Kaum
Muda dan Kekuasaan
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu
Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
|
KORAN SINDO, 25 Mei 2015
Kaum
muda merupakan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tentu kaum muda yang
bisa menjadi harapan adalah kaum muda yang memiliki kecerdasan tinggi yang
dengan kecerdasan itu mereka merencanakan dan melakukan perbaikan.
Mahasiswa
sering diidentikkan dengan kaum muda dengan kecerdasan tinggi itu. Pasalnya,
mahasiswa merupakan satu entitas di dalam golongan kaum muda yang memiliki
kesempatan khusus untuk mengakses ilmu pengetahuan yang lebih luas. Dengan
kecerdasan itu, mereka bisa berimajinasi tingkat tinggi tentang masa depan
yang lebih gemilang. Kecerdasan pulalah yang bisa menguatkan gerakan untuk
merealisasikan imajinasi.
Karena
membutuhkan imajinasi, yang diperlukan adalah kaum muda yang memiliki
independensi, bukan anak-anak muda yang diri mereka telah tergadai, dan jiwa
mereka telah terpasung. Jika independensi mereka telah terjual, walaupun
mereka masih mengembuskan napas, sesungguhnya mereka telah mati. Mereka sudah
tidak lagi diharapkan bisa memberikan arti sebab telah kehilangan kekuatan terhebat,
yakni kekuatan moral untuk bersuara, dan tentu saja kekuatan untuk bertindak.
Moral
mereka telah jatuh sedalam-dalamnya dan sangat sulit untuk diangkat kembali.
Menurut Ibnu Khaldun, ada empat kategori generasi, yaitu generasi pejuang,
generasi penerus, generasi penikmat, dan generasi pemboros. Dalam konteks
yang berbeda dengan yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun, generasi pejuang
merupakan generasi yang sangat diperhitungkan oleh penguasa.
Jika
penguasa melakukan penyelewengan kekuasaan, generasi pejuang akan melakukan
perlawanan dengan sepenuh jiwa dan raga. Untuk melakukan itu, mereka rela
mengorbankan apa saja. Mereka tidak lagi memiliki rasa sakit dan tidak takut
sama sekali terhadap kematian. Mereka rela menjadi ”tumbal”, yang mereka
cita-cita tercapai. Terhadap generasi pejuang ini, penguasa akan selalu
mencari cara agar mereka bisa ditaklukkan dan dimatikan.
Tentu
dengan cara yang berbeda- beda. Kejadian macam ini senantiasa berulang dan
bisa dikatakan menjadi satu hukum alam. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun juga
mengatakan bahwa ”sejarah akan selalu berulang”. Tidak sedikit peristiwa
sekarang ini sesungguhnya merupakan pengulangan dari peristiwa masa lalu.
Nama, penampakan, cara, dan tempatnya saja yang berbeda. Namun, substansinya
sesungguhnya tetap sama.
Di
antaranya kisah tentang seorang penguasa lalim yang di dalam Alquran disebut
dengan nama Firaun yang mendapatkan informasi dari para tukang ramalnya,
bahwa akan ada seorang anak lelaki berasal dari garis keturunan Bani Israil
akan menghancurkan kekuasaannya. Untuk mengantisipasi ramalan tersebut
terjadi, dia membunuh setiap anak lakilaki yang baru saja dilahirkan dari
kalangan Bani Israil.
Usaha
tersebut dilakukan secara besar-besaran, karena Firaun menganggap bahwa
kerajaannya tidak boleh berpindah kepada orang lain. Karakter Firaun ini
dalam banyak penguasa bisa ditemukan. Mereka juga tidak ingin kekuasaan yang
berada di tangan mereka jatuh ke tangan pihak lain, apalagi pada saat mereka
masih dalam keadaan segar bugar.
Jika
kekuasaan tersebut sudah tidak lagi dikuasai olehnya lagi, orangorang
terdekatnya lah yang harus menjadi pengendali pelanjut. Biasanya orang yang
dianggap terdekat itu adalah anak-anak sendiri, karena kurang percaya kepada
orang lain. Karena itu, orang-orang lain yang berusaha untuk mengganggu
keberlangsungan alih kekuasaan kepada orang-orang yang diinginkan oleh
penguasa tersebut harus dimusnahkan terlebih dahulu.
Belajar
dari berbagai kasus di masa lalu, kaum muda harus bertindak hati-hati. Jangan
sampai mereka masuk ke dalam jebakan yang dibuat oleh penguasa jahat yang
ingin membunuh masa depan mereka. Bisa jadi, mereka tidak dibunuh dalam arti
dihilangkan nyawa mereka, tetapi bisa dimatikan karakternya, bisa pula
dipenjarakan untuk mematikan gerakan dan sekaligus mematikan karakternya,
sehingga menjadi orang-orang yang kehilangan integritas.
Dengan
demikian, di masa depan, mereka tidak lagi bisa mendapatkan kepercayaan dari
banyak orang. Padahal sesungguhnya mereka memiliki potensi yang sangat besar
untuk menjadi pemimpin masa depan. Untuk membunuh lawan, ada banyak cara bisa
dilakukan. Di tempat yang berbeda, di zaman yang berbeda, cara itu bisa
berubah-ubah sesuai dengan cara pandang masyarakat.
Di Jawa
misalnya, untuk membunuh lawan politik, tidak melulu harus dengan cara keras
dengan menggunakan benda-benda yang mematikan, tetapi bisa dengan cara halus,
bahkan sangat halus. Bahkan membunuhnya dengan cara yang tidak lazim, yakni
dengan cara meletakkannya pada posisi yang paling dekat. Maka ada ungkapan Jawa
”dipangku, mati”.
Karena
itu, kaum muda harus memiliki seni dalam menjaga jarak dengan penguasa,
terutama para penguasa yang memiliki kecenderungan jahat, apalagi benar-benar
jahat, agar selamat dari pembunuhan, terutama dalam bentuk yang halus atau
sangat halus, yang karena sulit dideteksi. Ibarat naik kendaraan di jalan
tol, jarak dengan kendaraan di depan tidak perlu terlalu jauh, tetapi juga
tidak boleh terlalu dekat.
Jika
terlalu jauh, tentu akan ada waktu yang terbuang untuk bisa cepat sampai
tujuan. Namun, jika terlalu dekat, bisa terjadi kejadian yang membahayakan
dan sulit menghindarkan diri. Seni menjaga jarak inilah yang harus dimiliki
agar kaum muda bisa selamat dari segala upaya untuk menghentikan idealisme
mereka.
Jika
gagal menjaga jarak aman, mereka akan dimasukkan ke dalam jebakan yang
membuat kaum muda yang sebelumnya memiliki kekuatan hebat, menjadi ibarat
sekadar singa ompong. Mereka bisa dijerat dengan umpan berbagai kenikmatan
yang bisa menyilaukan mata dan hati mereka. Dengan godaan itu, niat untuk
menjadi generasi pejuang, bisa berbelok menjadi generasi penikmat.
Cukup
memprihatinkan, gerakan anak-anak muda yang beberapa lalu bersuara lantang
hendak mengkritisi pemerintah, tetapi kemudian mereka berbalik arah. Mereka
belum pernah melakukan perjuangan sama sekali, tetapi sudah langsung
menikmati makan malam yang karenanya mereka kehilangan semangat untuk
melakukan perjuangan.
Karena
itu, sekali lagi, kaum muda, kalangan aktivis mahasiswa harus bisa
memperkirakan ”jarak aman” untuk mempertahankan idealisme mereka tetap
terjaga, dan mereka tetap berada pada garis perjuangan untuk membela rakyat
dan senanti berusaha untuk memperbaiki negara. Wallahu alam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar