Menanti
Kiprah Kaum Muda
Biyanto; Dosen UIN Sunan Ampel; Ketua Majelis Dikdasmen
PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN SINDO, 25 Mei 2015
Kongres
IV Partai Demokrat belum lama ini usai. Seperti diduga banyak kalangan,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memimpin Partai Demokrat.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hasil Kongres Partai Demokrat semakin
mengukuhkan dominasi politisi senior dalam panggung politik nasional. Itu
berarti yang akan menentukan proses politik dalam Pemilu 2019 mendatang
hampir pasti adalah politisi-politisi kawakan.
Seperti
diketahui, panggung politik nasional saat ini masih didominasi kaum tua. Itu
dapat diamati dari figur-figur politisi ternama yang memimpin partai
masing-masing. Misalnya Megawati Soekarnoputri (PDIP), Aburizal Bakrie
(Golkar), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem), Agung Laksono (Golkar),
Zulkifli Hasan (PAN), Prabowo Subianto (Gerindra), Dzan Faridz (PPP), dan
Yusril Ihza Mahendra (PBB).
Sementara
kiprah kaum muda dalam panggung politik nasional direpresentasikan Muhaimin
Iskandar (PKB), Anis Matta (PKS), dan Romahurmuzy (PPP). Kini juga muncul
politisi muda yang masih segar dan dinamis seperti Hary Tanoesoedibjo
(Persatuan Indonesia, Perindo) dan Grace Natalie (Partai Solidaritas
Indonesia, PSI). Keduanya memimpin partai baru dan banyak mengakomodasi kaum
muda semacam Ahmad Rofiq (sekjen Perindo) dan Raja Juli Antoni (sekjen PSI).
Realitas
minimnya calon pemimpin dari kaum muda seharusnya menjadi perhatian elite
partai politik, sebab salah satu fungsi partai politik adalah kaderisasi.
Persoalan kaderisasi ini penting karena sangat terkait dengan masa depan
kepemimpinan, baik level nasional maupun lokal. Tetapi jujur harus diakui,
hampir semua partai politik tidak serius melakukan kaderisasi.
Bahkan
ada partai politik tertentu yang hanya bekerja lima tahun sekali, yakni
menjelang pemilu. Pada saat pemilu itulah, elite politik baru menyadari bahwa
partainya tidak memiliki kader yang kompeten untuk dicalonkan sebagai anggota
legislatif atau kepala daerah. Di samping gagalnya kaderisasi, budaya ewuh
pakewuh juga melanggengkan kekuasaan kaum tua.
Dampaknya,
kiprah kaum muda dalam ranah politik selalu berada dalam bayang-bayang
politisi senior. Padahal jika bangsa ini mau belajar pada sejarah, akan
ditemukan fakta bahwa kiprah kaum muda dalam gerakan kebangsaan sungguh luar
biasa. Kiprah kaum muda dalam sejarah pergerakan bermula dari pendirian Budi
Utomo oleh Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter
pada 20 Mei 1908.
Pendirian
Budi Utomo sekaligus menjadi penanda kebangkitan nasional. Karena itu pada
setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Kiprah kaum muda dalam sejarah pembangunan bangsa selanjutnya tampak dalam
peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan
mahasiswa (1966), dan reformasi (1998).
Sumbangsih
kaum muda yang tergambar dalam beberapa peristiwa historis tersebut
menunjukkan mereka sesungguhnya memiliki kultur keilmuan, keterampilan
berorganisasi, dan jaringan yang hebat. Sangat disayangkan, kultur tersebut
tenggelam dalam hiruk-pikuk politik sepanjang era reformasi. Bahkan, kita
menyaksikan adanya penguatan interes politik di kalangan kaum muda.
Kaum
muda saat ini tampak lebih menunjukkan minat di bidang politik. Keterlibatan
kaum muda dalam politik menemukan momentum yang tepat seiring dengan
kebijakan multipartai. Dinamika politik lokal juga memberikan ruang terbuka
bagi kaum muda untuk berkiprah di jalur politik. Karena itu, tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa kini terjadi peningkatan ”syahwat politik” di kalangan
kaum muda.
Peningkatan
syahwat politik tidak hanya terjadi di daerah, melainkan juga dalam skala
nasional. Sebagai konsekuensi adanya peningkatan syahwat politik kaum muda,
kiprah dan perjuangan mereka banyak disalurkan melalui aktivitas politik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian kaum muda tergoda dengan kehidupan
politik yang dianggap lebih menjanjikan masa depan.
Akibatnya,
kultur keilmuan dan daya kritis yang semestinya menjadi ruh perjuangan kaum
muda terus tergerus. Yang terjadi kemudian adalah budaya loyal pada pimpinan
partai. Peningkatan interes politik kaum muda juga memunculkan kultur mudah
berpecah akibat perbedaan pilihan politik.
Perjuangan
kaum muda pun tidak lagi didasarkan pada kepentingan jangka panjang, tetapi
bertujuan pragmatis-jangka pendek. Pilihan sebagian kaum muda berkiprah
melalui jalur politik mengakibatkan capaian perjuangan di ranah kultural
tidak begitu tampak. Padahal kalau dipikirkan, wilayah perjuangan di bidang
politik jelas terbatas dengan peminat yang sangat banyak.
Akibatnya,
tidak semua orang memperoleh pembagian kue kekuasaan. Sementara perjuangan di
ranah kultural memiliki area yang luas dengan peminat sangat sedikit.
Sebagian kaum muda berpikiran bahwa berkiprah melalui jalur politik dapat
memberikan harapan yang serba instan untuk meraih kekuasaan, kemapanan,
status sosial, dan kecukupan materi.
Sementara
berjuang melalui jalur kultural dianggap merupakan investasi jangka panjang
yang melelahkan, penuh perjuangan, berpeluh keringat, dan hasilnya baru dapat
dinikmati kemudian. Penting ditekankan bahwa kiprah kaum muda melalui jalur
politik atau kultural sama-sama penting.
Bangsa
ini pasti membutuhkan pribadi-pribadi hebat dari kaum muda yang idealis,
dinamis, penuh dedikasi, sederhana, dan tahan godaan. Tetapi sangat
disayangkan, realitas masih menunjukkan bahwa panggung politik nasional belum
begitu bersahabat dengan kaum muda. Semua itu terjadi karena kaum tua masih
menunjukkan ”syahwat politik” untuk berkuasa.
Dampaknya,
kaum muda kurang memiliki keberanian untuk tampil. Dominasi kaum tua semakin
terang-benderang seiring dengan selesainya muktamar, kongres, atau musyawarah
nasional (munas) partai-partai politik.
Dalam
permusyawaratan tertinggi partai politik itu, jelas sekali kiprah kaum muda
belum terakomodasi dengan baik. Karena itu, jangan heran jika panggung
politik nasional lima tahun mendatang akan tetap berada di bawah cengkeraman
kaum tua. Padahal jika kita ingin serius menyiapkan pemimpin masa depan, saat
inilah momentum yang tepat untuk memberikan panggung politik bagi kaum muda.
Untuk
itu, politisi kaum tua harus berjiwa besar. Kaum tua harus legawa menyerahkan
estafet kepemimpinan pada kaum muda. Itu penting agar lima tahun mendatang
tidak terjadi gejala 4 L (lo lagi lo lagi ). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar