KPK
Kalah Lagi
Joko Riyanto ; Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN TEMPO, 28 Mei 2015
Lagi-lagi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) kalah dalam sidang praperadilan. Kali ini,
gugatan bekas Dirjen Pajak Hadi Poernomo dikabulkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Pengadilan menyatakan bahwa penggeledahan dan penyitaan yang
dilakukan KPK terhadap Hadi tidak sah. Kemudian surat perintah penyidikan
penetapan tersangka terhadap Hadi juga tidak sah. Dalam putusannya, hakim
Haswandi menyatakan, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap
Hadi batal demi hukum dan harus dihentikan.
Hadi Poernomo
merupakan orang ketiga yang ditetapkan KPK sebagai tersangka, yang kemudian
penetapan itu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dua orang lainnya adalah Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan mantan Wali Kota
Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Kekalahan KPK dalam sidang praperadilan juga
disebabkan oleh adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang
menjadikan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai obyek
praperadilan. Putusan MK tersebut menjadi dasar hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh para
tersangka korupsi.
Namun putusan hakim
Haswandi ternyata bisa menimbulkan kekacauan hukum. Putusan hakim Haswandi
yang memutuskan memerintahkan penghentian penyidikan sudah melampaui
permohonan, karena pemohon (Hadi Poernomo) hanya memohon bahwa penyidikan KPK
tidak sah. Putusan hakim Haswandi ini melanggar Pasal 40 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 yang menyatakan KPK tidak boleh menghentikan penyidikan.
Putusan ini bisa memicu dan menjadi dasar hukum bagi para terpidana korupsi
mengajukan proses hukum selanjutnya. Ini sangat berbahaya bagi agenda
pemberantasan korupsi pada masa mendatang.
Hakim Haswandi juga
menyatakan, para penyelidik dan penyidik yang bekerja di KPK harus berstatus
penyelidik atau penyidik di institusi sebelumnya. Putusan ini akan
membahayakan terhadap tidak sahnya penegakan hukum yang dilakukan aparat
penegak hukum lain, karena penyelidikannya tidak dilakukan oleh polisi.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril menilai, lembaga
praperadilan telah berevolusi menjadi bola liar yang bisa menyambar ke
mana-mana, termasuk menafsirkan keabsahan penyelidik dan penyidik KPK.
Apabila hal ini dibiarkan, proses penegakan hukum bisa makin kacau-balau (Kompas, 27 Mei 2015).
Tampaknya, para hakim
yang menangani gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
belum mengerti dan paham bahwa sidang praperadilan itu hanya untuk menguji
hal-hal yang sifatnya prosedural serta administratif dalam penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Bukan menilai apakah substansi alat
bukti, substansi kewenangan, dan keabsahan para penyelidik/penyidik. Putusan
hakim Haswandi harus diuji atau dieksaminasi, karena putusan itu melampaui
kewenangan, dan salah dalam menerapkan aturan hukum yang berlaku, menimbulkan
ketidakpastian hukum, serta terindikasi korupsi (judicial corruption) atau mafia peradilan, sehingga hukum tidak
dijalankan sebagaimana mestinya.
Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung sebaiknya memeriksa hakim Haswandi yang mengabulkan gugatan
praperadilan Hadi Poernomo. Sedangkan KPK perlu mengambil upaya hukum berupa
kasasi atau peninjauan kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar