Kejahatan
Akademik
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 26 Mei 2015
Berdasarkan inspeksi
mendadak (sidak) menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (menristek
dan dikti), ada dua dari 18 perguruan tinggi (PT) yang dinilai bersalah yakni
”menjual ijazah palsu”.
Dua PT dimaksud adalah
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Adhy Niaga di Bekasi, dan Lembaga
Manajemen Internasional Indonesia (LMII) yang mengaku sebagai cabang dari
University of Berkeley, Michigan. Sebanyak 17 PT diduga bermasalah, berada di
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta satu PT di Kupang Nusa
Tenggara Timur. Untuk mengungkap fenomena gunung es tersebut, sekaligus
menemukan buktibukti kejahatannya, sidak akan dilanjutkan pada PT lainnya.
Sidak menristek dan
dikti itu, sebagai langkah progresif, layak diapresiasi. Ada asa/harapan,
kejahatan akademik dapat diberantas sehingga martabat PT terjaga. Tulisan ini
pun dibuat dalam semangat dan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Pada
hemat saya, sebagai konsekuensi kehidupan bernegara hukum, langkah hukum
wajib dijadikan keniscayaan. Dapat dimengerti bahwa menristek dan dikti
bekerja sama dengan kepolisian dan aparat penegak hukum lain.
Berhadapan dengan
kejahatan akademik, hendaknya menristek dan dikti dapat memobilisasi dan
menghimpun kekuatan-kekuatan hukum pada berbagai lembaga penegak hukum dan
elemen-elemen masyarakat, menjadi semacam ”skuadron” yang siap tempur,
seia-sekata, bahumembahu, memberantas kejahatan akademik sampai akarakarnya.
Strategi ini akan
efektif apabila sejak awal semua komponen ”skuadron” memiliki kesamaan
persepsi, sikap, dan komitmen terhadap dua hal. Pertama, kejahatan akademik
berada pada situasi dan kondisi yang serbakompleks. Kompleksitas dimaksud
terkait industrialisasi semua aspek kehidupan, termasuk industrialisasi di
bidang pendidikan.
Karena itu, strategi
pemberantasan kejahatan akademik disesuaikan dengan kompleksitas masalahnya.
Kedua, diinsyafi bahwa sejak kehidupan masuk abad ke-20, keperkasaan negara
dengan kedaulatan hukum, secara perlahan tapi pasti, telah tumbang dengan
munculnya persatuan negara-negara regional (regional arrangement) seperti: ASEAN, Amerika Latin, Timur
Tengah, Uni Eropa, dan lain-lain.
Apa yang disebut
negara bangsa (nation state) kini
sudah berakhir. Hubungan antarnegara pun berkembang melalui lalu lintas
elektronik, dunia cyber, dan virtual
reality. Perubahan-perubahan tersebut berpengaruh signifikan terhadap
marak dan canggihnya kejahatan akademik. Kejahatan akademik, setahu saya,
berada pada kisaran kehidupan industrialis itu.
Karena itu, dilihat
dari motif, pelaku, tujuan, sarana-prasarana, maupun kecanggihannya,
sangatlah terbuka, melibatkan warga negara maupun badan hukum asing.
Pelaku-pelaku kejahatan akademik bukanlah orang per orang, melainkan
kolektiva-kolektiva. Masyarakat akademik pun bisa menjadi pelakunya.
Menjadi sangat tragis
ketika di dalam masyarakat akademik ternyata bercokol para pengusaha,
penguasa (politisi), akademisi (ilmuwan asongan), dan calo-calo (brokers). Kerja sama bermotif
ekonomi-finansial, glamor gelar kesarjanaan, nafsu kekuasaan, dan motifmotif
lain berjumpa dalam kesepakatan jahat yakni menjadikan PT sebagai industri
ijazah palsu. Dapat diyakini kebenarannya bahwa ada sejumlah ”jenderal, tokoh
partai, guru besar, pengusaha” terlibat dalam kejahatan akademik.
Saya yakin, Pak
Menteri dan bapak-bapak di lingkaran PT telah paham mengenai sepak terjang
orangorang haus gelar tersebut. Sekadar contoh: ketika seseorang telah
memiliki jabatan formal dan keterlimpahan harta benda, terpikir kemudian,
alangkah indahnya kalau namanya diembel- embeli gelar doktor atau profesor.
Dicarilah ”pintu belakang” untuk mendapatkan gelar tersebut.
Melalui calo,
dihubungi PT tertentu. Ditawarkan bantuan dana - katanya sebagai bukti
kepedulian pada pendidikan - asal kepadanya diberikan kompensasi berupa gelar
kesarjanaan yang diinginkan. Jadilah, jual beli gelar doctor honoris causa
(HC) atau profesor. Praktik jahat seperti ini masih sering dijumpai di
beberapa PT walaupun praktik yang benarbenar ilmiah juga masih banyak.
Kembali pada masalah
kompleksitas kejahatan akademik, upaya pemberantasan terhadapnya tidak hanya
tertuju pada produk yaitu ijazah palsu, tetapi juga niat awal penyelenggaraan
pendidikan, seluruh tahap-tahap dan persyaratan yang wajib terpenuhi selama
proses pendidikan. Kejadian menyesakkan dada ketika kuliah jarak jauh
dibiarkan berlangsung liar.
Di kota-kota besar,
banyak orang haus gelar kesarjanaan, di situ dibuka perkuliahan kelas
Sabtu-Minggu atau Program Doktor by research (tanpa perkuliahan). Untuk
mencari mahasiswa dipercayakan kepada calo, dengan imbalan persentase. Sudah
tentu bagi si calo, imbalan uang merupakan fokus pikiran dan aktivitasnya.
Apakah hal demikian melanggar moral-etika akademik, barangkali jauh dari
wawasannya.
Tragis, ketika seleksi
input pendidikan dilakukan sebatas formalitas sehingga semua orang yang
ditawarkan calo diterima sebagai mahasiswa. Dari kejadian itu, diingatkan
bahwa proses seleksi dan input pendidikan di bawah standar, mestinya
dijadikan salah satu indikasi terhadap terjadinya kejahatan akademik. Benar
bahwa untuk meraih gelar kesarjanaan, selama proses pendidikan mahasiswa yang
bersangkutan wajib memenuhi satuan angka kredit (SKS) tertentu.
Amat disayangkan bahwa
selama proses pendidikan, mahasiswa yang bersangkutan jarang/ tidak pernah
kuliah. Boleh dikata, ke kampus hanya saat pendaftaran dan ujian. Nilai-nilai
bagus adalah produk rekayasa. Wisuda, sebagai momentum sakral dan bergengsi,
tak dihadirinya. Mungkin karena malu. Bagaimana dengan bimbingan tesis atau
disertasi? Etika akademik mewajibkan dise-lenggarakan di kampus.
Sungguh naif, ada
pembimbingan di hotel-hotel, atau yang menghadap hanya ajudan. Karya ilmiah
berkualitas rendah, sarat plagiasi, diterima sebagai syarat ujian dan kelulusan.
Alasannya, faktor kemanusiaan atau batas akhir studi sudah habis. Karena uang
kuliah sudah dibayar di muka dan ada perjanjian diluluskan sesuai masa studi,
mahasiswa pun dapat melenggang lulus, membawa ijazah.
Proses pendidikan
rekayasa demikian ini bukankah kepalsuan? Mengembalikan marwah PT sebagai
wahana persemaian ilmuwan dan pemimpin bangsa, memerlukan perjuangan berat.
Semoga menristek dan dikti diberi ketahanan mental, tetap semangat, dan mampu
memberantas kejahatan akademik. WallahuWallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar