Kabinet
Kerja, Banyak Bicara
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KORAN TEMPO, 29 Mei 2015
Presiden Joko Widodo
saat ini sedang membutuhkan situasi politik yang kondusif dan dukungan
politik dari berbagai pihak. Segala bentuk kontroversi, gejolak, dan
perselisihan politik, karena itu, sedapat mungkin harus dihindari para
menteri dan pembantu presiden.
Dalam konteks inilah kemarahan mantan presiden SBY terhadap Menteri ESDM
Sudirman Said adalah peristiwa yang patut disayangkan. Sudirman Said,
sebagaimana diberitakan media massa, menyatakan, "Rencana
pembubaran Petral sebelumnya selalu berhenti di meja presiden." SBY merasa terpojok oleh pernyataan tersebut, lalu
menyampaikan kekesalannya melalui media sosial yang kemudian dikutip banyak
media massa.
Tentu ini bukan
kemarahan sembarang orang. Ini kemarahan seorang mantan presiden sekaligus
Ketua Umum Partai Demokrat, sebuah partai politik besar yang sikap politiknya
sangat mempengaruhi legitimasi pemerintahan Jokowi. Dari sisi komunikasi
politik, kemarahan itu jelas dapat memperkeruh hubungan Presiden Jokowi dan
SBY serta Partai Demokrat. Meskipun, secara substansi, pernyataan Sudirman
Said mungkin ada benarnya.
Sudah sering dikatakan, salah satu problem pemerintahan
Jokowi adalah komunikasi politik. Kontroversi yang dipicu pernyataan Sudirman
Said tersebut semakin membenarkan anggapan itu. Dalam berbagai kesempatan, menteri-menteri
menyampaikan pernyataan yang menimbulkan reaksi kekecewaan dan kemarahan
berbagai pihak. Alih-alih meringankan beban komunikasi politik presiden,
mereka justru melahirkan kontroversi yang tidak perlu. Bukannya menjadi juru
bicara yang baik, dalam beberapa hal mereka justru memperberat beban politik
Presiden Jokowi. Kabinet Kerja menjadi kelihatan seperti kabinet yang banyak
bicara.
Hal ini menunjukkan
Kabinet Kerja secara keseluruhan belum menunjukkan strategi komunikasi
politik yang solid. Pernyataan satu menteri bisa saja tiba-tiba bertolak
belakang dengan pernyataan menteri lain, bahkan bertolak belakang dengan
pernyataan Presiden. Semua ini dipertontonkan ke publik dan sering kali tanpa
klarifikasi resmi setelah kejadian. Presiden dan menteri-menteri terkesan
masih mencari-cari kerangka atau bentuk komunikasi publik yang sesuai dengan
keadaan. Yang terjadi kemudian adalah mereka tidak menguasai benar: apa yang
perlu disampaikan kepada publik dan apa yang tidak perlu, pertanyaan
jurnalistik mana yang perlu dijawab dan mana yang bisa ditunda jawabannya,
siapa yang sebaiknya berbicara dan siapa yang sebaiknya di belakang layar
saja.
Selain itu, sesungguhnya tidak etis jika pemerintah Jokowi
sedikit-sedikit menyalahkan pemerintah yang terdahulu. Tugas sebuah
pemerintahan memang menyelesaikan masalah-masalah yang belum diselesaikan
oleh pemerintahan sebelumnya.
Bangsa Indonesia sudah
memiliki persepsi sendiri tentang mantan presiden SBY. Kritik pemerintahan
Jokowi terhadap pemerintahan SBY tidak dengan mudahnya mengubah persepsi itu.
Justru masyarakat akan mempersepsikan positif jika SBY secara konsisten
menunjukkan sikap legowo, sumeleh, dan tidak banyak bicara. Patut dicatat,
kelemahan pemerintah Jokowi dalam mengendalikan masalah-masalah ekonomi,
misalnya, dengan sendirinya akan mendorong masyarakat untuk membandingkannya
dengan keadaan yang bisa-jadi lebih baik pada masa pemerintahan SBY. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar