disebut korupsi karena tidak melibatkan penyelenggara
negara.
Namun sesungguhnya, saat ini aparat berwajib
mendapatkan momentum untuk membenahi dunia sepak bola secara tuntas. Jika para
pengurus FIFA di Zurich tidak kebal hukum, sudah sewajarnya sekarang PSSI dan
seluruh jajarannya dipaksa membuka diri. Keputusan Komisi Informasi Publik
bahwa data keuangan PSSI itu juga merupakan hak publik untuk tahu merupakan
titik tolak penting dan bisa menjadi landasan. Seharusnya, PSSI tidak perlu
banding, apalagi salah satu tokohnya, Hinca Panjaitan, dulu merupakan salah
seorang penggagas UU kebebasan informasi publik ketika masih menjadi aktivis
LSM IMLPC.
Jika sekarang tidak segera dilakukan tindakan
pembersihan dan pembenahan di PSSI, bangsa Indonesia akan kehilangan
momentum. Kita ingin memiliki pengurus PSSI dan klub sepak bola yang bermartabat,
sportif, dan mempunyai nasionalisme tinggi. Lebih baik kita melakukan perombakan
total dari sekarang daripada sepak bola nasional makin terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar