Collaborative-Economy
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 25 Mei 2015
Sampai
saat ini mayoritas dari kita masih beranggapan, efisiensi dan efektivitas
pasar hanya merupakan fungsi dari persaingan dan kompetisi. Hanya dengan
persaingan dan kompetisi, surplus-konsumen dapat dicapai melalui harga yang
semakin murah. Namun, di sisi lain, persaingan yang begitu keras justru
menciptakan kerugian (industrial-loss)
dan praktik-praktik bisnis yang tidak terpuji. Sementara itu kita sangat
kecilmenaruh perhatian pada skema-skema kolaborasi untuk menciptakan
efisiensi dan efektivitas di pasar.
Harus
diakui mazhab mainstream dalam teori ekonomi dan kebijakan publik masih
terfokus pada the economics of
competition dan cenderung mengabaikan the
economics of collaboration. Padahal pengalaman di berbagai negara maju
seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan China, industri
dibangun dan dimajukan tidak hanya melalui mekanisme persaingan, melainkan
juga ditopang oleh bentuk-bentuk kerja sama-kolaboratif industrial.
Oleh
karena itu, sudah saatnya di Indonesia kita juga lebih melihat peluang
pengembangan mindset dan perspektif the
economics of collaboration sebagai pelengkap dari perspektif kompetisi
dan persaingan. Saat ini sering kali kita mudah terjebak pada pemahaman umum
bahwa kolaborasi dan kerja sama industrial akan berujung pada kartel,
kolusif, ataupun stigmatisasi mafia.
Tentunya
hal ini perlu diluruskan karena tidak semua skema kerja sama dan kemitraan
berujung pada hal-hal negatif tersebut. Justru di banyak kasus, melalui skema
kerja sama, kemitraan, atau partnership, suatu aktivitas akan menjadi lebih
produktif.
Secara
teoretis konsep the economics of
collaboration mengacu pada sebuah model ekonomi di mana kepemilikan dan
akses terhadap sebuah project atau sumber daya ekonomi terbagi di antara
instansi pemerintah, perusahaan, asosiasi, perguruan tinggi, LSM, komunitas
atau individu.
Semangat
yang diusung dalam hal ini adalah saling-berbagi sumber daya, kompetensi,
kapabilitas, dan kemampuan dalam sebuah kerangka kerja sama yang produktif.
Premis dasar dalam konsep ini adalah melalui penggabungan kekuatan dari
entitas masing-masing, sebuah project
tidak hanya menjadi lebih menguntungkan, tetapi juga berkelanjutan (sustainable).
Akan
lebih banyak hal yang dapat dilakukan apabila kerja sama dan koordinasi
terjadi secara intens antarentitas. Saya sedang tidak menyarankan konsep
kompetisi dan persaingan harus digantikan sepenuhnya oleh konsep kolaborasi
dan partnership. Hanya saja tidak
semua hal dapat diselesaikan melalui konsep kompetisi dan persaingan.
Bahkan,
di berbagai kasus, efisiensi dan efektivitas dapat diwujudkan secara baik
melalui skema kolaboratif. Pengalaman di berbagai negara maju, pembangunan
industrial tidak hanya menggunakan skema kompetisi dan persaingan saja. Namun
skema-skema seperti sinergi, kolaborasi, kerja sama, strategikaliansi dan
partnership juga secara masif dilakukan.
Baik
antarperusahaan dalam satu industri, berbeda industri ataupun yang bersifat
lintas entitas seperti skema kerja sama antara perusahaan-asosiasi,
perusahaan-perguruan tinggi, perusahaan-LSM, ataupun perusahaan dengan
pemerintah. Banyak perusahaan multinasional yang bersaing satu dengan yang
lain di pasar, tetapi di sejumlah kesempatan ternyata mereka melakukan kerja
sama yang bersifat kolaboratif.
Misalnya
saja kerja sama antara Microfost-Cisco-State Street dan perusahaan lainnya
melakukan investasi tidak kurang dari 60 juta euro dalam menyediakan platform
akses teknologi dan training bagi peningkatan kualitas karyawan. Sementara
itu perusahaan minyak dunia seperti Chevron, BP, ExxonMobil, Sonangol, dan
Total berkolaborasi untuk membangun fasilitas training bagi para supplier di
Luanda, Angola.
Perusahaan
Merck juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, LSM lokal serta otoritas
lokal di sejumlah negara Amerika Latin seperti Brasil dan Meksiko untuk
meningkatkan kualitas kebijakan di bidang kewirausahaan. Model kemitraan dan
kerja sama antarlembaga pemerintahan juga menjadi tren dunia saat ini dalam
meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan integrasi pembangunan
kewilayahan.
Misalnya,
laporan penelitian yang dilakukan Jones dan Morris (2008) mendokumentasikan
bagaimana kerja sama antarpemerintah kota di Inggris terjadi untuk mewujudkan
tujuan bersama. Ketika otoritas Kota Sheffield ingin membangun wilayah
berbasis knowledge intensive industry,
hal ini tidak dapat dilakukan sendirian. Kemitraan dengan kota sekitarnya
seperti Rotherham dan Doncaster dilakukan.
Selain
itu Pemerintah Inggris terus mengembangkan
apa yang disebut sebagai city-tocity
collaboration project untuk mengoptimalkan the economics of collaboration. Mereka sangat mendukung proyek-kolaboratif
antara Glasgow dan Edinburgh, Liverpool dan Manchester City di bidang
kepariwisataan, dan kerja sama antara beberapa kota seperti Peterborough-Luton-Ipswich-Norwich-
Colchester-Southen on Sea untuk mendorong penciptaan lapangan kerja secara
kolektif.
Kebijakan
ini ditempuh dengan mempertimbangkan bahwa dengan bekerja sama dan kemitraan,
hasil yang didapat akan lebih besar dibandingkan bila dilakukan sendiri oleh
tiap kota di Inggris. Sebenarnya di Indonesia sejumlah proyek kerja sama dan
kemitraan secara kolaboratif juga telah dilakukan. Hasilnya memang jauh lebih
baik bila dibandingkan dengan dikerjakan sendiri-sendiri.
Misalnya,
keberhasilan kita dalam membangun tol Bali Mandara hasil konsorsium
multisektor yang terdiri atas BUMN konstruksi, pemda dan BUMN perbankan. Tol
Bali Mandara juga dimiliki bersama antara PT Jasa marga, Pelindo III, Angkasa
Pura I, Adhikarya, Hutama Karya, PT BTDC, Pemprov Bali, dan Pemkab Badung.
Melalui penggabungan sumber daya dan kompetensi, jalan tol dapat
terselesaikan dengan baik.
Kerja
sama antarlembaga tinggi negara juga terjadi secara baik ketika
Pemerintah-BPK-BI pada September 2014 menyepakati pedoman prosedur transaksi
lindung nilai (hedging) bagi semua
entitas, termasuk BUMN maupun departemen terkait seperti Kementerian Luar
Negeri dan Kementerian Agama.
Begitu
juga dengan skema-skema kolaboratif lainnya seperti kebijakan dari
Kementerian Pendidikan untuk mendorong hibah riset bagi peneliti yang
mengharuskan bermitra dengan universitas lain dan hibah riset yang bersifat
multidisipliner. Indonesia saat ini semakin membutuhkan pola dan skema
kemitraan yang bersifat kolaboratif di berbagai sektor kehidupan. Semangat
ini juga merupakan cerminan dari akar budaya dan karakter asli masyarakat
Indonesia, yaitu gotong royong.
Dengan
membanjirnya budaya individualistis serta semakin ketatnya persaingan dan
kompetisi di seluruh aspek kehidupan, budaya kolaboratif (collaborative-culture) perlu kita
kembangkan. Terlebih dengan struktur pemerintahan pasca- Reformasi yang bertumpu
pada semangat desentralisasi, kebutuhan akan collaborative-action, collaborative-project, collaborative-venture,
dan collaborative-planning semakin
kita perlukan.
Karena
kalau tidak, yang justru akan menguat adalah ego-sektoral di entitas masing-masing
yang justru saling menegasikan dan mengunci satu dengan yang lain. Seperti
pengalaman di banyak negara, peranan pemerintah untuk mendorong skema dan
pola kerja sama, kemitraan dan partnership
sangat diperlukan. Political dan good-will dari pemerintah untuk
mendorong skema-skema kerja sama akan memperkuat semangat kolaboratif di
Indonesia.
Selain
itu, kebijakan fiskal dan program pemerintah juga dapat diarahkan untuk
memperbanyak munculnya inisiatif baru yang bersifat kolaboratif antarsesama
anak bangsa. Melalui hal ini, tidak hanya manfaat ekonomis yang akan kita
dapatkan, tetapi juga akan semakin memperkuat rasa kebersamaan dan rasa
kepemilikan yang menjadi modal penting dalam membangun karakter unggul sebuah
negara maju, kuat, mandiri, dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar