Membongkar
Zona Nyaman Parpol
Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika
|
KOMPAS, 28 Mei 2015
Sorotan terhadap
kinerja DPR seperti tak berkesudahan. Wacana pembangunan gedung baru DPR
kembali menjadi pemantiknya.
Berita Kompas (25/4)
mendeskripsikan DPR periode 2014-2019 sedang sibuk bekerja untuk diri sendiri
dan atau sibuk mengurus kepentingan partai politik, meski setengah anggotanya
adalah muka-muka baru.
Warga barangkali harus
kembali menelan kekecewaan. Padahal, survei Lembaga Survei Indonesia
menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan publik terhadap DPR, dari 51,7
persen (Oktober 2014) menjadi 59 persen (Februari 2015). Kita tak boleh
menyerah untuk terus memperjuangkan hadirnya DPR yang bekerja untuk
kepentingan warga dan bangsa.
Jalan perubahan
Dalam pandangan
penulis, jalan perubahan bagi DPR sudah selayaknya dimulai dari parpol.
Bagaimana pun, anggota DPR adalah hasil rekrutmen parpol dan secara internal,
parpol memiliki nilai dan aturan main yang mesti diikuti calon-calon pemimpin
politik tersebut. Tetapi, di sini pula kita langsung menemukan kenyataan
pahit lainnya.
Sebagaimana sudah
sering diulas, parpol-parpol juga sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tanpa
keraguan melakukan akrobatik politik di luar nalar warga, bahkan dengan penuh
kebanggaan mempertontonkan sisi gelapnya kepada publik.
Politik memang seni
kemungkinan. Tetapi, geliat parpol bagai tak bertepi. Warga terpaksa terus
menerus turun ekspektasinya terhadap parpol. Politik memang kesiapan untuk
berkompromi tetapi manuver parpol memaksa warga terus menaikkan batas
kekecewaan agar harapannya tak tenggelam.
Banyak dari kita
mengharapkan kehadiran parpol yang memiliki platform jelas dan
diimplementasikan secara konsisten. Banyak dari kita berharap, parpol-parpol
memiliki program-program pembangunan prioritas yang tak sekadar uraian heroik
di atas kertas atau deretan daftar keinginan belaka. Praksis platform dan
program seyogianya menjadi sumber diferensiasi antarparpol. Dengan demikian,
warga sebagai pemilih lebih dimudahkan dalam mengalkulasi ekspektasi dan
risiko atas pilihan politiknya setiap lima tahun.
Kita berharap parpol
menjadi wadah faktual berlangsungnya praktik demokrasi dalam skala messo.
Sirkulasi kepemimpinan berlangsung secara terbuka. Suara anggota dan
konstituen menjadi panduan kerja. Partai tumbuh berdasarkan dedikasi dan
kontribusi anggotanya. Dengan demikian, parpol bisa dibedakan dengan persero
atau firma bisnis.
Asa terhadap parpol
tak pernah boleh pupus. Sebagaimana dikatakan King (1969), kita tak bisa
mengambil kesimpulan partai itu tidak penting meskipun ada fungsi-fungsi
parpol (penataan perolehan suara, integrasi dan mobilisasi, perekrutan calon
pemimpin politik, pengorganisasian pemerintah, formulasi kebijakan, agregasi)
terkadang menunjukkan terbatasnya peran parpol dalam demokrasi.
Sebuah studi
menunjukkan, parpol sebagai sesuatu yang penting hanya dikonfirmasi oleh
mereka yang memiliki identifikasi diri yang tinggi terhadap parpol (Holmberg, 2003). Dengan kata lain,
parpol perlu menjangkau kembali pemilih. Parpol harus menyeimbangkan
fungsi-fungsi normatifnya agar tak terfokus melulu pada urusan seputar meraih
kekuasaan.
Tak ada insentif
Sejauh pengamatan,
(pegiat) parpol sepertinya tak punya insentif untuk menyediakan platform dan
program yang jelas untuk dilaksanakan secara konsisten. Warga diasumsikan
mudah lupa, tidak terlalu peduli dan atau tidak mengetahuinya. Dengan
demikian, parpol merasa tidak memiliki kepastian akan mendapatkan suara besar
pada pemilu.
Sebaliknya, mereka khawatir
bakal kehilangan suara secara signifikan. Soalnya, pemilih yang semula
terpincut dengan jargon besar justru menjauh begitu memahami kejelasan
program yang ditawarkan dan konsekuensi yang menyertai. Untuk sebagian ini
berpijak pada asumsi, aliran informasi yang besar akan mendorong pemilih
untuk lebih mudah ke lain parpol. Tetapi, sebuah studi sebenarnya menunjukkan
hal sebaliknya. Tingginya aliran informasi justru meningkatkan kelekatan
pemilih terhadap partai spesifik (Albright,
2008).
Parpol juga tak
memiliki insentif untuk menjalankan demokrasi di internal. Untuk sebagian ini
bersumber dari ketiadaan platform dan program yang jelas dan konsisten
dijalankan dan atau ketiadaan sejarah kelembagaan yang panjang. Sebagai
gantinya, parpol menyandarkan pendulangan suara pada figur. Untuk sebagian
lainnya disebabkan adanya kesadaran bahwa kepemimpinan parpol dalam berbagai
tingkatan membutuhkan dana dan hal ini diharapkan berasal dari pemimpin
parpol.
Sirkulasi kepemimpinan
pun menjadi terbatas. Daulat elite di internal menjadi kewajaran belaka.
Lebih daripada itu, parpol juga khawatir regenerasi kepemimpinan justru
berakibat fatal. Suara mereka dalam pemilu jadi merosot baik karena ketiadaan
dana dan atau ketiadaan daya tarik lagi di mata pemilih.
Ketiadaan insentif ini
lambat laun membangun zona nyaman bagi parpol. Parpol tidak melihat
pentingnya mereformasi diri, termasuk menyegarkan alasan kehadiran dalam
panggung politik nasional. Antarpemilu perolehan suara sangat mungkin
berfluktuasi sesuai konteks persaingan.
Akan tetapi,
parpol-parpol besar dan menengah saat ini sama-sama meyakini tak bakal
terdegradasi menjadi partai gurem. Ini terutama ditopang aturan kompetisi
yang memungkinkan mereka bertahan sesuai batas perundang-undangan. Yang
terakhir ini bisa dinegosiasikan sedemikian rupa dan menjadi alat pertukaran
dukungan terhadap kebijakan. Secara longgar, parpol telah membentuk apa yang
disebut kartel politik.
Parpol sepertinya
cukup merasa puas dengan dukungan pemilih tradisionalnya dan karenanya
memfokuskan usaha untuk meraup suara pemilih yang berpindah-pindah dan atau
menampung protest voters.
Lagi-lagi, andalannya adalah figur.
Ubah aturan kompetisi
Zona nyaman ini perlu
dibongkar. Kuncinya adalah pada perubahan aturan main. Dari berbagai aturan
berkompetisi, setidaknya ada dua pokok usulan yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, menaikkan
angka parliamentary threshold (PT) dan sekaligus memperkecil ukuran daerah
pemilihan sehingga tiap dapil maksimal hanya diwakili 3 orang. Ini ide lama
yang ditolak dengan dalih hanya menguntungkan parpol besar. Untuk itu,
solusinya adalah menetapkan masa persiapan dua hingga tiga pemilu ke depan.
Dengan demikian, partai-partai menengah dan kecil memiliki waktu persiapan
yang memadai.
Parpol besar pun
terpaksa berbenah diri agar tak tergilas. Reformasi dan atau transformasi
parpol menengah dan kecil niscaya akan mengubah lanskap persaingan yang ada
saat ini.
Terkait ini, kedua,
melonggarkan persyaratan parpol menjadi kontestan pemilu. Kemudahan
persyaratan ini diimbangi dengan tingginya PT yang berlaku untuk semua
tingkatan (nasional ataupun daerah) serta menghapus ketentuan electoral
threshold. Parpol yang gagal mendapatkan kursi yang cukup tetap mendapatkan
haknya untuk mengikuti pemilu berikut tanpa ada keharusan mengganti nama,
logo, dan identitas lainnya. Bagaimana pun, keajegan identitas lebih
memudahkan parpol-parpol yang tak lolos PT untuk kembali bersaing pada pemilu
berikutnya.
Syaratnya, mereka tak
berdiam diri. Masa di antara dua pemilu menjadi ruang kontestasi untuk
menunjukkan kekuatan dan keunikan partai tersebut sehingga bisa mendongkrak
favorabilitasnya. Lebih daripada itu, kehadiran mereka akan menjadi ”pemain
ketiga” yang memberi perspektif lain ketika parpol yang berkuasa dan parpol
oposisi justru saling berkongsi atau bertengkar tanpa juntrungan. Kehadiran
”pemain ketiga” akan mendorong parpol yang meraih kursi di parlemen
memperbaiki diri agar tak ditinggal pemilih pada pemilu berikutnya.
Perubahan aturan
Perubahan aturan main
besar kemungkinan ditentang oleh sebagian parpol yang ada saat ini. Jika itu
yang terjadi, dan sepertinya bakal terjadi, harapan dapat disandarkan pada
parpol baru (akan) yang didirikan pasca pileg 2014.
Belajar dari
pengalaman sejak 1999, membentuk parpol baru (benar-benar baru ataupun
pecahan) relatif mudah. Tetapi, menjadikannya sebagai parpol yang memiliki
daya saing tinggi jelas lain lagi ceritanya. Hal ini tak bisa dicapai sekadar
bermodal semangat, kemarahan, dana dan atau nama besar belaka.
Ada rangkaian proses
dan kerja yang harus dilakukan secara saksama. Para pendirinya harus memiliki
orientasi jangka panjang. Ini diikuti dengan kemauan membangun budaya politik
yang baru. Parpol baru harus bisa menunjukkan perbedaan signifikan dengan
parpol lama. Mereka harus menunjukkan keusangan praktik politik dalam parpol
yang ada saat ini.
Di tengah kian
pupusnya harapan warga terhadap parpol yang ada saat ini, parpol baru
sejatinya memiliki peluang untuk menjadi pemain yang signifikan jika mampu
menunjukkan visi dan perilaku politik yang benar-benar menyegarkan. Dalam
konteks ini, parpol baru tidak memiliki benefit apa pun untuk ikut dalam
keriuhan Koalisi Indonesia Hebat vs Koalisi Merah Putih. Parpol baru juga tak
akan menjadi sesuatu yang baru jika kembali mengulang pola-pola yang
dilakukan parpol sebelumnya. Dan, jika itu pula yang menjadi pilihan mereka,
lagi-lagi, kita menemukan jalan buntu untuk mereformasi parpol.
Ketika parpol tak
punya insentif mereformasi dirinya, kita sebagai warga yang harus lebih aktif
dan bersikap. Sebagai pemilih, kita mesti berani menanggalkan kebiasaan lama.
Sebagaimana parpol, kita juga hanya mulai sibuk menjelang pemilu. Kita
relatif mengabaikan fase antarpemilu. Sekali lagi, ini juga bukan urusan yang
sederhana.
Kita tak boleh
menyerah meski berkali-kali terbentur tembok raksasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar