Pendidikan
dalam Masyarakat Kredensial
A Helmy Faishal Zaini ; Anggota Komisi X DPR RI
|
KOMPAS, 30 Mei 2015
Berita mengenai 18
perguruan tinggi yang diduga mengeluarkan ijazah palsu sungguh sangat
meresahkan kita bersama. Berita itu juga memperpanjang daftar suram wajah
pendidikan kita.
Di antara sekian
problem yang masih menghiasi pendidikan kita, soal mekanisme evaluasi dan
minimnya riset, misalnya, maka soal ijazah palsu ini juga tidak bisa
dipandang sebelah mata.
Apa yang diungkapkan
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir bahwa ada 18
perguruan tinggi yang ditengarai melakukan praktik jual-beli ijazah patut
untuk kita prihatinkan dan juga layak untuk kita sesalkan. Lebih dari itu,
lebih penting lagi untuk kita sikapi adalah apa sesungguhnya akar persoalan
dari praktik jual-beli ijazah palsu tersebut.
Formalistik-pragmatis
Saya tertarik untuk
mengutip pendapat sosiolog Randall Collins. Dalam bukunya yang terkenal, The Credential Society: A Historical
Sociology of Education and Stratification (1979), ia mengatakan bahwa
gejala yang dialami negara-negara berkembang di dunia adalah gejala
kredensialisme. Suatu penyakit sosial yang lebih menekankan aspek legalitas
dan formalitas belaka.
Collins dengan sangat
jitu membidik perilaku sosial masyarakat modern yang cenderung
legal-formalistik, kaku, dan prosedural. Keadaan yang demikian sesungguhnya
boleh jadi pangkal bencana sosiologis, sebab kebudayaan yang lebih
mengedepankan formalitas lambat laun akan meninggalkan substansialitas itu
sendiri. Padahal, substansi itu, bagaimanapun, keadaannya, jauh lebih penting
dibandingkan dengan formalitas.
Dalam logika
masyarakat kredensial, yang utama dan yang terutama adalah ijazah. Ijazah
adalah supremasi tertinggi yang digunakan sebagai senjata dalam mengarungi
kehidupan sehari- hari, terutama dalam dunia kerja yang cenderung
kapitalistik seperti hari ini.
Dengan dinamika
pergerakan masyarakat kredensial yang begitu dinamik tersebut, hari ini kita
memasuki apa yang disebut Udiansyah (2012) dengan inflasi kredensialisme.
Inflasi kredensialisme adalah keadaan di mana kita berada pada ruang-ruang
pendidikan yang cenderung lebih mengedepankan sikap kapitalis, pragmatis, dan
tak rasional lagi.
Keadaan demikian
sesungguhnya merupakan arus balik tujuan nasional pendidikan kita. Tujuan
nasional pendidikan kita, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003, Bab II, Pasal 3 menyebutkan "Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab."
Jadi tujuan pendidikan
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk menemukan jati dirinya agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Artinya, keberhasilan pendidikan
berada pada apakah ia berhasil mencetak manusia beriman dan bertakwa dalam
menjalani kehidupan sehari-hari, bukan pada seberapa panjang deretan titel
kesarjanaan yang berhasil ia capai.
Iman dan takwa adalah
ranah afektif, dibuktikan dengan moralitas dan perilaku sehari-hari,
sementara deretan titel kesarjanaan adalah ranah kognitif. Dua hal yang
sungguh jauh berbeda.
Arus balik tujuan
pendidikan yang lebih mengarah kepada masyarakat kredensial, yang cenderung
mementingkan formalitas belaka itu, sesungguhnya tak terlepas juga dari peran
lembaga pendidikan yang makin hari semakin berwatak kapitalistik. Kita tidak
bisa menutup mata bahwa tidak sedikit lembaga pendidikan yang didirikan atas
dasar berorientasi keuntungan.
Motif pendirian
lembaga pendidikan yang bermuara pada keuntungan inilah yang menjadi lahan
subur persemaian praktik jual-beli ijazah palsu. Masyarakat yang formalistik
dan cenderung pragmatis bertemu dengan lembaga pendidikan yang berorientasi
keuntungan dan kapitalistik, meminjam istilah orang Jawa, adalah ibarat tumbu
ketemu tutup (jodoh).
Ritual pesantren
Kita sesungguhnya
memiliki catatan sejarah yang bisa dijadikan acuan dan contoh nyata tentang
bagaimana membangun, mengelola, serta merawat "idealisme" lembaga
pendidikan. Catatan sejarah itu dimiliki orang- orang pesantren. Dulu orang
membuat pesantren selalu diawali ritual-ritual mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan cara berpuasa dan juga berdoa. Ritual tersebut adalah medium dalam
rangka mencari keridaan Tuhan. Artinya, landasan dan motif utama pendirian
lembaga pendidikan bukanlah materi.
Apa yang dilakukan
lembaga pendidikan hari ini, yang cenderung pragmatis itu, sesungguhnya
berbalik 180 derajat dari apa yang diwariskan nenek moyang kita. Mendirikan
lembaga pendidikan dengan motif materi memang tak sepenuhnya buruk,
tetapi-persoalannya kemudian- arus materialisme tersebut lambat laun ternyata
menggerus substansi praktik pendidikan itu sendiri. Alhasil, yang terjadi
kemudian adalah sebagaimana yang kita hadapi hari ini: banyak praktik
jual-beli ijazah bertebaran.
Saya sepakat dengan
langkah yang dilakukan Kemenristek dan Dikti yang akan segera mencabut izin
operasional perguruan tinggi yang terbukti melakukan praktik jual-beli
ijazah. Lebih dari itu, Kemenristek dan Dikti juga harus menarik dan mencabut
seluruh ijazah yang terbukti didapatkan dari proses jual-beli.
Dalam pada itu,
banyaknya kalangan masyarakat yang meyakini bahwa angka 18 perguruan tinggi
yang diduga melakukan praktik jual-beli ijazah itu sesungguhnya sangat
sedikit, hendaknya dijadikan kerangka masukan bagi Kemenristek dan Dikti
mengusut sejauh mana keakutan praktik jual-beli ijazah ini. Sebab, sangat
mungkin kasus ini adalah fenomena gunung es, yang tampak adalah puncaknya
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar