Srikandi
Pansel KPK
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
SUARA MERDEKA, 26 Mei 2015
TAHUN 1991, terbit
buku berjudul Srikandi: Sejumlah Wanita
Indonesia Berprestasi, dieditori oleh E Massadiah, M Asminato Amin, dan
Baso Amir. Buku berisi biografi pendek 100-an tokoh perempuan. Mereka adalah
istri para pejabat, intelektual, artis, pengusaha, pendidik, politikus, dan
seniman. Buku berketebalan 954 halaman menjadi bacaan publik untuk memberi
pengakuan dan penghormatan atas kontribusi kaum wanita dalam pembangunan.
Biografi mereka diharapkan jadi ”cermin bagi wanita muda”.
Buku dari masa Orde
Baru itu pantas diingat setelah Joko Widodo mengumumkan panitia seleksi
(pansel) pimpinan KPK adalah sembilan perempuan. Di pelbagai pemberitaan media,
mereka mendapat julukan Srikandi. Bahasa politik masih menginduk ke epos
Mahabharata. Kita terbiasa memberi julukan Srikandi terhadap perempuan. Ada
puluhan nama perempuan dalam epos tapi pilihan selalu ke Srikandi.
Kita perlahan-lahan
merasa ada klise dan penasaran. Srikandi dalam epos telah memberi ”sihir”
pembahasaan dan imajinasi identitas perempuan. Nama itu terlalu sering
digunakan tanpa ada ikutan penjelasan dan pemaknaan mutakhir. Pada masa Orde
Baru, pemberian julukan Srikandi tampak dipengaruhi corak kekuasaan Soeharto
mengacu ke latar kultural Jawa. Sebutan Srikandi mungkin mendapati restu
penguasa. Pengertian Srikandi menjadi lembut, berprestasi, menentukan, dan
mulia. Pengertian agak berbeda justru diajukan Rendra pada 1970.
Srikandi adalah
representasi tokoh urakan, tanpa memberi penggamblangan berjenis kelamin
perempuan. Srikandi disebut bersama Narada, Ali Sadikin, Semar, Petruk, Bima,
dan Ki Ageng Soerjomentaram. Joko Widodo kembali menguak ingatan dan
imajinasi Srikandi dalam lakon mutakhir politik dan hukum. Sembilan perempuan
diminta menyeleksi nama-nama pimpinan KPK. Kita berhak memberi tepuk tangan
sejenak, berlanjut ke renunganrenungan biasa. Pilihan itu tak usah digugat
atau dilawan dengan demonstrasi.
Jokowi telah memilih
dan mengumumkan. Kita mungkin masih memiliki kemungkinan turut memberi arti
ketimbang pesimistis. Barangkali Joko Widodo sengaja ingin menampilkan kaum
perempuan agar ikhtiar pemberantasan korupsi mengandung percampuran corak
berbeda. Perempuan dianggap mengejawantahkan kelembutan, keibuan, dan
kebijakan.
Korupsi menjadi tema
besar bagi perempuan. Pembesaran otoritas itu agak mengejutkan setelah publik
melakukan gerakan-gerakan pembelaan pada KPK. Kaum perempuan juga tampil
melawan korupsi. Tanggal 21 April 2015, tokoh-tokoh perempuan di gedung KPK
menjelaskan sikap dan beraksi untuk memberantas korupsi. Pilihan tanggal
kemungkinan mengacu ke sejarah dan ketokohan Kartini. Sekarang, Srikandi
makin memiliki tugas besar.
Aksi dan suara
perempuan dalam pemberantasan korupsi menjadi lakon besar. Realitas ini
menampik realitasrealitas buruk: perempuan menjadi koruptor dan perempuan di
lingkaran tindakan korupsi. Dulu, Motinggo Busje melalui drama komedi
berjudul ”Njonja dan Njonja” (1963) menguak peran perempuan dalam korupsi
pada masa Orde Lama. Njonja adalah sebutan bagi perempuan pendamba harta dan
kehormatan melalui tindak korupsi suami.
Tafsir Berbeda
Kita tak menemukan
tokoh bernama Srikandi atau perempuan berjulukan Srikandi dalam ”Njonja dan
Njonja”. Kita malah menemukan Srikandi dalam novel komedi dan romantis
berjudul Arjuna Mencari Cinta (1977) garapan Yudhistira ANM Massardi. Tokoh
lelaki mendapat nama Arjuna.
Tokoh perempuan
mendapat nama Srikandi. Penamaan para tokoh tak sesuai dengan Mahabharata.
Pengarang berusaha mengajak pembaca untuk memperkenankan siapa saja bernama
dari epos. Tokoh bernama Srikandi tak harus mencirikan tokoh dalam
Mahabharata. Novel itu sejenis ”ledekan” atas pembakuan nama dan karakter.
Pelepasan dari pakem epos memungkinkan ada tafsir berbeda.
Srikandi tampil
berlatar zaman modern dan hidup dalam peradaban kota. Kita tinggalkan
ingatan-ingatan teks sastra, beralih ke tafsir pemberian julukan Srikandi
bagi sembilan 9 wanita di pansel pimpinan KPK. Mereka itu tangguh, cerdas, bijak,
dan berani. Jokowi sengaja memilih dengan pertimbangan matang meski tak
mewajibkan ikut menjadikan epos sebagai referensi. Kita cuma menduga bakal
ada pengulangan pemahaman baku tentang Srikandi sebagai nama dan karakter
untuk tokoh moncer dalam Mahabharata.
Kemauan kita mengurusi
korupsi diselingi pemunculan julukan meski tak langsung berkaitan siasat
pemberantasan korupsi. Kita belum jemu dengan Srikandi. Perempuan masih
selalu Srikandi. Kita mirip pemuja Srikandi tapi abai tokoh-tokoh perempuan
dengan pelbagai nama dalam epos, mitos, sejarah, dan legenda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar