Pilkada
Serentak (Tidak) Murah?
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KORAN TEMPO, 27 Mei 2015
Baru-baru ini, sedang
hangat dibicarakan di media massa adanya ancaman mundurnya jadwal tahapan
pemilihan kepala daerah serentak di sejumlah daerah. Sebab, sampai 18 Mei
2015, terdapat sekitar 184 daerah yang belum menandatangani Naskah Hibah
Perjanjian Daerah (NHPD) sebagai syarat pencairan anggaran pilkada. Yang
paling ekstrem adalah adanya 16 daerah yang sama sekali belum membahas
anggaran pilkada, atau dengan kata lain belum memperoleh persetujuan dari
pemerintah daerah dan DPRD.
Terlepas dari persoalan
krusial di atas, ada satu hal lain yang menarik didiskusikan, yaitu ihwal
anggaran penyelenggaraan pilkada serentak. Hal itu berawal dari logika umum
bahwa jika pilkada dilakukan secara serentak di ratusan daerah, tidak hanya
akan efisien dalam hal waktu, tapi juga dalam hal anggaran. Namun Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dalam Rapat Koordinasi Nasional Persiapan Pilkada
2015 serentak di Balai Kartini, menyatakan nilai anggaran pilkada
diperkirakan mencapai Rp 6,7 triliun untuk 269 daerah. Artinya, Tjahjo
berpandangan pilkada serentak (pada 2015) lebih mahal daripada pilkada tidak
serentak yang diadakan sebelumnya, yang hanya menelan biaya sekitar Rp 5
triliun (Kompas, 4/5).
Mengapa demikian?
Apakah benar biaya yang digelontorkan lebih mahal karena dilakukan serentak,
atau ada hal lain yang menyebabkan hal itu terjadi?
Jika kita memeriksa
payung hukum pilkada yang berlaku, yakni UU Nomor 8 Tahun 2015, kita akan
mengetahui bahwa semangat UU Pilkada sudah cukup bernapaskan penghematan
dalam hal anggaran. Di mana saja, unsur keiginan mengetatkan anggaran
terlihat pada UU di atas. Pertama, dalam hal perubahan sistem dan penetapan
calon terpilih sehingga pemilihan dapat selesai dalam satu putaran. Kedua,
aturan dalam perpu tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan, yang meliputi
tahapan uji publik, dihapus. Ketiga, pemungutan suara secara serentak.
Sayangnya, regulasi
yang sudah relatif baik itu tidak didukung oleh hal-hal penting lainnya.
Lantas, apa saja faktor yang menjadi biang keladi membengkaknya total
anggaran pilkada serentak yang rencananya akan digelar di sembilan provinsi,
224 kabupaten, dan 36 kota itu?
Penulis berpendapat
ada empat faktor penyebab membuncahnya budget untuk pilkada yang menurut
aturan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktor pertama
dan paling krusial adalah kesalahan menerjemahkan arti kata
"serentak". Serentak di sini hanya bermakna digelar pada tanggal
yang sama, yaitu 9 Desember 2015. Padahal, serentak juga bermakna pemilu
nasional, yaitu memanfaatkan banyak item yang sama, kecuali surat suara.
Sudah seharusnya pilkada serentak ketika dilaksanakan di satu provinsi yang
sama. Penyelenggara memanfaatkan hal-hal yang sama untuk menekan biaya,
seperti panitia pemilihan (KPPS, PPK, dan panitia lain), tempat pemungutan
suara, petugas pemutakhiran data pemilih, dan lain-lain.
Faktor kedua, yang
berkaitan erat dengan faktor pertama, adalah pengganggaran ganda untuk satu
daerah yang sama untuk hal yang semestinya cukup dianggarkan di salah satu
wilayah saja. Kemudian, faktor ketiga, adalah aturan teknis di bawah UU yang
justru kurang mendukung aspek penghematan yang sudah diangkat oleh UU.
Apabila kita memeriksa Lampiran Permendagri Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan Dana Kegiatan Pilkada, akan ditemukan banyak hal yang semestinya
tidak perlu dicantumkan atau jumlahnya bisa dikurangi. Hal-hal yang
dimaksudkan adalah pencetakan kartu pemilih (dan kartu pemilih tambahan),
pemeliharaan kantor, pembentukan kelompok kerja, dan biaya-biaya perjalanan
dinas.
Kartu pemilih bukan
lagi hal yang wajib karena bisa diganti yang lebih hemat, seperti surat
undangan biasa seperti dalam pemilu nasional. Begitu pula dengan pemeliharaan kantor, yang biasanya sudah
dianggarkan dalam APBD setiap daerah oleh masing-masing kepala daerah. Sama
halnya dengan dua anggaran lain, pembentukan pokja-pokja bisa saja
dipertimbangkan untuk ditiadakan. Adapun dana perjalanan dinas tidak harus
sampai dihilangkan sama sekali, tapi jumlahnya harus ditekan.
Faktor terakhir,
adanya anggaran baru yang ditanggung oleh APBD, padahal sebelumnya ditanggung
oleh partai politik dan calon: dana digunakan untuk debat publik terbuka dan
bahan kampanye (selebaran pamflet, poster, alat peraga, umbul-umbul, serta
sejumlah iklan komersial lainnya). Penulis menilai faktor terakhir agak
istimewa karena walaupun di satu sisi memang meski membutuhkan dana yang
tidak sedikit, eksistensinya penting untuk menciptakan kondisi yang adil di
antara yang satu dan yang lain.
Karena itu, para
pembuat kebijakan perlu segera berpikir dan duduk bersama guna mendiskusikan
solusi-solusi yang reliable untuk dapat mengejawantahkan pilkada yang tidak
boros biaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar