Ideologi
Birokrasi di Indonesia
Indra J Piliang ; Ketua Tim Ahli Menteri PAN dan Reformasi
Birokrasi
|
KORAN SINDO, 25 Mei 2015
Pemikiran
politik di Indonesia bisa juga digunakan terhadap birokrasi. Birokrasi,
bagaimanapun, pernah begitu kuat mempengaruhi masa kolonial dan pasca
kolonial, termasuk sebagai kekuatan politik utama.
Walau
dijadikan sebagai entitas yang independen dan imparsial, birokrasi
kenyataannya masih menjadi kekuatan utama yang bersinggungan dengan politik.
Dalam era demokrasi, birokrasi ”dijauhkan” dari politik, dengan hanya
memberikan hak memilih, bukan dipilih. Penting diingat bahwa Belanda
menguasai Indonesia bukan lewat penguasaan teritorial berupa pengerahan
tentara, melainkan melalui birokrasi.
Birokrasi
Belanda bekerja dalam masa perang dan damai. Dibandingkan dengan keluasan
wilayah Indonesia, jumlah tentara pendudukan sama sekali tidak sebanding.
Tentara hadir ketika perang, itu pun dibatasi di daerah-daerah tertentu
secara bergiliran. Birokrasi Belanda sama sekali tak mau berperang di seluruh
area di Indonesia.
Sebagai
kekuatan penting dalam menguasai Indonesia, baik penduduk maupun wilayahnya,
birokrasi menggunakan administrasi pemerintahan. Administrasi adalah ruh
birokrasi. Penguasaan penduduk dan wilayah itu dilakukan melalui perjanjian,
baik perjanjian dagang maupun perjanjian lain. Maka bisa dikatakan, Belanda
menguasai Indonesia dengan lembaran-lembaran kertas, bukan dengan peluru dan
mesiu.
Dalam
proses yang panjang, perjalanan birokrasi di Indonesia mengalami fase-fase
yang bergejolak. Baik akibat perubahan politik dan pemerintahan, maupun
sentuhan perkembangan lain, terutama teknologi informasi. Birokrasi mengalami
perubahan, terutama akibat pergantian elite politik, baik di tingkat pusat
maupun daerah.
Birokrasi
mengalami tekanan apabila digunakan sebagai kekuatan politik. Padahal,
hakikatnya, birokrasi bekerja secara tenang tanpa ada tekanan politik. Tugas
publik birokrasi jauh lebih penting, ketimbang tugas politik yang lebih
bersifat jangka pendek.
Bergerak ke Mana?
Dari
sisi ideologi, belum begitu jelas, birokrasi Indonesia bergerak ke mana. Di
negara-negara lain yang ideologinya komunis, misalnya, birokrasi adalah
perpanjangan tangan dari partai politik. Di negara-negara sosialis, birokrasi
menjalankan fungsi pemberdayaan publik, lewat aksi-aksi sosial. Birokrasi
adalah negara dan negara adalah birokrasi itu sendiri, dengan keterlibatan
secara bersamaan dengan partai politik dan militer.
Birokrasi
begitu melekat dengan partai politik yang menguasai negara. Birokrasi di
negara-negara komunis—juga sosialis—adalah birokrasi yang bersifat tertutup.
Keputusan yang diambil hampir tidak diketahui dari mana sumbernya. Begitu pun
rekrutmennya tertutup, sama sekali tak dibuka kepada kalangan lain di luar
birokrasi sendiri. Bahkan, publik sulit mengetahui siapa saja yang menjadi
pejabat di dalam struktur pemerintahan.
Yang
diketahui hanyalah keputusan-keputusan yang diambil. Dalam perkembangan
sekarang, birokrasi di Indonesia terlihat tanpa memiliki ideologi yang jelas.
Birokrasi bisa saja dimasuki oleh kalangan lain atas nama rekrutmen terbuka.
Proses ”bukabuka”- an dalam tubuh birokrasi ini menunjukkan bahwa birokrasi
Indonesia mulai terlihat liberal, dibandingkan dengan era sebelumnya.
Argumen
yang digunakan adalah kemampuan para profesional di tempat lain, lebih baik
daripada birokrat. Padahal, swasta yang dijadikan sebagai sektor profesional
itu punya target yang berbeda dengan pemerintahan. Kalangan profesional
(swasta) lebih ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah sampai seberapa jauh birokrasi
ini direformasi?
Sampai
titik mana reformasiitudilakukan? Apakah reformasi birokrasi itu berarti
membuka diri bagi masuknya kalangan nonbirokratkedalamtubuhbirokrasi,
sekalipun tidak dididik sebagai birokrat dalam sistem nilai yang baku?
Birokrasi sebagai pelayan publik tentu berbeda dengan pekerja profesional
yang bekerja guna meraih keuntungan semaksimal mungkin.
Juga,
bagaimana dengan kewajiban birokrat-birokrat yang sudah pensiun dan menerima
dana pensiun? Apakah mereka juga masih memiliki sejumlah tanggung jawab
terhadap pemerintah? Dalam bentuk apa? Belum lagi pengetahuan dan pengalaman
yang mereka miliki, tentunya bisa digunakan sebaik-baiknya guna kepentingan
yang lebih luas.
Kajian Birokrasi
Sejumlah
pertanyaan itu tentu penting untuk dikaji, mengingat reformasi birokrasi
adalah tema sentral yang penting, termasuk dengan pembentukan Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Birokrasi menjadi
satu-satunya unsur yang dibuat kementeriannya, dalam rangka reformasi.
Tidak
ada unsur lain yang dibuatkan kementeriannya, katakanlah polisi, militer,
maupun penyelenggara negara lainnya. Reformasi birokrasi idealnya hanyalah
program yang bisa bersifat jangka pendek, jangka menengah, ataupun jangka
panjang, namun bukanlah proses yang berlangsung selamanya tanpa batas akhir.
Kalaupun ada perbaikan, sehingga berlangsung terus-menerus, tentu juga
memerlukan batas waktu, paling tidak dari sisi batas ideologi.
Di
sinilah muncul masalah, apakah birokrasi Indonesia menganut sistem yang
tertutup, ataukah terbuka, atau setengah tertutup dan setengah terbuka? Salah
satu contoh, kalangan nonbirokrat bisa masuk memimpin satu lembaga birokrasi,
dengan cara rekrutmen secara terbuka. Apakah sudah dipikirkan dampakdampak
jangka pendek, menengah, dan panjangnya?
Padahal,
sebagaimana kita ketahui, kehadiran politisi (partai-partai politik) dalam
tubuh birokrasi, juga berlangsung selama lima tahun. Mereka pun menempati
posisi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan ataupun anggota parlemen.
Politisi hanya memberikan warna ”ideologis” secara terbatas, baik dari sisi
waktu atau pengaruh, bahkan hanya semata sebagai warna ”program”, atau bahkan
bisa saja hanya warna ”kebijakan”.
Politisi
tidak bisa memberikan warna keseluruhan, mengingat birokrasilah yang berada
di dalam tubuh penyelenggara negara dan pemerintahan secara berketerusan.
Apalagi, jumlah jabatan politik terbatas dibandingkan dengan jumlah birokrasi
itu sendiri. Birokrasi selayaknya dilepaskan dari kepentingan partai-partai
politik.
Namun,
birokrasi tidak bisa mengabaikan sama sekali kehadiran partai-partai politik
di alam demokrasi, sehingga birokrasi perlu mempelajari partai-partai
politik, baik dari sisi platform, program, hingga kebijakan, sebagaimana juga
politisi mempelajari seluruh nomenklatur sebagai penyelenggara negara apabila
memenangkan kontestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar