Kelembagaan
dan Keamanan Pangan
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat;
Penulis buku ”Ironi Negeri Beras”; Pegiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
KORAN SINDO, 29 Mei 2015
Dalam dua pekan ini,
publik dihebohkan oleh beredarnya beras plastik. Bermula dari Bekasi, Jawa
Barat, kehebohan itu menjalar ke seluruh penjuru negeri.
Keresahan menghinggapi
semua pihak: konsumen, pedagang, dan pemerintah. Konsumen yang biasa membeli
beras curah, kini mengurangi volume pembelian. Pedagang beras yang biasanya
menerima kini makin cerewet terhadap pemasok. Kini pemerintah sibuk
mengklarifikasi dan memastikan ada-tidaknya beras plastik, juga siapa
produsen dan pengedarnya.
Pekan lalu, Sucofindo
memastikan dalam sampel beras mengandung polyvinyl chloride, bahan yang biasa
dipakai untuk pipa dan pembalut kabel. Untuk memastikan ada-tidaknya
kandungan plastik, Badan POM, Laboratorium Forensik Polri, Kementerian
Perdagangan, dan Kementerian Pertanian meneliti sampel yang sama. Hasilnya,
tidak ditemukan kandungan plastik.
Karena itu, Polri
memastikan berita yang meresahkan lantaran ada beras plastik tidak benar.
Keresahan yang menjalar lantaran sikap latah. Terlepas dari ada-tidaknya
kandungan plastik, salah satu perdebatan yang hangat adalah sebenarnya apa
motif pembuatan dan peredaran beras ini? Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
menangkap indikasi makar.
Dugaan itu tidak bisa
disepelekan, sebab jika motifnya mencari keuntungan di tengah tingginya harga
beras saat ini tidak masuk akal dalam kalkulasi bisnis. Beras merupakan
pangan superpenting di negeri ini. Semua perut warga bergantung pada beras.
Padi diusahakan lebih dari seperlima penduduk negeri ini. Beras juga menjadi
salah satu indikator komoditi upah karena berperan besar dalam inflasi.
Pendek kata, beras
menduduki posisi super penting sebagai komoditas politik. Dengan posisi
seperti itu, untuk menciptakan social unrest tidak usah repot-repot
menggunakan isu etnis, agama, atau terorisme. Tetapi cukup menyebarkan isu
beras yang kita makan dipupuk dengan pupuk berbahan tidak halal, geger akan
menjalar ke seluruh negeri. Atau beras yang kita konsumsi dicampur atau
terbuat dari plastik, keresahan akan menjangkiti semua warga—seperti tecermin
di pelbagai pemberitaan sepanjang pekan lalu dan pekan ini.
Sendi-sendi kehidupan
mudah rontok lewat beras sebagai “senjata”. Apa pun motif di balik produksi
dan peredaran beras plastik, kejadian ini ibarat fenomena puncak gunung es.
Masalah yang tampak di permukaan hanya satu atau dua soal, tetapi yang tidak
tampak di bawahnya menggunung, bukan mustahil seperti bom waktu masalah
keamanan pangan.
Sebelum kasus ini,
berulang kali media memberitakan soal pangan tidak aman dan tidak sehat: tahu
bercampur formalin, bakso berboraks, daging sapi dioplos daging celeng,
daging gelonggongan, biskuit mengandung ganja, dan kasus lainnya. Bisa
dibeber, deretannya amat panjang, mencakup cakupan yang luas.
Permasalahan pangan
tidak aman mencakup penggunaan bahan tambahan tidak tepat, pelabelan dan
periklanan yang membodohi konsumen, pangan kedaluwarsa, dan proses produksi
yang tidak memenuhi syarat keamanan. Karena itu, pengamanan makanan harus
dilakukan pada seluruh mata rantai suplai makanan, mulai tahap produksi,
pengolahan, distribusi, sampai konsumen di tingkat rumah tangga.
Ini baru menyangkut
aspek yang bersifat fisik. Pengoplosan daging sapi dengan daging celeng lebih
bernuansa keyakinan. Hal itu pun masuk kategori persoalan keamanan pangan.
Dalam situasi apa pun, pedagang dituntut menyediakan pangan yang benarbenar
aman lahir ataupun batin. Sebagai konsumen, masyarakat tentu berharap
keamanan dan kesehatan mereka terlindungi oleh pemerintah lewat pengawasan
ketat makanan yang beredar oleh lembaga pengawas.
Di Indonesia,
pengawasan makanan segar dan makanan olahan dilakukan dua lembaga yang
berbeda. Obat dan makanan olahan di bawah Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
sedangkan pangan segar diawasi Badan Karantina di Kementerian Pertanian.
Pengawasan yang berlangsung sampai saat ini masih perlu diperbaiki dan
disesuaikan. Pengawasan masih terlalu fokus pada pre-marketevaluation melalui
proses pendaftaran contoh produk pangan yang diedarkan sebelum mendapat izin
edar (Hariyadi, 2015).
Sebaliknya, monitoring
dan inspeksi pada fasilitas dan proses produksi pangan serta evaluasi
terhadap pangan beredar (post-market evaluation) masih amat terbatas.
Kalaupun dilakukan hanya fokus pada pangan olahan, sedangkan pangan segar
relatif kurang tersentuh. Padahal, masalah keamanan pangan segar tidak kalah
mengerikan, baik pangan segar impor maupun produksi domestik.
Salah satu contohnya
kasus beras plastik ini. Jika evaluasi pangan beredar saja tidak banyak
dilakukan, bisa dipastikan kebijakan dan upaya yang bersifat preventif dalam
keamanan pangan jauh lebih memprihatinkan. Dalam pengawasan pangan segar,
salah satu isu penting adalah soal kelembagaan. Berbeda dengan Badan POM yang
mandiri dan langsung di bawah Presiden, Badan Karantina relatif terbatas
gerak dan otoritasnya. Terkait ini, pekerjaan rumah yang harus segera
diselesaikan adalah pembentukan kelembagaan pangan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan (Bab XII, Pasal 126) menyatakan, “Dalam hal
mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan
nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan, berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.
Dengan menarik Badan
Karantina ke dalam kelembagaan pangan ini, memungkinkan gerak dan otoritas
pengawasan lebih powerfull . Keberadaan kelembagaan pengawas yang powerful
menjadi keniscayaan karena kecurangan secara ekonomi bukanlah satu-satunya
motif pemalsuan pangan. Pemalsuan pangan dengan motif nonekonomi bisa datang
dari mana saja dan tidak hanya berkaitan dengan kewajiban negara mewujudkan
ketersediaan pangan yang bermutu bagi penduduknya, tetapi juga bisa memengaruhi
keamanan dan ketahanan nasional.
Negara-negara maju
amat protektif dan rigid mengatur masalah keamanan pangan karena mereka tahu
ketika pangan tidak aman, bukan hanya peluang ekonomi akan hilang, tetapi
seluruh sendi kehidupan warga bisa lumpuh akibat pasokan pangan seret atau
tidak aman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar