Ade
Armando dan Dialog Agama
Amanda Adiwijaya ; Pendeta
dan Facebooker
|
KORAN TEMPO, 27 Mei 2015
Dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ade Armando, dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ade
dilaporkan oleh Johan Kahn, 32 tahun. Ade dianggap melanggar Pasal 156 A dan
atau Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Menurut Ade, laporan
tersebut bermula dari tulisannya di laman Facebook yang mengapresiasi
pembacaan ayat suci Al-Quran dengan langgam Jawa dalam perayaan Isra Mi'raj
di Istana Negara. Ia mengatakan, di Indonesia, kegiatan keagamaan
berdampingan dengan kultur.
Ade menjelaskan,
ajaran Islam menyebar di Indonesia melalui media lokal-tradisional. "Allah kan bukan orang Arab. Tentu
Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina,
hip-hop, atau blues," demikian Ade menuliskan dalam status Facebook
(Tempo.co, 23/5).
Laporan Johan Kahn
memang berlebihan karena sebagai seorang muslim, Ade jelas mustahil
punya intensi menistakan sesembahannya sendiri. Laporan tersebut, jika
ditindaklanjuti oleh kepolisian dan dibawa ke pengadilan, jelas bisa
membahayakan kebebasan berpendapat, khususnya di media sosial. Sebab, orang
menjadi takut mengungkapkan pandangannya hanya karena terancam dilaporkan
telah menodai agama.
Lepas dari kasus Ade,
media sosial seperti Facebook seharusnya menjadi sarana yang mendekatkan
orang yang satu dengan yang lain. Sebuah komunikasi, walau hanya di dunia
maya, seharusnya bisa membina rasa saling pengertian, penghargaan, serta
membangun toleransi dan semangat dialog.
Dialog di sini
pertama-tama bukan dimaksudkan untuk
mengubah keyakinan pihak lain atau mengkompromikan ajaran atau akidah keimanan yang sudah paten.
Dialog di sini lebih merupakan upaya bertemu, menyapa dalam perjumpaan yang
hangat dan saling menghargai, serta mendiskusikan berbagai macam isu
kebangsaaan dan kemanusiaan dari sudut pandang agama yang kita imani. Dialog
agama di sini juga tidak harus antar-agama yang berbeda. Dialog
antar-penganut agama yang sama tapi berbeda aliran juga dianggap perlu.
Dengan kekuatannya
yang dahsyat, kita sebenarnya bisa saling mendorong lewat media sosial agar
setiap penganut agama bisa rukun, guyub, saling menghargai, dan akhirnya
berkontribusi bagi kejayaan bangsa. Membangun dialog di tengah beragam
perbedaan itu memang sebuah keniscayaan zaman. Apalagi, karakter media sosial
atau negeri kita juga selalu heterogen. Maka, orang harus punya jiwa seluas
lautan untuk bisa menerima segala macam pandangan yang berbeda tanpa mudah
tersinggung, apalagi sampai melapor ke polisi seperti Johan Kahn.
Setiap pemeluk agama
perlu terus mendorong terjadinya
dialog, kerja sama, dan segala bentuk interaksi positif demi persaudaraan
sejati di dalam satu bumi yang sama yang diciptakan oleh Satu Pencipta. Media
sosial, seperti Facebook, adalah produk teknologi yang bersifat netral dan
ibarat dua sisi mata uang. Orang bisa memanfaatkan Facebook untuk membangun
persaudaraan sejati sesuai dengan sebutannya sebagai media sosial. Namun
sebaliknya, orang bisa saling menjatuhkan hanya karena berbeda pandangan
serta menyeret agama untuk kepentingan ego yang destruktif bagi pihak lain
yang berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar