Diplomasi
Krisis Pengungsi
Andi Purwono ; Dosen Hubungan Internasional, Dekan FISIP
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
|
SUARA MERDEKA, 25 Mei 2015
PEMERINTAH
Indonesia dan Malaysia membuat pernyataan bersama untuk siap menampung pengungsi
dan pendatang asal Myanmar dan Bangladesh yang terkatung-katung di laut
asalkan mereka ditempatkan di negara ketiga atau dipulangkan dalam waktu satu
tahun. Kedua negara juga sepakat memberikan bantuan kemanusiaan kepada
sekitar 7.000 migran yang saat ini masih berada di laut. Kesanggupan
bersyarat ini dibuat seusai perundingan tripartit menteri luar negeri dua
negara dengan Menlu Thailand di Putrajaya, Malaysia (20/5/15). Sudah
memadaikan langkah ini, mencermati krisis pengungsi dan berbagai tekanan
internasional agar negara-negara Asia Tenggara mengambil sikap memadai ?
Krisis ribuan pengungsi yang membanjiri perairan Asia Tenggara memang telah
menjadi isu internasional.
Berbagai
lembaga internasional meminta negara Asia Tenggara untuk menyelamatkan 10.000
migran dari Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di lautan dan nasibnya
terombang-ambing. Di tengah tudingan mempingpong, nyatanya dalam beberapa
hari terakhir Indonesia dan Malaysia telah menyelamatkan 2.000 pengungsi.
Kebijakan Indonesia dan Malaysia adalah tepat dan proporsional dalam
perspektif kemanusiaan dan politik. Pertama; langkah itu merupakan jalan
tengah sekaligus emergency exit antara
dua kutub pemikiran tentang kewajiban kemanusiaan di satu sisi dan
kepentingan nasional serta kedaulatan negara di sisi lain. Artinya, darurat
kemanusiaannya relatif tertangani sembari mencari solusi politik yang lebih
permanen dan pasti. Menghadapi berbagai krisis kemanusiaan akibat bencana
alam (natural disaster) maupun
konflik (man made disaster), masyarakat
internasional memang telah lama mendorong aksi kemanusiaan. Di sisi lain
pengungsi ini menjadi ancaman kepentingan nasional banyak negara kawasan dan
menggerogoti kedaulatan negara.
Mereka
menjadi ancaman dari sisi kedaulatan wilayah, serta menjadi beban sosial
ekonomi dan politik bagi negara. Padahal, negara juga tengah menanggung
berbagai kewajiban kesejahteraan bagi warga negaranya sendiri. Ini tercermin
dari pernyataan beberapa pejabat negara dimaksud yang tidak berkenan jika
pengungsi menepi ke wilayahnya. Bahkan Thailand terlihat sangat giat
memberantas sindikat penyelundupan manusia. Kedua; kebijakan Indonesia dan
Malaysia yang memberi syarat juga tepat karena sejatinya mereka bukanlah
penyebab krisis. Ini akan memancing komunitas internasional untuk mencari
solusi yang lebih permanen dan komprehensif. Sikap yang lebih jelas termasuk
uluran bantuan konstruktif justru harus muncul kepada negara asal pengungsi.
Artinya,
sangat urgen upaya diplomasi kemanusiaan yang melibatkan semua aktor agar
problem pengungsi ini bisa diminimalisasi dari hulunya.
Mencari Solusi
Selama
ini ASEAN dikritik karena dinilai gagal mencegah krisis Rohingya. Myanmar
bersikukuh bahwa warga Rohingya merupakan pendatang ilegal dari Bangladesh,
sehingga tanggung jawabnya seharusnya ada pada Bangladesh. Myanmar juga
mengakui memiliki tanggung jawab internasional namun tidak ingin
dipersalahkan.
Pernyataan Menlu Retno Marsudi bahwa krisis kemanusiaan ini
merupakan tanggung jawab bersama ASEAN menjadi cerminan sikap untuk secara
kolektif mencari solusi tanpa intervensi. Termasuk dalam kaitan ini adalah
bukan pendekatan tekanan yang dikedepankan ke Myanmar melainkan pendekatan
konstruktif. Menurut catatan UNHCR, sekitar 25 ribu warga Bangladesh dan
Rohingya memilih melarikan diri sejak awal 2015.
Pada tataran implementatif,
yang mendesak lebih lanjut adalah bagaimana mengawal kebijakan Indonesia dan
Malaysia, terutama pembiayaan pengungsi dan proses legal lainnya. Ada dua
kategori yang dibuat pemerintah RI yaitu mereka yang masih ditampung di Rumah
Detensi Imigrasi (Rudenim) Kemenkumham dan mereka yang berada di luar Rudenim
yang telah diproses dan dinyatakan sebagai pengungsi oleh UNHCR.
Terkait
pembiayaan dan proses legal lainnya, koordinasi dengan UNHCR dan organiasi
kemanusiaan dunia lain seperti Badan Urusan Migrasi Internasional (International Organization for Migration
– IOM) juga mutlak diperlukan. Aksi kemanusiaan dibutuhkan menghadapi krisis
pengungsi di perairan Asia Tenggara. Supaya solusinya lebih meyakinkan,
dibutuhkan diplomasi kemanusiaan agar komunitas global secara bersama
menangani krisis tanpa pendekatan saling menyalahkan dan menekan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar