Haruskah
Panen Beras di Pasar?
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat
|
REPUBLIKA, 19 Mei 2015
Penyerapan gabah atau
beras petani domestik oleh Bulog masih kecil. Sampai 13 Mei 2015, pengadaan
beras oleh Bulog baru mencapai 750 ribu ton, jauh dari target internal Bulog
sebesar 2,7 juta ton.
Porsi pengadaan makin
kecil apabila dibandingkan dengan target yang dipatok pemerintah: 4,5 juta
ton setara beras. Jika pengadaan tidak membaik, cadangan beras pemerintah
yang dikelola Bulog terus terkuras.
Pada satu titik,
cadangan benar-benar tandas, pasar mudah sekali memanas. Pedagang yang
menguasai stok bakal mendikte harga. Agar hal itu tidak terjadi, kini muncul
wacana Indonesia impor beras.
Impor tidak dilarang
sepanjang ada alasan kuat. Pada Pasal 36 UU No 18/2012 tentang Pangan
disebutkan, impor pangan hanya dapat dilakukan apabila: (1) produksi pangan
domestik tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; dan
(2) produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak
mencukupi. Jadi, impor merupakan opsi terakhir (the last resort).
Lalu, pemerintah
menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif
terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani,
nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil (pasal
39). Jadi, impor apa pun tidak boleh merugikan.
Tepatkah impor beras
dilakukan saat ini? Produksi padi pada 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah
kering giling (GKG) atau setara 41,789 beras (rendemen 59 persen). Dengan
angka konsumsi beras per kapita tertinggi, 139 kg per tahun, konsumsi 250
juta warga Indonesia hanya 34,75 juta ton. Jika data ini benar, tentu masih
ada surplus yang besar. Surplus semakin besar bila perkiraan produksi padi
pada 2015 oleh Kementerian Pertanian tercapai: 73 juta ton padi. Impor kian
absurd karena dilakukan bukan karena produksi beras domestik tidak memadai,
baik akibat gagal panen maupun penyebab lainnya.
Impor beras memang
menggiurkan. Ini karena disparitas harga beras domestik dan di pasar
internasional amat tinggi. Harga eceran beras medium di pasar dunia cukup
rendah, per 23 April 2015 tercatat 335–365 dolar AS per ton untuk beras
Thailand 25 persen broken, dan 330–340 dolar AS per ton untuk Vietnam 25
persen broken. Dengan kurs 1 dolar AS setara Rp 13 ribu, harga beras di pasar
dunia hanya berkisar Rp 5.500 – Rp 6.500 per kg.
Betapa menggiurkan
untung yang bisa ditangguk? "Memanen beras di pasar" alias impor,
dan bukan panen di lahan, selalu jadi jurus pamungkas. Seolah-olah semua
jalan sudah buntu.
Tidak pernah
diperhitungkan efek berantai impor beras. Mengimpor beras dari luar negeri,
walaupun dengan harga yang lebih murah ketimbang harga beras petani domestik,
akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Bedanya, kalau mengimpor beras dari
luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang
dalam konsep ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect).
Sebaliknya, jika
membeli beras petani domestik meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek
berantai di dalam negeri. Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi,
pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya
efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Mengapa Jepang begitu protektif
pada beras produksi petaninya? Ini tidak lain karena Jepang lebih
mengedepankan efisiensi sosial, bukan efisiensi ekonomi, apalagi efisiensi
komersial.
Situasi di lapangan
tidak mudah bagi Bulog menyerap gabah atau beras. Di satu sisi, ada tuntutan
kuat agar Bulog menjaga kualitas beras. Ini terkait keluhan buruknya kualitas
beras untuk rakyat miskin (raskin) yang selalu berulang. Di sisi lain, bila
berkeras menjaga kualitas besar kemungkinan Bulog tidak mendapatkan gabah
atau beras.
Di Inpres Perberasan
No 5/2015, harga pembelian pemerintah (HPP) beras kualitas medium di gudang
Bulog dipatok Rp 7.300 per kg. Di sisi lain, harga beras serupa di pasaran
masih tinggi: Rp 9.954 per kg. Bahkan, di Jakarta Rp 10.720 per kg
(www.kemendag.go.id, diakses 14 Mei 2015). Tanpa exit policy, penyerapan
gabah atau beras Bulog tidak akan membaik.
Salah satu exit policy
yang bisa dipilh adalah membuka peluang Bulog membeli gabah atau beras lewat
jalur komersial. Lewat jalur ini Bulog bisa membeli gabah atau beras dengan
harga berapa pun, sesuai harga pasaran. Kebijakan semacam ini pernah
diterapkan pada 2011.
Jika ini ditempuh,
Bulog harus memaksimalkan penyerapan dalam sisa panen raya dan panen gadu.
Masalahnya, opsi ini ibarat berjudi: ada peluang untung, tetapi bisa pula
merugi. Saat dipimpin Mustafa Abubakar, pada 2009 Bulog membeli beras
besar-besaran melalui jalur komersial. Cadangan aman, harga beras dan inflasi
terkendali. Impor juga tidak terjadi. Namun, Bulog merugi Rp 200 miliar
karena harga beras kemudian jatuh.
Sebagai Perum, salah
satu tugas direksi Bulog adalah mencari laba sehingga bisa menyetorkan
keuntungan pada negara. Jika merugi akibat melaksanakan tugas sosial, seperti
menyerap gabah atau beras domestik, mengelola cadangan beras pemerintah, dan
mengelola raskin, dewan direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap
tidak perform.
Mestinya, sebagai
pelaksana tugas sosial dari pemerintah (baca: negara) konsekuensi apa pun
yang muncul, termasuk kerugian, ini sesuatu yang given. Bulog, terutama
direksi, tidak bisa serta-merta dinilai tidak perform karena menjalankan
tugas-tugas public service obligation
itu. Untuk menghindari moral hazard, Bulog harus diawasi superketat.
Sepanjang Bulog tidak dibebaskan dari beban menanggung potensi kerugian
akibat pengadaan lewat jalur komersial, penyerapan beras tidak akan beranjak
membaik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar