Angin
Segar Industri Baja Ringan?
Ahmad Heri Firdaus ; Peneliti Indef
|
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2015
PROGRAM penyediaan satu juta rumah oleh
pemerintah tentu tidak hanya membawa angin segar bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, mestinya juga memberi harapan besar bagi pelaku
industri dasar di Indonesia. Bagaimana tidak, guna memenuhi target
pembangunan sejuta rumah tersebut tentunya akan mendorong tumbuhnya berbagai
industri yang terkait dengan penyediaan komponen input pembangunan rumah. Sedikitnya
terdapat dua kelompok industri dasar yang terkait langsung dalam penyediaan
input pembangunan rumah tersebut, yaitu industri barang galian nonlogam serta
industri dasar besi dan baja.
Industri barang galian nonlogam mencakup
banyak komponen yang sangat menentukan pembangunan rumah itu sendiri, di
antaranya industri semen, keramik dan atap rumah. Adapun, industri dasar besi
dan baja mencakup kom ponen konstruksi rangka atap rumah yang saat ini
penggunaannya semakin populer. Di antaranya produk baja ringan yang kini
menjadi penyokong utama pembuatan rangka atap rumah dan berbagai bangunan
lainnya.
Terbukti pada 2013 saja pertumbuhan penjualan
baja ringan mencapai 30% dan diperkirakan terus tumbuh seiring dengan program
sejuta rumah dan program-program infrastruktur lainnya.
Namun harapan besar tersebut tidak serta merta
membuat produsen baja ringan bergembira. Pasalnya saat ini industri baja
ringan tengah dihadapkan kondisi sulit hingga banyak produsen baja ringan
terancam gulung tikar, utamanya produsen yang termasuk golongan menengah ke
bawah. Kondisi ini terkait dengan kebijakan pemerintah terdahulu yang telah
menerapkan safeguard agreement
untuk bahan baku baja ringan yakni galvalume.
Kebijakan pemerintah dalam hal ini sejatinya
memiliki tujuan baik, yaitu untuk melindungi produsen galvalume lokal. Kebijakan ini muncul dengan dalih impor galvalume meningkat sekitar 27% pada
2013. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menekan impor bahan baku. Namun di
satu sisi, kebijakan ini dapat mematikan industri baja ringan dalam negeri
jika tidak dilakukan dengan tepat. Jika tidak memperhatikan kondisi suplai dan demand, alih-alih dapat melindungi galvalume dalam negeri, yang terjadi
justru semakin membanjirnya berbagai produk jadi seperti baja ringan dan
sebagainya.
Kondisi suplai galvalume saat ini hanya 60% dari kebutuhan nasional yang
disediakan produsen galvalume
lokal. Tentu kebutuhan nasional masih banyak tergantung impor galvalume karena peningkatan
permintaan terlebih adanya program sejuta rumah pemerintah.
Penerapan safeguard
agreement langsung direspons negatif oleh industri baja ringan, saat
impor galvalume sebagai bahan baku
baja ringan menurun secara drastis pada Agustus 2014, sebulan setelah
kebijakan ini diterapkan pada Juli 2014. Para produsen beralih untuk
mengimpor coil strip, galvalume
yang sudah dipotong, karena kenaikannya lebih dari 10 kali lipat sejak
diterapkan safeguard agreement. Namun,
tentu saja harga impornya jadi lebih mahal karena adaya proses pemotongan.
Impor yang berkurang dan produksi galvalume dalam negeri belum memenuhi
kebutuhan dalam negeri membuat galvalume
menjadi langka di pasaran. Tentu sesuai hukum penawaran dan permintaan dalam
ekonomi, harga di dalam negeri akan meningkat. Hal ini mungkin sebuah
keuntungan produsen lokal, namun akan berdampak negatif pada produsen baja
ringan.
Jika dilihat lebih jauh, struktur industri galvalume dalam negeri sangat tidak
memihak pada produsen baja ringan.Jumlah produsen galvalume dalam negeri hanya 3 perusahaan, yaitu PT NS Bluescope
Indonesia, PT Sunrise Steel, dan PT Sarana Central, sedangkan jumlah produsen
baja ringan mencapai ratusan unit. Tentu pasar yang tercipta adalah pasar oligopsoni,
yakni penjual lebih sedikit daripada pembeli.
Kebutuhan galvalume
yang belum bisa sepenuhnya dipenuhi produksi dalam negeri menjadikan impor
menjadi pilihan yang harus diambil. Tujuannya jelas, menghindarkan shortage
pasokan dalam negeri. Apabila shortage
terjadi, harga bahan baku galvalume
akan meroket. Imbasnya, produk turunan dari galvalume seperti baja ringan akan meningkat pula.
Dilema pemerintah
Walupun bertujuan baik, pemerintah juga harus melihat
dampak penerapan safe guard agreement
secara luas. Terutama produsen baja ringan yang membutuhkan pasokan untuk
menunjang program pemerintah, namun justru pasokan bahan baku dihambat.Tentu
akan ada efek domino dari adanya hambatan pasokan bahan baku. Pertama, impor
barang jadi akan meningkat.
Hal ini akan menjadi pilihan utama produsen baja
ringan dengan beralih hanya menjadi pedagang barang jadi baja ringan.
Alasannya ialah baja ringan yang sudah jadi tidak terkena bea masuk impor.
Jika terjadi hal ini, akan terjadi pengurangan tenaga kerja dan akhirnya
pengangguran akan meningkat.
Kedua, penggunaan kayu untuk rangka rumah akan
semakin meningkat yang pada ujungnya akan berpotensi menimbulkan illegal logging. Ketiga, akan
mematikan industri turunan seperti industri jasa pemotongan galvalume. Hal ini terkait dengan
semakin meningkatnya impor coil strip.Ini akan mengurangi penghasilan
industri jasa pemotong galvalume.
Keempat, pasar persaingan semakin tidak
efisien. Hal ini terkait dengan struktur pasar industri galvalume nasional yang oligopsoni. Impor yang berkurang akan
membuat kekuatan menguasai pasar akan semakin besar dan akan mengakibatkan
pasar tidak efisien dan tidak sehat. Terlebih jika produsen galvalume juga bermain di pasar baja
ringan. Hal ini disebabkan sistem penguasaan dari hulu ke hilir ini sudah
lazim di Indonesia.Tentu praktik ini akan mengakibatkan kerugian ganda bagi
produsen baja ringan. Ini biasa disebut dengan integrasi vertikal yang juga
dilarang dalam UU Antimonopoli.
Jika dilihat dari keempat dampak tersebut,
pemerintah hendaknya lebih mendorong agar terjadi efisiensi, baik dari sisi
produksi maupun distribusi. Efisiensi ini akan menguntungkan semua pihak
termasuk produsen baja ringan. Efisiensi ini dapat berbentuk tekanan kepada
produsen galvalume dan produsen
bahan baku galvalume dalam hal ini
PT Krakatau Steel.
Selain itu, kebijakan safeguard agreement perlu dikaji ulang untuk mengantisipasi
munculnya guncangan negatif yang lebih besar lagi pada industri baja ringan.
Kajian tersebut harus mempertimbangkan seluruh pelaku industri baja ringan
secara luas, bukan hanya industri galvalume.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar