17
Tahun Era Reformasi
Thontowi Jauhari ; Magister Ilmu Politik lulusan Universitas
Diponegoro;
Direktur Pusat Studi Hukum dan Politik (PSHP); Tinggal
di Boyolali
|
SUARA MERDEKA, 22 Mei 2015
TANGGAL
21 Mei, 17 tahun lalu (1998) menjadi hari suka cita bagi mahasiswa dan
aktivis demokrasi. Hari itu, mimpi-mimpi keterwujudan Indonesia baru ada di
depan mata. Hari itu, Soeharto mengundurkan diri dari posisinya sebagai
presiden, setelah 32 tahun lebih menjabat. Mengapa Soeharto terpaksa mundur dari
kursi kepresidenan? Ada kepercayaan politik yang hilang. Pemerintahannya
dinilai korup dan dia tidak mampu mengatasi krisis moneter. Ia juga tidak
mampu menurunkan hargaharga kebutuhan pokok yang naik akibat krisis. Pak
Harto menyerah, dan itulah sisi baiknya, tidak menginginkan pertumpahan
darah. Krisis moneter sebenarnya hanyalah momentum dan menjadi pemicu
kemarahan rakyat sehingga menuntut reformasi. Dalam bahasa para aktivis
pejuang demokrasi, tuntutan demokratisasi telah lama mereka perjuangkan. Parlemen
hanyalah stempel. Istilah yang populer saat itu, kerja anggota DPR/- DPRD
disebut 4 D (datang, duduk, diam, dan duit). Praktik pemerintahan
serbasentralistik, semua diatur dari atas. Akibatnya check and balances,
sebagai syarat keseimbangan kekuasaan dalam prinsip demokrasi menjadi tidak
ada. Dalam kekuasaan yang memusat, dengan mematikan seluruh potensi kekuatan
kontrol, baik dari parlemen maupun masyarakat, teori D Laswell terjadi:
kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut dipastikan korup.
Akibatnya praktik korupsi merajalela, kepemimpinan Soeharto identik dengan
kepemimpinan KKN. Ketika putra-putri Soeharto terjun dalam dunia bisnis,
godaan memanfaatkan pengaruh jabatan orang tuanya terjadi. Dalam perekrutan
politik, praktik nepotisme terjadi, keluarga dan anakanaknya diangkat jadi
anggota MPR.
Putrinya,
Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), diangkat menjadi menteri sosial.
Pemerintahan era reformasi mengoreksi infrastruktur politik Orde Baru, untuk
keterwujudan demokratisasi dan tidak mengulang kesalahan Soehato. Maka,
infrastruktur pemerintahan yang demokratis diciptakan. Amendemen UUD 1945
dilaksanakan; kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat dibuka
seluas-luasnya; partai-partai politik berdiri. Pemilu secara demokratis
dilaksanakan, pemilihan presiden dan kepala daerah dilaksanakan secara
langsung, otonomi daerah dipraktikkan, HAM mulai dihargai, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan, Mahkamah Konstitusi dibentuk dan
sebagainya. Mengapa struktur pemerintahan yang demokratis tersebut tidak atau
belum berkorelasi positif dengan pelaksanaan asas-asas pemerintah yang baik
sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat?
Mengapa
kehadiran pemerintahan era reformasi yang mestinya mengoreksi pemerintahan
korup Orba, kini justru lebih korup? Alami Disorientasi Mengapa partai
politik yang semestinya berisi orang-orang yang mempunyai cita-cita untuk
mewujudkan kesejahteraan umum namun justru melakukan korupsi? Mengapa tidak
muncul pikiran-pikiran cerdas dari para politikus untuk mencarikan solusi
atas berbagai persoalan bangsa?
Masih
banyak pertanyaan yang bisa dideretkan sebagai persoalan ironis pada
pemerintahan era reformasi. Intinya, pemerintahan saat ini mengalami
disorientasi, atau berada di persimpangan jalan. Pemerintahan tidak mengerti
arah dan tujuan sehingga tersesat jalan. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang
bisa diurai. Pertama; era reformasi gagal melahirkan politikus yang
berkarakter, berintegritas dan punya visi. Politikus yang tercipta lebih
didominasi oleh mereka yang bermotif ekonomi untuk memburu rente melalui
jabatan publik. Makna politik disalahpahami, dan bahkan diselewengkan.
Politik dilepaskan dari ikatan-ikatan etika, idealisme, dan perjuangan
menciptakan kesejahteraan umum.
Partai
politik gagal melaksanakan pendidikan politik. Kedua; para aktivis perjuangan
reformasi telah mengalami degradasi moral, khususnya yang menjadi pejabat
publik, baik dari kalangan aktivis 1998 atau para tokohnya. Mereka terlalu
”menikmati” jabatan, bahkan seolaholah dendam, mengapa pejabat Orba bisa
korup, mereka tidak bisa? Orang yang pernah memperoleh gelar Bapak Reformasi
saja, sudah tidak reformis lagi. Tidak ada keteladanan perilaku dari mereka.
Ketiga; ada gejala degradasi kesadaran ideologi-kebangsaan. Nilai-nilai
Pancasila tidak dipraktikkan dalam kehidupan berpolitik. Rasa hidup bersama,
senasib, dan setujuan dalam kehidupan bangsa Indonesia makin menjadi samar.
Ini masalah yang cukup serius. Selama tiga hal ini tidak segera kita benahi,
mimpi-mimpi era reformasi hanyalah sekadar mimpi, dan menjadi pepesan kosong
sepanjang masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar