Mental
Pancasila
Yudi Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
|
KOMPAS, 28 Mei 2015
Setelah 70 tahun
Pancasila hadir sebagai dasar dan haluan kenegaraan, langit kejiwaan bangsa
ini lebih diliputi awan tebal pesimisme, ketimbang cahaya optimisme. Suasana
kemurungan itu amat melumpuhkan.
Berbeda dengan
pemikiran konvensional yang memandang kesuksesan sebagai pendorong optimisme,
bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman,
optimismelah yang mendorong kesuksesan.
Impian kemajuan suatu bangsa tak bisa dibangun dengan pesimisme. Tentu
saja yang kita perlukan bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu
optimisme dengan mata terbuka. Suatu harapan yang berjejak pada visi yang
diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan.
Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang
mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya
mengantisipasi masa depan.
Pancasila sesungguhnya
bisa memberikan landasan visi transformasi sosial yang holistik dan
antisipatif. Berdasarkan pandangan
hidup Pancasila, perubahan sistem
sosial merupakan fungsi dari perubahan pada ranah mental-kultural
(sila ke-1,2,3), ranah politikal (sila
ke-4), dan ranah material (sila ke-5).
Tiga ranah revolusi
Untuk mengatasi krisis
multidimensional yang melanda bangsa ini, imperatif Pancasila menghendaki
adanya perubahan mendasar secara akseleratif, yang melibatkan revolusi
material, mental-kultural, dan politikal.
Revolusi (basis) material diarahkan untuk menciptakan perekonomian
merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran; berlandaskan usaha
tolong-menolong (gotong royong) dan penguasaan negara atas cabang-cabang
produksi yang penting-yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta atas
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; seraya memberi
peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.
Revolusi
(superstruktur) mental-kultural
diarahkan untuk menciptakan masyarakat religius yang
berperikemanusiaan, yang egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas dari berhala
materialisme-hedonisme; serta sanggup menjalin persatuan (gotong royong)
dengan semangat pelayanan (pengorbanan).
Revolusi (agensi)
politikal diarahkan untuk menciptakan agen perubahan dalam bentuk integrasi
kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi
persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan); dengan
pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan.
Ketiga ranah revolusi
itu bisa dibedakan, tetapi tak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling
memerlukan pertautan secara sinergis. Selaras dengan gagasan Trisakti Bung
Karno, revolusi material diusahakan agar bangsa Indonesia bisa berdikari
(mandiri) dalam perekonomian; revolusi mental agar bangsa Indonesia bisa
berkepribadian dalam kebudayaan; revolusi politik, agar bangsa Indonesia bisa
berdaulat dalam politik. Secara sendiri-sendiri dan secara simultan ketiga
ranah revolusi itu diarahkan untuk mencapai tujuan Revolusi Pancasila:
mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur (material dan spiritual).
Revolusi mental
Revolusi mental
merupakan salah satu unsur dari Revolusi Pancasila. Revolusi mental ini
diorientasikan agar mental Pancasila bisa menjiwai dan mendorong perubahan di
bidang material dan politik yang sejalan dengan idealitas Pancasila.
Istilah mental berasal
dari kata Latin mens (mentis) yang berarti jiwa, nyawa,
sukma, roh, semangat. Mental dapat diartikan sebagai suasana kejiwaan
dan pola pikir (mindset) seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan pengertian
itu, inti dari Revolusi Mental adalah perubahan mendasar pada pola pikir dan
sikap kejiwaan bangsa Indonesia, sebagai prasyarat bagi perwujudan karakter
yang bisa membuat bangsa berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik,
dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Gerakan Revolusi
Mental ini berangkat dari asumsi bahwa dengan mengubah mentalitas akan
menimbulkan perubahan perilaku; perilaku yang terus diulang akan menjadi
kebiasaan (adat istiadat/moralitas); sedangkan kebiasaan yang terus dipertahankan
akan membentuk karakter. Dengan demikian, yang dikehendaki dari gerakan
"Revolusi Mental" tidak berhenti pada perubahan pola pikir dan
sikap kejiwaan saja, tetapi juga konsekuensi turunannya dalam bentuk
perubahan kebiasaan serta pembentukan karakter yang menyatukan antara
pikiran, sikap, dan tindakan sebagai suatu integritas.
Dasar dan haluan
pembangunan mental-karakter ini adalah nilai Pancasila, terutama sila ke-1, 2
dan 3. Menurut pandangan hidup Pancasila, keberadaan manusia merupakan ada
yang diciptakan oleh cinta kasih Sang Maha Pencipta sebagai ada pertama. Di
hadapan Sang Maha Kasih, semua manusia sederajat, yang melahirkan
semangat-mental egalitarisme. Setiap pribadi dimuliakan Sang Pencipta dengan
bawaan hak asasi yang tak bisa dirampas, seperti hak hidup, hak milik dan
kehormatan-kemerdekaan (dignitas), dengan kedudukan sama di depan hukum.
Penghormatan terhadap
eksistensi individu dan hak asasinya tidak berarti harus mengarah pada
individualisme. Individualisme memandang bahwa manusia secara perseorangan
merupakan unit dasar dari seluruh pengalaman manusia. Postulat dasar dari
individualisme adalah otonomi independen dari setiap pribadi. Ungkapan yang
sangat terkenal dari individualisme menyatakan: "Kamu datang ke dunia seorang diri dan meninggalkan dunia
seorang diri." Meski
kenyataannya tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia secara sendirian.
Selalu ada ibu dan budaya komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya
hingga ke "tempat peristirahatan
yang terakhir".
Apa yang menjadi
karakteristik dari individualisme adalah keyakinan implisit bahwa relasi
sosial bukanlah pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling
fundamental. Dengan kata lain, perseorangan tak dipandang sebagai produk
relasi-relasi sosial. Relasi sosial adalah sesuatu yang terjadi pada individu
ketimbang sesuatu yang mendefinisikan identitas dan mengoordinasikan
eksistensi individu. Individu tidaklah dibentuk dan diubah secara fundamental
oleh relasi sosial. Karena itu, tetap sebagai pribadi yang otonom-independen
(Gilbert, 2014: 29-34).
Berbeda dengan
individualisme, Pancasila memandang bahwa dengan segala kemuliaan eksistensi
dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri
terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk
oleh jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di
bawah keadaan yang sangat luar biasa, bergantung pada bentuk-bentuk kerja
sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat
mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan kondisi-kondisi
material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.
Tanpa kehadiran yang
lain, manusia tidak akan pernah menjadi manusia sepenuhnya. Kebajikan
individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang
baik. Oleh karena itu, selain menjadi manusia yang baik, manusia harus
membentuk kolektivitas yang baik.
Dalam kaitan ini, pengembangan mental-karakter harus berorientasi
ganda: ke dalam dan ke luar. Ke dalam, pengembangan mental-karakter harus
memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai
"perwujudan khusus" ("diferensiasi") dari alam. Sebagai
perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan-kecerdasannya
masing-masing. Proses pengembangan mental-karakter harus membantu manusia
menemukenali kekhasan potensi diri tersebut sekaligus kemampuan untuk menempatkan
keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat
besar.
Sementara keluar,
pengembangan mental-karakter harus memberikan wahana setiap orang untuk
mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan,
dan sistem perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan
olah raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat
menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik
atau lebih buruk.
Dalam menghadirkan
kolektivitas yang baik, setiap pribadi memiliki kewajiban sosial (bahkan
dituntut untuk mendahulukan kewajiban di atas hak). Seturut dengan itu,
selain ada hak individu ada pula hak kolektif (ekonomi, sosial, budaya)
yang-dalam banyak sejarah sosial-mendahuluinya. Sebagai padanan dari semangat
egaliterianisme pada lever pribadi, bangsa Indonesia sebagai suatu
kolektivitas juga harus memperoleh, bahkan harus terlebih dahulu memperoleh,
hak kemerdekaannya. Inilah pesan moral dari alinea pertama UUD 1945,
"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa".
Sikap mental yang
harus ditumbuhkan sebagai ekspresi kemerdekaan bangsa ini adalah mental
kemandirian. Kemandirian tidaklah sama dengan kesendirian. Kemandirian adalah
sikap mental yang bisa dan berani berpikir, bersikap, dan bertindak secara
berdaulat, bebas dari intervensi dan paksaan pihak-pihak lain. Menumbuhkan
mental mandiri, selain mensyaratkan mental egaliter, juga meniscayakan adanya
kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas berbasis sains dan teknologi.
Kemandirian kolektif bangsa Indonesia juga bisa tumbuh secara ajek jika warga
Indonesia bisa menunaikan kewajiban publiknya secara amanah, jujur, dan
bersih. Kolektivitas yang tidak disertai mentalitas kejujuran akan merobohkan
kemandirian bangsa. Dalam suatu bangsa di mana korupsi merajalela, kedaulatan
bangsa tersebut mudah jatuh ke dalam dikte-dikte bangsa lain.
Selain semangat-mental
egaliter, mandiri dan amanah, manusia sebagai makhluk religius yang
berperikemanusiaan juga harus membebaskan dirinya dari berhala materialisme
dan hedonisme. Kegagalan proyek emansipasi Revolusi Perancis yang melahirkan
tirani kapitalis dan Revolusi Rusia yang melahirkan tirani "nomenklatura" terjadi karena
keduanya sama- sama terpenjara dalam pemujaan terhadap materialisme. Menurut
pandangan hidup Pancasila, materi itu penting, tetapi tak boleh diberhalakan.
Di hadapan Yang Maha Kuasa, materi itu bersifat relatif yang tak dapat
dimutlakkan.
Dengan semangat
ketuhanan yang berperikemanusiaan,
materi sebagai hak milik itu memiliki fungsi sosial yang harus
digunakan dengan semangat altruis
(murah hati). Dengan mental
altruis, manusia Indonesia sebagai makhluk sosial dapat mengembangkan
pergaulan hidup kebangsaan yang ditandai oleh segala kemajemukannya dengan
mentalitas gotong royong, Bhinneka Tunggal Ika (persatuan dalam keragaman).
Dengan semangat gotong royong, persatuan warga Indonesia bisa dikembangkan
dengan menghargai adanya perbedaan; sedangkan dalam perbedaan bisa merawat
persatuan.
Untuk bisa menumbuhkan
mentalitas persatuan dalam keragaman itu diperlukan semangat-mental
pengorbanan dan pelayanan. Ujung dari semangat persamaan, kemandirian,
kejujuran, alturisme dan persatuan adalah pelayanan kemanusiaan. Makna pelayanan di sini bukan hanya dalam
bentuk kesiapan mental untuk menunaikan kewajiban sosial sesuai dengan tugas
dan fungsi, tetapi juga dalam bentuk kerja keras dan kerja profesional dalam
mengaktualisasikan potensi diri hingga meraih prestasi tertinggi di bidang
masing-masing, yang dengan itu memberikan yang terbaik bagi kemuliaan bangsa
dan umat manusia.
Demikianlah pandangan
hidup Pancasila sudah mengandung bawaan mentalitasnya tersendiri. Oleh karena
itu, gerakan Revolusi Mental tidak perlu memungut jenis-jenis mentalitas itu dari udara. Yang
diperlukan tinggal menentukan mentalitas inti sebagai prioritas perubahan.
Logika revolusi menghendaki, "sekali revolusi dicetuskan, ia harus
diselesaikan; tidak boleh ditinggalkan di tengah jalan sebelum tujuan
revolusi itu tercapai, setidaknya hingga taraf minimum". Oleh karena
itu, kita menunggu realisasi gerakan
Revolusi Mental yang dicanangkan pemerintahan ini secara konsisten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar