NU,
Pancasila, dan Nasionalisme
A Helmy Faishal Zaini ; Ketua LPPNU; Anggota Komisi X DPR RI
|
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2015
WALAU problem filosofis yang kita hadapi hari
ini masih kabur dan belum kunjung jernihnya mendudukkan dua terminologi yang
sesungguhnya berbeda, tetapi cenderung kita anggap sama. Dua terminologi yang
dimaksud ialah bangsa dan negara. Secara epistemik, dua terminologi tersebut
sesungguhnya jika direnungkan memiliki makna berbeda. Bangsa ialah sebuah
kelompok masyarakat yang terikat sebab memiliki rasa kesamaan antara satu dan
yang lain. Sementara negara ialah organisasi pada sebuah wilayah yang
memiliki supremasi tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.Jika terma
pertama merujuk pada rasa, terma kedua lebih bernuansa administratif dan
legal formal.
Dalam perjalanan `melahirkan' Indonesia,
penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu modal penting, sebab
suatu transformasi budayalah yang tidak mudah untuk memadupadankan sekaligus
menyatukan adanya kepelbagaian. Bahkan, jika melihat fakta-fakta historis,
bangsa Nusantara telah memiliki modal sosial yang sangat berharga, suatu
karakter kepribadian yang khas. Karakter itu tecermin dari adanya kekayaan
etnisitas, suku, ras, agama, dan golongan yang begitu plural.
Di samping itu, Indonesia juga merupakan
negara yang mengikuti dinamika perkembangan modernitas sebagai sebuah
tuntutan global. Dengan demikian, keunikan dari karakter kepribadian
Nusantara yang khas ini dapat menggabungkan tiga pilar penting, yakni pertama,
Islam sebagai sistem nilai dan agama yang dianut oleh mayoritas. Kedua,
adanya sistem demokrasi Pancasila yang menjamin adanya kedaulatan di adanya
kedaulatan di tangan rakyat sepenuhnya, dan ketiga tantangan adanya
modernitas di sisi yang lain. Sekali lagi, penggabungan tiga aspek penting
dalam suatu harmoni kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tidaklah mudah.
KH Mahfudz Siddiq (1906-1944) pada 1935
menginisiasi suatu konsep yang sangat menarik terkait karakter kepribadian
Nusantara.Konsep itu ia namakan mabadi' khairi ummah (pilar-pilar masyarakat
ideal). Pada awalnya, konsep itu hanya mencakup tiga pilar. Kemudian pada
masa sesudahnya dikembangkan menjadi lima pilar, yaitu ash-shidqu (pilar kejujuran dan kebenaran), al-amanah walwafa' bil `ahdi (pilar kesetiaan dan komitmen), al-'adalah (pilar keadilan), at-ta'awun (pilar solidaritas), serta al-istiqamah (pilar kedisiplinan dan
konsistensi). Melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan
tempatnya bernaung dan mendarmabaktikan diri, Mahfudz mengampanyekan
pembentukan karakter bangsa yang bersendi pada pilar-pilar tersebut.
Jalan terjal
Sekali lagi kita patut untuk bersyukur atas
ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya ialah
kontrak sosial dan titik temu di antara para pendiri bangsa.
Jauh setelah ditetapkannya Pancasila sebagai
dasar negara tersebut, kita tahu banyak jalan terjal yang harus dilalui.
Aneka riak-riak ketidaksetujuan yang disebabkan kekurangdalaman memahami
sebuah persoalan, menyebabkan banyak gerakan-gerakan yang berusaha untuk
merongrong Pancasila. Sebut saja gerakan sporadis Kartosoewirjo dengan Darul
Islamnya atau juga gerakan-gerakan ormas Islam yang mengajak untuk mendirikan
sistem khalifah yang masih kita rasakan denyutnya, bahkan sampai hari ini,
termasuk di dalamnya ialah NIIS (Negara Islam Irak dan Syiria).
NU sebagai salah satu ormas terbesar di
Indonesia didasari pemahaman yang jernih dengan sangat lantang mengatakan
bahwa NKRI ialah bentuk final dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan
dengan Islam. Dua keputusan tersebut sesungguhnya tidak lepas dari alasan
historis bahwa pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari ialah pencetus dan penggerak
resolusi jihad. Pada titik ini sesungguhnya nasionalisme NU tidak bisa
diragukan lagi. Bahkan, pada muktamar ke-27 1984 di Situbondo, secara tegas
NU memutuskan bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 ialah bentuk final
perjuangan umat Islam Indonesia.
Lebih jauh, dalam menjaga na sionalisme
tersebut, Kyai Ahmad Shiddiq (19261991) kemudian merumuskan tiga model ukhuwwah yang sangat terkenal, yaitu ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan umat
Islam), ukhuwwah wathaniyyah
(persaudaraan bangsa), dan ukhuwwah
basyariyyah (persaudaraan umat manusia). Ketiga model ukhuwah yang diformulasikan ini patut
kita renungkan dan amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pada itu, Ketua Umum PBNU, Said Aqil
Siroj, dalam artikelnya `Mendahulukan
Cinta Tanah Air' mengatakan bahwa ukhuwwah
wathaniyah (persaudaraan bangsa) harus didahulukan di atas ukhuwwah islamiyyah. Hal ini
sesungguhnya pernyataan retorik sekaligus penegasan sikap bahwa cinta Tanah
Air dan menjunjung tinggi nasionalisme serta menjaga warisan kesepakatan founding fathers ialah hal yang tidak
bisa ditawar lagi, apalagi di tengah pelbagai isu gerakan yang semakin hari
semakin berusaha untuk menggerogoti nasionalisme kita. NU, berkomitmen
mempertahankan, menjaga, sekaligus merawat warisan luhur tersebut.
Walhasil, pada momentum muktamar ke-33 di
Jombang pada 1-5 Agustus mendatang yang mengusung tema `Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia',
sekali lagi, kita tunggu terobosan serta sikap NU dalam merespons fenomena
kebangsaan yang sedang kita alami hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar