Mengatasi
Derita Rohingya
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA MERDEKA, 23 Mei 2015
PERSOALAN
kemanusiaan etnis Rohingya Myanmar kembali muncul ke permukaan menyusul
diaspora ribuan warga Rohingya ke sejumlah negara tetangga, terutama
Indonesia, Malaysia, dan Thailand dalam beberapa pekan terakhir. Badan
Pengunggsi PBB, UNHCR, menyebutkan sedikitnya terdapat 8.000 imigran Rohingya
yang sudah meninggalkan Teluk Bengal (Benggala) menuju Malaysia dan Indonesia
(SM, 18/5/15). Indonesia sudah menampung 1400 imigran (gelap) Rohingya dalam
sepekan terakhir (SM, 17/5/15).
Persoalannya
menjadi lebih memprihatinkan lantaran Angkatan Laut (AL) tiga negara anggota
ASEAN itu dikabarkan menolak kehadiran mereka. PBB pun menegur pemerintah
Malaysia, Indonesia, dan Thailand, serta menggelar pertemuan darurat dengan
pejabat tinggi pemerintah dari tiga negara ASEAN itu pada 18 Mei 2015.
Menlu AS
John Kerry juga meningkatkan tekanannya terhadap tiga anggota ASEAN tersebut
supaya membuka pelabuhan dan menampung kehadiran para pencari suaka warga
Rohingya itu.
Karena
teguran PBB dan tekanan Washington itu, Menlu Indonesia Retno Marsudi, Menlu
Malaysia Anifaf Aman, dan Menlu Thailand Tanasak Patimaprogorn segera
menggelar pertemuan segi tiga di Kota Kinabalu pada 20 Mei 2015. Pertemuan
itu membahas arus besar pengungsi Rohingya itu, sebagai upaya mengatasi
derita dan nestapa mereka.
Setidak-tidaknya
perlu memprioritaskan dua tindakan besar untuk mengatasi derita mereka.
Pertama; tindakan kemanusiaan. Upaya ini sangat dibutuhkan oleh pengungsi
baik yang sudah mendarat maupun yang masih terombang- ambing di laut,
berjibaku agar tetap survive di
tengah lautan luas. Tindakan ini bermakna, tak ada satu pun dalih yang bisa
menjustifikasi negaranegara tertuju menolak kedatangan mereka.
Betapa
pun Malaysia misalnya, kabarnya sudah menampung tak kurang dari 120.000
imigran itu sejak warga etnis Rohingya berbondong-bondong meninggalkan
Myanmar akibat perlakuan diskriminatif dan represif junta militer pimpinan
Thien Shien beberapa tahun belakangan, hal itu tidak bisa dijadikan alasan
untuk menolaknya.
Tidak Berat
Juga
meski Panglima TNI Jenderal Moeldoko telah menginstruksikan TNI AL khususnya
hanya boleh memberi bantuan makanan dan minuman tapi harus mencegahnya
memasuki teritorial RI. Kita harus berprinsip, masalah kemanusiaan dari
kebangsaan, kesukuan ataupun kenegaraan mana pun mesti diprioritaskan untuk
dibantu sepenuh jiwa dalam upaya-upaya mengatasinya.
Seharusnya
kita ingat, pada dekade 1980-an pemerintahan Soeharto sukses memberi
kontribusi kemanusiaan secara signifikan dengan menerima, menampung,
melindungi, dan membina ribuan pengungsi (manusia perahu) asal Vietnam di
Pulau Galang, Riau, sebelum akhirnya memulangkannya secara bertahap dan
manusiawi.
Sekarang
kita dituntut sanggup mengikuti jejak kesuksesan itu, yaitu dengan tulus
menerima sekaligus menampung, melindungi, dan membina ribuan pengungsi etnis
Rohingya. Secara sosial, ekonomi, bahkan mungkin keamanan, Indonesia
terbebani. Namun, bila benar-benar tulus dan ikhlas melakukannya, beban itu
tak terasakan berat.
Kedua;
tindakan politik. Tindakan ini perlu dilakukan segera terutama oleh ASEAN
mengingat sejauh ini organisasi regional berangggotakan 10 negara Asia
Tenggara itu sangat hati-hati menyikapi masalah Rohingya yang berintikan
pelanggaran HAM secara berat oleh junta militer Myanmar. ASEAN memilih
diplomasi diam-diam mengenai pelanggaran HAM tersebut. ASEAN menganggapnya
semata-mata masalah dalam negeri Myanmar yang sangat sensitif untuk
dibicarakan secara terbuka dan transparan di forum ASEAN.
Ironis,
terkait pelanggaran HAM menyangkut pemimpin oposisi prodemokrasi Aung San Suu
Kyi ASEAN cukup aktif berbuat, tetapi menyangkut warga Rohingya yang sudah
lama menderita, ASEAN tidak berbuat apa pun untuk meringankan penderitaan
mereka. Lebih menyakitkan lagi, dalam Bali Process 2009 ASEAN mengategorikan
etnis Rohingya sebagai penjahat transnasional dan penyelundup.
Kini
saatnya ASEAN mengakhiri pandangan dan sikap buruknya terhadap derita etnis
Rohingya Myanmar, yaitu dengan secara kolektif dan kontinu mendorong junta
militer segera mengakhiri represinya terhadap etnis Rohingya yang mayoritas
beragama Islam itu. Jika ASEAN tidak melakukannya, dikhawatirkan represivitas
itu berlanjut dan ujungnya bisa kontraproduktif bagi pengembangan Komunitas
ASEAN 2015. Padahal salah satu pilar pengembangan itu adalah mewujudkan
masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera dengan perlakuan dan penghormatan
atas keragaman sosial dan budaya tiap anggotanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar