Paradoks
Golkar
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIPOL Undana, Kupang
|
KORAN TEMPO, 30 Mei 2015
Ketua majelis hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara, Teguh Satya Bakti, mengabulkan gugatan Aburizal
Bakrie untuk membatalkan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono (Tempo.co, 18/5). Jika pengajuan
banding dilakukan Menkumham, konsekuensinya selama proses banding berjalan,
kubu Aburizal tak bisa memobilisasi pendaftaran pilkada ataupun revisi UU
Pilkada. Sebab, berdasarkan Pasal 36 Peraturan KPU, partai yang bersengketa
bisa mengikuti pilkada jika ada keputusan hukum tetap. Karena belum ada
inkracht, KPU masih mengakui SK Menkumham mengenai kepengurusan Partai Golkar
kubu Agung.
Jika aksi saling gugat
tak berujung, kader-kader terbaik Golkar di daerah sudah pasti akan masuk
kotak di pilkada serentak 9 Desember nanti. Secara kelembagaan, Golkar pun
akan mengalami stagnasi karena gagal menjadikan pilkada serentak sebagai
amunisi memperkuat sumber daya, terutama dalam menyongsong Pemilu 2019.
Revivalitas partai untuk mengembalikan kejayaannya akan termakan sia-sia oleh
spirit faksionalisasi politik liar.
Sebagaimana tradisi
demokrasi kita, setiap keputusan politik yang menghasilkan kekalahan akan
memunculkan kelompok baru, lalu membidani lahirnya partai baru untuk
menjustifikasi dan melanjutkan identifikasi kepentingan politik pihak kalah.
Apakah model ini yang terus membingkai politik kita? Padahal arah politik
kekinian sedang memantapkan proses reifikasi dan kejernihan ideologi
berpartai. Kita tak ingin eksistensi parpol hanya menjadi mesin pertarungan
berbasis kalah-menang, dendam-kekecewaan, karena hal itu hanya akan merusak
ideologi suci partai.
Sayang, semangat islah
dua kubu Golkar tak kunjung terbit. Kader/elite yang terbilang berpengalaman
dan memiliki kematangan politik mumpuni justru sibuk larut dalam hukum besi
saling meniadakan. Insting berburu jabatan tampaknya telanjur berakar dan
berpotensi mendestruksi fondasi dan kohesivitas partai.
Meminjam pendapat Max
Weber, kondisi ini mencerminkan para politikus sesungguhnya bukan hidup untuk
politik, yang memandang politik sebagai panggilan atau medan pengabdian (vocation/beruf), namun mereka hidup
dari politik, di mana dunia politik dijadikan sumber nafkah dan ajang politik
transaksi. Model politik seperti ini adalah racun yang tentu saja
menggerogoti bangunan demokrasi.
Tak ada jalan lain,
sikap legawa elite Golkar harus terbit mendahului terbitnya "matahari
kembar" partai. Tidak sulit untuk duduk semeja dengan hati jernih
merundingkan masa depan partai, karena mereka pernah dibesarkan oleh
orientasi sejarah yang sama. Terlebih ketika komunikasi diletakkan pada nilai
kebajikan (virtue), nurani, dan
ketekunan mewujudkan bonum commune,
upaya untuk menepis menipisnya lapisan ozon kepercayaan dan saling pengertian
di antara elite Golkar bukan hal yang mustahil.
Paradoks jadinya
ketika masing-masing kubu berkukuh memenangi kepentingannya atas nama
kebenaran dan demokrasi, sementara menurut Lary Diamond (dalam Agustino,
2009: 58), mengenai konflik di tubuh partai, jika demokrasi disepakati
sebagai aturan main, dialog/islah adalah syarat mutlak membangun konsensus.
Sebab, hanya dengan konsensuslah pintu rekonsiliasi terbuka dan metamorfosis
kultur politik yang dewasa dan terlembaga dapat terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar