Konspirasi
Memperlemah Golkar dan PPP
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN SINDO, 27 Mei 2015
Kepastian langkah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengajukan banding atas
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang sengketa Partai Golkar
makin memperjelas adanya konspirasi memperlemah Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dalam percaturan politik nasional.
Namun, konsekuensinya
menjadi sangat mahal. Perlawanan Golkar dan PPP akan membuat panggung politik
dalam negeri gaduh. Keputusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan
(SK) Menteri Hukum dan HAM bagi pengesahan kepengurusan Partai Golkar kubu
Munas Ancol, sejatinya tidak merugikan pemerintah maupun Menteri Yasonna yang
berlatar belakang sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pasalnya, konflik
kepengurusan Partai Golkar merupakan kepentingan kepengurusan Golkar hasil
Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan hasil Munas Ancol pimpinan
Agung Laksono (AL). Tentu akan muncul pertanyaan; mengapa justru Menteri
Yasonna yang bersikukuh mengajukan banding atas putusan PTUN itu? ”Menteri
Hukum dan HAM bersama kuasa hukum dan para ahli hukum tata negara akan
mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding,” ujar
Kepala Biro Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagian, Senin (18/5).
Pengajuan banding
menjadi sangat wajar jika diniatkan oleh Partai Golkar kubu musyawarah
nasional (Munas) Ancol pimpinan AL dkk sebagai pihak yang kalah atau
dirugikan. Namun, jika kemudian rencana pengajuan banding itu justru
diinisiasi Menteri Yasonna, berarti dia bertindak atas nama kepentingan
Golkar kubu AL dkk. Kesimpulan ini menjadi pembenaran atas persepsi bahwa
sejumlah kekuatan politik mengintervensi konflik Golkar dengan memanfaatkan
wewenang Menteri Laoly.
Lalu, di mana posisi
Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kesannya menjadi semakin tidak jelas. Memang,
dia sempat memerintahkan Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun
kalau nyatanya Yasonna tetap mengajukan banding, semakin sulit untuk menebak
posisi seperti apa yang diambil Presiden karena belum memerintahkan Menteri
Yasonna menghentikan banding atas putusan PTUN itu.
Pertanyaan berikutnya
tentu saja tentang apa agenda tersembunyi Menteri Yasonna? Tentu tidak
sekadar memelihara harapan Agung Laksono dkk tetap memimpin Partai Golkar.
Yasonna tahu betul bahwa Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal
Bakrie (ARB) akan terus melakukan perlawanan. Kalau hal ini yang terjadi,
salah satu target Menteri Yasonna tercapai, yakni berlarut- larutnya konflik
internal Partai Golkar.
Upaya lain untuk
memperlemah posisi Golkar dan PPP dalam percaturan politik nasional, juga
terlihat dari kekuatan konspirasi antara PDIP plus anggota KIH lainnya
bersama pemerintah dan KPU menolak revisi terbatas atas Undang-Undang (UU)
Pilkada. Banding Menteri Yasonna dan hadangan bagi revisi terbatas atas UU
Pilkada, jelas terlihat sebagai upaya agar konflik PPP dan Golkar terus
berkepanjangan.
Salah satu tujuan
jangka pendek adalah mengganggu soliditas PPP dan Golkar dalam melakukan
persiapan mengikuti Pilkada 2015 yang serentak itu. Mereka semua paranoid,
takut kalau-kalau impian dan ambisi mereka untuk menang besar dan menguasai
pilkada tidak terwujud jika PPP dan Golkar ikut pilkada serentak akhir tahun
ini.
Perlawanan
PPP dan Golkar tentu
tidak akan tinggal diam. Hal pertama yang perlu disadari oleh Menteri Laoly
bahwa sikap dan perilaku yang menzalimi Partai Golkar dan PPP itu akan
menjadi luka sejarah yang akan dicatat dengan tinta darah oleh kader Golkar
dan kader PPP. Jika pemerintah terus melakukan pembiaran, apalagi ikut
memperuncing pertikaian internal parpol, sudah barang tentu DPR akan
mengambil sikap. Kalau sudah begitu, kegaduhan politik menjadi
konsekuensinya.
Kegaduhan itu bisa
saja dimulai dalam masa sidang DPR sekarang ini, ketika sejumlah anggota DPR
akan berupaya meloloskan penggunaan hak angket DPR atas pelanggaran UU dan
intervensi pemerintah terhadap partai politik dalam pengambilan keputusan di
sidang paripurna DPR. Presiden Jokowi pun harus berani bersikap tegas. Publik
tahu bahwa Presiden telah meminta Menteri Yasonna untuk tidak melakukan
banding. Namun, faktanya, Menteri Laoly tetap banding.
Maka selama tidak ada
tindakan tegas dari Presiden untuk mencegah Laoly melakukan banding, Golkar
dan PPP berasumsi Presiden mengamini langkah Menteri Laoly. Golkar dan PPP
sangat berharap KPU menjaga independensinya. Jika Partai Golkar tidak dapat
mengikuti pilkada serentak, akan muncul reaksi berskala masif dari kader di
berbagai daerah. Jangan salahkan kader Partai Golkar di tingkat akar rumput
jika mereka menduduki kantor KPU daerah.
Hari-hari ini, Golkar
terus mengimbau para kader dari pusat hingga akar rumput serta pengurus
daerah tingkat I dan II untuk terus melakukan perlawanan secara masif
terhadap gerakan kubu Munas Ancol, karena mereka liar alias tidak legitimate,
setelah PTUN membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan kubu
munas Ancol.
Kader Partai Golkar
tentu mengapresiasi upaya islah yang difasilitasi Wakil Presiden Jusuf Kalla
(JK) agar Partai Golkar bisa ikut Pilkada 2015. Namun, persoalan Golkar tidak
sekadar bisa dan tidak bisanya ikut Pilkada 2015. Inti permasalahan Partai
Golkar adalah keberanian dan kemauan pemerintah mengakui siapa yang paling
legitimate memimpin kepengurusan Partai Golkar? Persoalan internal Partai
Golkar sudah telanjur dipahami publik, termasuk Wapres JK sendiri, Presiden
Jokowi, serta para ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi
Indonesia Hebat (KIH).
Kepengurusan Partai
Golkar menjadi bermasalah karena pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM
mengakui kepengurusan produk Munas Partai Golkar di Ancol, Jakarta, yang
diselenggarakan oleh kubu AL. Padahal, Munas Ancol itu ilegal dan karenanya
tidak legitimate . Munas Ancol jelas tidak punya legitimasi karena peserta,
dokumen, dan surat mandat palsu.
Harus ada keberanian
untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi, Wapres JK dan para ketua umum parpol
anggota KIH pura-pura tidak tahu bahwa kepengurusan Golkar produk Munas Ancol
itu ilegal. Padahal, kasus mandat palsunya sendiri sudah dibuka dan masuk ke
tahap penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Peristiwanya benar-benar terjadi,
sehingga ada alat bukti, ada tersangka pemalsuan dokumen dan surat mandat
yang dipalsukan.
Bahkan, tidak lama
lagi, proses penyidikan oleh Bareskrim Polri akan menyentuh sosok yang
mengotaki sekaligus penyandang dana kasus pemalsuan dokumen dan mandat palsu
itu. Jika Kubu Munas Bali didorong untuk islah dengan kubu Munas Ancol,
berarti pemerintah mengamini kejahatan politik yang dilakukan AL dkk.
Lantas, bagaimana
harus menjelaskan kepada publik jika Presiden dan Wapres dengan penuh
kesadaran menoleransi aksi kejahatan politik seperti itu? Bagaimana dengan
masa depan demokrasi Indonesia yang sudah dibangun dengan susah payah kalau
Munas abalabal sebuah partai politik kemudian mendapat legitimasi dari
pemerintah? Kalau pemerintah tetap mengakui Golkar kubu Munas Ancol, berarti
pemerintah tidak mau mengakui kesalahannya.
Dengan mempertahankan
posisi seperti, pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK sesungguhnya sudah
terjebak akibat kepentingan sempit,yakni ingin menghancurkan Golkar dan PPP.
Dan itu harus dilawan sampai titik darah penghabisan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar