Penyalahgunaan
Kewenangan Pejabat
Widyopramono ; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) Kejagung
|
SUARA MERDEKA, 28 Mei 2015
JUMLAH kasus
penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintahan hingga harus berakhir di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus meningkat, meskipun pemerintah banyak
melakukan upaya pencegahan dan penindakan.
Hal ini berbanding
lurus dengan tidak tercapainya target Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
sebagaimana ditetapkan dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Akhir 2014 IPK
Indonesia ditetapkan mencapai skor 5.0, namun hasil survey Transparency
International menunjukkan skor 3.4 atau hanya naik 0.2 dibanding tahun 2012
dan 2013. Tidak berlebihan bila korupsi dianggap sebagai extraordinary crime karena dilakukan dengan cara sistematis dan
meluas.
Bila tidak cepat
diatasi akan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi, kelangsungan
pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu penanganan perkara
tindak pidana korupsi memerlukan tindakan hukum luar biasa pula. Data yang
dilansir Kemendagri sejak 2005 sampai Agustus 2014, ada 331 kepala
daerah/wakil kepala daerah, 3.169 anggota DPRD, dan 1.221 PNS terlibat tindak
pidana korupsi.
Data itu belum
termasuk jumlah kepala daerah, anggota DPRD dan PNS yang terlibat perkara
hukum sejak bergulirnya otonomi daerah yang berlangsung sejak berlakunya UU
Nomor 22 Tahun 1999. Kelahiran UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU AP) pada tanggal 17 Oktober 2014 telah menimbulkan
kekhawatiran beberapa kalangan.
Regulasi itu akan
menjadi momok bagi pemberantasan korupsi, khususnya berkait penerapan Pasal 3
UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kekhawatiran itu
seharusnya tidak perlu terjadi karena penjelasan UU AP menguraikan bahwa
regulasi itu menjadi dasar hukum bagi peningkatan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Selain itu, sebagai upaya mencegah praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Justru kelahiran
regulasi itu diharapkan sebagai bagian dari langkah strategis mencegah
terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi terjadinya korupsi.
Dalam perspektif hukum administrasi negara yang menjadi parameter untuk
membatasi gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan adalah penyalahgunaan
kewenangan dan sewenang-wenang.
Kriteria di areal
hukum pidana yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur pemerintahan
disebut sebagai melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan. Adapun untuk
areal hukum perdata perbuatan melawan hukum disebut wanprestasi.
Orang Tertentu
Pengertian
”penyalahgunaan kewenangan” tidak ditemukan dalam UU PTPK. Namun dalam Pasal
52 KUHP ditemukan uraian ”melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya
atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau
sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya”.
Dalam perspektif hukum
pidana, terutama dalam praktik penanganan dan penyelesaian perkara tindak
pidana korupsi, kewenangan erat hubungannya dengan jabatan atau kedudukan
yang dimiliki seseorang. Hal itu berarti subjek hukum hanya berlaku untuk
orang tertentu, yaitu yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu.
Indriyanto Seno Adji
dalam keterangannya sebagai ahli pada tahap penyidikan perkara tipikor Bibit
Slamet Riyanto-Chandra M Hamzah telah menguraikan bahwa menyalahgunakan
kewenangan diartikan sedemikian rupa. Pertama; memiliki kewenangan tapi
menggunakan kewenangannya lain daripada kewenangan yang ada.
Kedua; tak memiliki
kewenangan namun melakukan tindakan seolah-olah memiliki kewenangan. Ketiga;
melakukan perbuatan/tindakan dengan menyalahgunakan prosedur untuk mencapai
tujuan tertentu. Perbuatan ”menyalahgunakan kewenangan” hanya mungkin terjadi
bila memenuhi dua syarat : Pertama; si pembuat yang menyalahgunakan
kewenangan berdasarkan kedudukan atau jabatan tertentu memang mempunyai
kewenangan dimaksudkan.
Kedua; kedudukan atau
jabatan yang mempunyai kewenangan tersebut masih (sedang) dipangku atau
dimilikinya. Memperhatikan uraian ”penyalahgunaan kewenangan” dalam
perspektif UU AP dan praktik UU PTPK ditemukan ada persamaan di antara
keduanya.
Hal sama juga
ditemukan dalam putusan MA Nomor 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Februari 1992.
Pertimbangan putusan itu menguraikan pengertian menyalahgunakan kewenangan
dengan cara mengambil alih pengertian dalam Pasal 53 Ayat (2) UU Nomor 5
Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang itu atau detournement
de pouvoir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar