Dikabulkan
Bukan Berarti Tak Korupsi
Khaerudin ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 29 Mei 2015
Tersangka korupsi di
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak
berarti bahwa dia tidak melakukan korupsi sebagaimana disangkakan kepadanya.
Praperadilan bukanlah sidang yang menguji pokok perkara dugaan tindak pidana
korupsi yang disangkakan kepada seseorang.
Sidang praperadilan
bukanlah tempat untuk menguji alat bukti yang dimiliki KPK untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka kasus korupsi. Pengujian alat bukti tersebut baru
dilakukan dalam sidang pokok perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
setelah tersangka korupsi duduk di kursi terdakwa.
"Tidak ada logika
dan landasan hukumnya untuk bisa menyimpulkan bahwa diterimanya permohonan
praperadilan berarti yang bersangkutan bersih atau bebas dari korupsi.
Seseorang dinyatakan tidak korupsi atau bebas semata harus berdasarkan
putusan hakim dalam (sidang) perkara pokoknya," ujar dosen Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bondan, di Jakarta, Kamis
(28/5).
Terbukti atau tidaknya
seseorang melakukan korupsi baru bisa diuji di sidang pokok perkara dengan
majelis hakim berisi lima orang, bukan di praperadilan yang disidangkan hakim
tunggal. Artinya, tersangka korupsi yang dikabulkan permohonan
praperadilannya tidak berarti dia tidak terbukti melakukan korupsi.
"Persepsi bahwa
seorang tersangka yang dikabulkan permohonan praperadilannya tidak melakukan
korupsi itu tidak benar. Praperadilan bukan untuk menguji alat bukti sangkaan
tindak pidana korupsi ke yang bersangkutan. Persepsi ini yang harus
diluruskan," ujar Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP.
Persepsi salah
Belakangan ini,
persepsi salah bahwa seorang tersangka kasus korupsi yang permohonan
praperadilannya dikabulkan hakim tunggal berarti tidak melakukan korupsi
justru berkembang. KPK pun terkena imbas persepsi salah ini. Tiga kali kalah
di praperadilan membuat KPK dipersepsikan sembarangan, tidak hati-hati,
bahkan tak punya bukti menetapkan seseorang menjadi tersangka korupsi.
Padahal, jika melihat
rekam jejak KPK mendakwa dan menuntut pelaku korupsi di pengadilan tindak
pidana korupsi, tidak ada satu alasan pun untuk meragukan bukti-bukti yang
dimiliki KPK. Selama ini, KPK belum pernah kalah di Pengadilan Tipikor.
Tersangka kasus korupsi yang diusut KPK selalu berhasil dibawa ke pengadilan
tipikor dan dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. KPK punya rekor
keberhasilan 100 persen dalam membuktikan seorang terdakwa melakukan korupsi.
Semua keberhasilan itu
terjadi dalam sidang pokok perkara di pengadilan tipikor. Alat bukti yang
dimiliki KPK diuji dan terbukti bisa meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa
memang melakukan korupsi.
Namun, rupanya rekor
100 persen berhasil membuktikan terdakwa korupsi di pengadilan tipikor ini
membuat jeri para pelaku korupsi. Mereka kini mengubah medan pertempurannya
dengan KPK. Para pelaku korupsi sekarang ini mati-matian berusaha agar
dirinya tak sampai diadili di pengadilan tipikor. Kini, praperadilan pun
dijadikan ajang pertempuran utama koruptor. Di sini, KPK ternyata dengan
mudah bisa dikalahkan meski mereka menggunakan dalil-dalil hukum yang terasa
aneh dan janggal.
Terakhir, putusan
hakim Haswandi yang mengabulkan permohonan praperadilan mantan Direktur
Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Haswandi
menyatakan, penyidikan terhadap Hadi tidak sah karena penyelidik dan penyidik
KPK dalam kasus ini tidak sah secara hukum. Menurut Haswandi, penyelidik dan
penyidik KPK dalam kasus Hadi bukan berasal dari kepolisian.
Hal ini tentu
membingungkan karena Haswandi merupakan ketua majelis hakim Pengadilan
Tipikor Jakarta yang menyidangkan perkara korupsi Anas Urbaningrum dan Andi
Mallarangeng. Dalam sidang tersebut, Haswandi menyatakan keduanya terbukti
bersalah melakukan korupsi dan tak sekali pun mempersoalkan penyelidik dan
penyidik KPK.
Publik pun
bertanya-tanya karena proses pengusutan kasus korupsi Anas dan Andi serupa
dengan yang terjadi dalam kasus korupsi Hadi.
Pertempuran berbeda
Pertempuran KPK dengan
pelaku korupsi hakim tunggal di praperadilan dan lima hakim dalam satu
majelis di pengadilan tipikor jelas berbeda. Di praperadilan, hakim tunggal
bisa menafsirkan sendiri pasal-pasal hukum untuk mengabulkan permohonan
tersangka korupsi. Sementara di pengadilan tipikor, lima hakim tentu tak bisa
begitu saja mengabaikan alat bukti materiil yang diajukan KPK, termasuk
sejumlah kesaksian dari mereka yang melihat, mendengar, dan mengetahui
praktik korupsi yang dilakukan terdakwa.
Apalagi jika alat
bukti yang dimiliki KPK dalam sidang di pengadilan tipikor cukup menohok
terdakwa, misalnya pemutaran hasil penyadapan telepon atau rekaman video saat
pelaku melakukan korupsi. Tentu saja majelis hakim pengadilan tipikor wajib
mempertimbangkan alat-alat bukti tersebut dalam proses persidangan.
Dengan demikian, meski
kalah di praperadilan, tak ada alasan bagi KPK untuk tidak melanjutkan
pengusutan kasus korupsinya. Harus dipahami, kerja KPK sangat penuh
kehati-hatian. Bahkan, sejak tingkat penyelidikan karena undang-undang
melarang KPK menghentikan penyidikan di tengah jalan. Karena itulah, saat
masih dalam tahap penyelidikan, KPK sudah menemukan minimal dua alat bukti
seseorang melakukan korupsi.
Jika sudah sampai ke
tahap penyidikan, KPK berarti sudah punya lebih dari dua alat bukti yang
cukup yang bisa menyimpulkan seseorang menjadi tersangka. Filosofi kerja para
penyelidik dan penyidik KPK yang sangat hati-hati ini dibuktikan dengan
keberhasilan mereka di pengadilan tipikor. KPK tak pernah kalah. Mereka yang
didudukkan KPK sebagai terdakwa di pengadilan tipikor selalu dinyatakan
terbukti bersalah oleh majelis hakim.
Jadi, seperti yang
disebutkan di awal tulisan, tersangka korupsi yang menang di praperadilan
bukan berarti mereka tidak korupsi. Apakah benar korupsi atau tidak, akan
diuji dalam persidangan di pengadilan tipikor. Yang jelas, KPK belum pernah
kalah di pengadilan tipikor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar