Problematika
Migas Nasional
Prima Mulyasari Agustini ; Executive Director of
Centre for Energi & Strategic Resources
Indonesia (CESRI)
|
REPUBLIKA, 25 Mei 2015
Sejak harga fluktuatif
BBM dirasakan masyarakat, semua mata tertuju pada kondisi migas nasional. BBM
bersubsidi yang sejak lama menjadi polemik telah diputuskan pemerintah untuk
dicabut, hanya menyisakan jenis solar dan minyak tanah yang masih bersubsidi.
Efek domino penetapan
harga keekonomian ini tak bisa disangkal menyebabkan harga kebutuhan lainnya
tinggi. Impor BBM menjadi isu hangat, belum lagi soal mafia migas, praktik
korupsi dalam proses tender yang berujung pembubaran Petral. Masyarakat yang
awalnya tidak peduli, sebulan sekali mereka akhirnya bersiap diri menunggu
informasi perubahan harga BBM.
Aspek terpenting dalam
pengelolaan migas adalah tersedianya pasokan migas dengan harga terjangkau
dan terdistribusi dengan baik. Kondisi ideal yang diharapkan itu berbenturan
dengan kenyataan semakin sulitnya sumber pasokan migas diproduksi di dalam
negeri. Untuk menjaga kontinuitas pasokan inilah, yang akhirnya diputuskan
untuk melakukan impor BBM. Besarnya angka impor BBM dan mekanisme impornya
menjadi perhatian publik hingga berujung pada keputusan Pertamina melikuidasi
Petral.
Ketidakjelasan posisi
SKK Migas yang dibentuk sementara menggantikan BP Migas, yang sudah
dinyatakan bubar oleh Mahkamah Konstitusi, ditambah skandal korupsi yang
diduga terkait pemenangan tender pada perusahaan tertentu, semakin menambah
suram bisnis migas kita. Belum lagi, tak usainya revisi Undang-Undang Migas
baru yang menjadi payung hukum bagi bisnis migas di Indonesia tentu akan
berdampak bagi ketahanan energi nasional.
Banyaknya persoalan
pada bisnis migas semakin sulit diselesaikan di tengah rendahnya harga minyak
dunia yang 50 dolar AS per barel. Pada
kuartal I 2015, National Oil Company kita, mencatat kerugian besar.
Kerugian terjadi karena faktor inventori, di mana terdapat selisih harga dari
pembelian minyak dan BBM sejak Oktober 2014 yang dibeli dengan harga tinggi
dan dijual ketika harga minyak sudah turun.
Kerugian perusahaan
pelat merah ini karena di sektor hilir tidak mampu ditopang oleh pendapatan
bisnis hulu yang juga melemah karena rendahnya harga minyak dunia. Jika
kondisi ini dibiarkan, semakin sulit negeri ini melanjutkan pembangunan
mengingat sektor migas memberikan kontribusi sekitar 20 persen pendapatan
nasional.
Kondisi ketidakmampuan
negeri ini menghasilkan BBM sesuai kebutuhan masyarakat yang mencapai 1,6
juta barel per hari telah membuka keran impor yang begitu besar. Impor BBM
yang mencapai 800 ribu barel per hari bukanlah angka kecil. Besarnya angka
impor ini telah menjadikan Indonesia sebagai price taker, apalagi dengan kondisi yang spesial untuk BBM jenis
Premium, yang hanya diperuntukkan bagi negeri ini. Besarnya kebutuhan impor
dalam negeri menyebabkan Indonesia tidak punya bargaining position yang menguntungkan.
Selama ini impor BBM
dilakukan melalui Petral yang notabene anak perusahaan Pertamina, yang
berkantor di Singapura. Banyak sekali isu terkait Petral hingga munculnya
rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk menata ulang perusahaan
ini. Padahal, usulan penataan atau bahkan pembubaran Petral bukan
satu-satunya cara menyelesaikan persoalan bisnis migas.
Jika tudingan ada
mafia migas pada tubuh Petral, harus dipastikan bahwa praktik yang dianggap
janggal dan merugikan pun harus dihentikan. Mestinya, jika pemerintah
menemukan kejanggalan pada manajemen dan mekanisme impor BBM yang dilakukan
Petral, perbaiki saja internalnya, buat aturan mainnya, dan buktikan jika
Petral benar sebagai sarang mafia. Usulan beberapa kalangan untuk meminta
audit forensik terhadap Petral sebelum dilikuidasi total dan mendapat respons
cepat dari Pertamina perlu diapresiasi. Pertanyaan kritisnya, jika Petral
diaudit, mengapa sektor lain yang sudah nyata-nyata menghasilkan tersangka
tak terlihat ada langkah menuju audit?
Inilah yang patut
disayangkan, rekomendasi Tim Reformasi Tata kelola Migas tak terkait bisnis
hulu dan tidak memotret persoalan yang dihadapi SKK Migas. Apakah rekomendasi
parsial ini ada kaitan dengan kepentingan sejumlah kalangan dalam proses
pembahasan revisi Undang-Undang Migas baru?
Idealnya, jika ingin
mencari kejelasan soal simpul bisnis migas, audit harus dilakukan menyeluruh,
baik sektor hulu migas yang terkait kontrak kerja sama, cost recovery, tender penjualan minyak mentah milik negara
dulu dan kini, hingga sektor hilir lainnya, termasuk Petral dan impor BBM.
Dalam dua minggu
terakhir, gelombang tudingan adanya mafia migas di Petral seolah sudah
mengarah pada upaya mendiskreditkan Pertamina. Padahal, untuk menyelesaikan
sengkarut Petral cukup dengan kebijakan likuidasi tanpa adanya upaya
mengaitkan dengan mafia migas.
Dengan tekanan ini,
Pertamina yang kerap disandingkan dengan Petronas tentu semakin sulit
mengejar posisi yang lebih baik di mata internasional. Beban beratnya akan
semakin menyulitkan "berlari dan terbang". Isu sarang mafia
sekaligus sapi perah dan menjadi bancakan partai mestinya tak terjadi.
National oil company hendaknya didorong untuk berkembang
melebarkan sayap, membawa kesejahteraan bagi negeri agar bisa berkontribusi
maksimal bagi pemenuhan kebutuhan energi nasional, bukan malah membebaninya
dengan beragam isu, termasuk isu mafia.
Upaya pemerintah yang
menghapus subsidi BBM untuk jenis Premium dan rencana Pertamina meluncurkan
BBM minimal RON 90 (Pertalite) dan meningkatkan pengguna Pertamax atau
Pertamax Plus untuk kebutuhan BBM dalam negeri tampaknya perlu komitmen lebih
pasti. Untuk memproduksi BBM yang dikenal lebih ramah lingkungan dan hemat
konsumsi ini, produksinya sangat terbatas karena kondisi kilang yang sudah
tua.
Rekomendasi Tim
Reformasi Tata Kelola Migas terkait kilang minyak yang sekarang beroperasi
untuk disiapkan bagi kebutuhan penyediaan Pertamax, tampaknya sulit terwujud.
Kondisi kilang yang sudah tua memerlukan biaya tinggi untuk operasionalnya.
Konsekuensi dari
sampainya harga Premium pada angka keekonomian, mampu membuat kilang baru
demi ketahanan energi nasional. Bukankah kondisi yang sangat riskan ketika
pasokan BBM-nya lebih berharap pada kebaikan negara lain untuk mengekspor
minyaknya ke negeri ini. Menyegerakan pembangunan kilang melalui skenario
extraordinary merupakan hal penting bagi ketahanan energi nasional.
Membangun ketahanan
energi nasional yang kuat perlu komitmen semua stakeholder. Jangan membuat
regulasi yang justru semakin mengacaukan tata kelola migas dengan
produk-produk perundangan, seperti undang-undang, perpres, ataupun permen
yang tidak merujuk pada konstitusi. Buatlah kebijakan tata kelola energi yang
berpihak pada rakyat banyak untuk keberlangsungan generasi dan negeri! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar