Merger
Bank Syariah
Adiwarman A Karim ; Peneliti di Center for Indonesian Political
Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA, 04 Mei 2015
Pemikiran
untuk melakukan merger di antara bank-bank syariah milik BUMN kembali
mengemuka. Keinginan memiliki bank syariah BUMN yang besar, kuat, dan efisien
menjadi alasan utama, apalagi menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang
semakin dekat.
Keberhasilan
merger beberapa bank BUMN sebelumnya yang menghadirkan sebuah bank yang
besar, kuat, dan efisien menambah besar dorongan untuk mengulangi
keberhasilan yang sama di antara bank-bank syariah. Beberapa keberhasilan
merger bank-bank swasta yang juga kemudian menghadirkan bank yang besar,
kuat, dan efisien menambah keyakinan kebaikan dan manfaat merger bank
syariah.
Namun,
keberhasilan merger harus didukung oleh banyak faktor yang meliputi strategi
konsolidasi, waktu konsolidasi, biaya konsolidasi, dan yang paling penting
kejelian dalam analisis kesiapan bank yang akan dimerger.
Kimie
Harada dan Takatoshi Ito, masing-masing peneliti Universitas Chuo dan National Bureau of Economic Research
AS, dalam kajian mereka, "Did Mergers Help Japanase Mega-Banks Avoid
Failure?" menggunakan ukuran distance to default untuk mengukur
peningkatan efisiensi pada bank hasil merger. Ada dua temuan penting mereka.
Pertama,
merger di antara bank-bank yang lemah hanya akan menghasilkan bank yang lemah
pula. Kedua, dalam beberapa bank hasil merger, distance to default malah memburuk.
Judith
Montorial-Garriga, peneliti Bank Sentral AS di Boston, dalam kajian bersama
dengan European Central Bank, "Bank
Mergers and Lending Relationships", menemukan bahwa nasabah-nasabah
peminjam berskala kecil akan terabaikan dalam proses merger. Secara
keseluruhan, efisiensi terasa dalam penurunan tingkat suku bunga bank hasil
merger.
Charles
Calomiris dan Jason Karceski, masing-masing profesor ekonomi Universitas
Columbia dan guru besar keuangan Universitas Florida, dalam kajian mereka
bersama National Bureau of Economic
Research, "Is the Bank Merger
Wave of the 1990s Efficient?" menemukan empat hal penting dalam
sembilan kasus merger bank di AS.
Pertama,
secara keseluruhan, proses merger menciptakan nilai tambah bagi industri
perbankan. Kedua, beberapa bank hasil merger mengalami kegagalan akibat
penurunan drastis pendapatan selama proses konsolidasi.
Ketiga,
perilaku manajemen bank yang akan dimerger menimbulkan kenaikan biaya yang
tidak perlu. Menaikkan gaji dan pangkat sebelum merger agar mendapatkan
posisi yang lebih baik setelah merger merupakan salah satu fenomena yang
terjadi. Keempat, sinergi pendapatan terwujud walaupun tidak ada efisiensi
biaya.
Jith
Jayaratne dan Philip Strahan, masing-masing peneliti Compass Lexecon dan peneliti National
Bureau of National Economic, dalam kajian mereka, "The Benefits of Branching Deregulation", menjelaskan,
peningkatan efisiensi akibat aturan yang membolehkan ekspansi cabang bank.
Namun, bank hasil merger yang memiliki cabang dengan lokasi tumpang tindih
merupakan tantangan yang tidak mudah.
Keberhasilan
merger bank di Indonesia di masa lalu, misalnya, didukung oleh kesabaran dan
komitmen penuh pemegang saham dalam proses konsolidasi yang luar biasa.
Pertama, kredit macet dalam jumlah yang signifikan dibersihkan dan ditangani
lebih lanjut oleh BPPN. Hal ini sangat penting agar konsentrasi manajemen
terfokus pada upaya konsolidasi proses merger dan tidak terganggu dengan
beban masalah kredit macet.
Kedua,
sejumlah besar surat berharga obligasi disuntikkan untuk memperkuat modal
bank yang memberikan arus pendapatan selama proses konsolidasi berlangsung.
Hal ini juga sangat penting untuk memberikan ketenangan kepastian pendapatan
dengan risiko sangat kecil mendekati nihil.
Ketiga,
sejumlah besar dana disediakan untuk memberhentikan kelebihan karyawan akibat
proses merger tersebut. Keempat, inefisiensi akibat lokasi cabang yang
tumpang tindih ditoleransi sampai waktu tertentu. Kelima, sejumlah besar dana
disediakan untuk rebranding, training ulang, dan pembentukan budaya
perusahaan yang baru. Keenam, sejumlah besar dana dialokasikan untuk
menyamakan platform sistem teknologi.
Merger
bank-bank syariah milik BUMN akan serta-merta menurunkan laju pertumbuhan
industri perbankan syariah Indonesia selama masa konsolidasi tiga sampai lima
tahun. Padahal, saat ini merupakan saat yang sangat krusial bagi pertumbuhan
laju perbankan syariah di Indonesia untuk mengisi ruang-ruang potensi pasar
sebelum diambil bank milik asing dengan diberlakukannya MEA.
Alternatif
lain adalah dengan menyiapkan strategi merger dua tahap. Tahap pertama selama
tiga tahun ini adalah dengan menetapkan target bagi bank induk untuk
membesarkan bank-bank syariah anak perusahaan masing-masing, mencapai,
misalnya, 20 persen dari aset induknya.
Tahap
kedua adalah proses merger dan penambahan modal pemerintah atas bank hasil
merger tersebut. Ketika tahap pertama selesai, maka bank-bank syariah milik
BUMN tersebut telah sedemikan kuat dan besar sehingga bank induk pun akan
kesulitan memenuhi kebutuhan modalnya dan modal anak perusahannya. Itulah
saat yang tepat untuk melakukan merger sekaligus penambahan modal pemerintah
kepada bank hasil merger.
Merujuk
pada model distance to default yang digunakan Kimie Harada dan Takatoshi Ito,
merger bank yang kuat menghasilkan bank hasil merger yang kuat pula serta
meningkatkan efisiensi operasinya. Pada saat itu, bank syariah Indonesia
bukan saja menjadi tuan di rumah di negeri sendiri, bahkan juga menjadi tuan
rumah di Asia. Kejelian dalam menyusun strategi merger bank syariah akan menentukan
keberhasilannya.
Sayidina
Ali RA mengingatkan, kebaikan yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh
keburukan yang terorganisasi. Diperlukan kesabaran dalam mengembangkan
industri keuangan syariah. Ingatlah kisah Thalut ketika kaum beriman yang jumlahnya
sedikit dapat mengalahkan kaum yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Ingat
pula kisah Perang Badar. Allah SWT mengingatkan, "Berapa sering terjadi
kaum yang sedikit dapat mengalahkan kaum yang banyak dengan izin Allah, dan
Allah bersama orang-orang yang sabar." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar