Radikalisme
dan Kebebasan Pers
Mahladi ; Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah
|
REPUBLIKA, 07 Mei 2015
Ketika
diminta menjadi salah satu pemateri dalam Diskusi
Hari Kebebasan Pers Internasional bertajuk "Kebebasan dan
Penistaan", Senin (4/5), di gedung Dewan Pers Jakarta, saya terpaksa
menceritakan ulang kasus pemblokiran situs-situs Islam yang terjadi hampir
satu purnama lalu.
Bukan
bermaksud mengungkit lagi hal yang telah dianggap selesai, tapi sekadar
membuat kilas balik agar di masa mendatang tak terjadi lagi. Saya mulai
paparan dengan pertanyaan sederhana yang belum tuntas betul jawabnya.
Pertanyaan mendasar itu adalah mengapa pemblokiran yang gegabah—bila meminjam
istilah Wakil Ketua DPR Fadli Zon—ini bisa terjadi?
Pertanyaan
ini menjadi penting dijawab agar pertanyaan selanjutnya—yang juga tak kalah
penting—bisa dicari jawabnya, yakni bagaimana cara agar di masa mendatang
kejadian ini tak terulang? Saya menilai ada satu kata kunci yang menjadi
muasal terjadinya pemblokiran tempo hari, yakni kata radikal. Ada beberapa
pertanyaan menyangkut kata kunci ini yang perlu dijawab dan disepakati
bersama.
Pertama,
apa definisi radikal dan tepatkah istilah itu dipakai? Kedua, apa kriteria
sebuah media massa atau konten media massa dikategorikan radikal dan apa pula
batasannya?
Sebenarnya,
dalam Islam tidak dikenal istilah radikal. Yang ada istilah ghuluw, artinya berlebih-lebihan dalam
beragama. Sikap memaksakan kehendak dalam beragama boleh jadi terkategori ghuluw. Ghuluw sudah pasti bermakna negatif, sedangkan radikal bisa jadi
positif.
Makna
positif radikal ini saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Saud Usman
Nasution, kepala Badan Nasional Penangunggulangan Terorisme (BNPT) awal April
lalu, di acara Aliansi Jurnalistik Independen Jakarta. Kata beliau saat itu,
radikal bisa bermakna positif, bisa juga negatif. "Radikal positif,
misalnya, berperang melawan penjajah," kata beliau ketika itu.
Beberapa
ulama yang saya tanya makna radikal juga menyatakan hal positif. Mereka
mengaitkan jawabannya pada asal kata radikal itu sendiri, yakni radiks, yang
berarti akar. Jadi, Islam radikal artinya ber-Islam hingga ke akar-akarnya.
Ini jelas positif. Sebab, memahami Islam hingga ke akar-akar justru membuat orang
semakin saleh, bukan semakin jahat. Nah, definisi ini tentu bertentangan
dengan makna radikal yang dimaksudkan sebagai alasan pemblokiran.
Lalu
saya menemukan lagi definisi radikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Di dalam kamus itu disebutkan bahwa radikal berarti—salah
satunya—amat keras menuntut perubahan. Ini agak relevan dengan batasan
radikal yang dicetuskan BNPT.
BNPT,
setelah ditanya para wartawan awal April lalu, merilis empat definisi
radikal. Pertama, ingin melakukan perubahan secara cepat menggunakan
kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Kedua, menyebarkan pemahaman takfiri
(mengafirkan orang lain). Ketiga, mendukung, menyebarkan, dan mengajak
bergabung dengan ISIS. Keempat, memaknai jihad secara terbatas.
Bila
menilik definisi ini—selain poin keempat yang masih terkesan bias—radikal
yang dimaksud BNPT ini memang berpotensi menimbulkan bahaya. Cuma ternyata
BNPT sendiri tak kunjung menunjukkan pada berita mana di Hidayatullah.com—dan
juga situs Islam lainnya—yang dianggap memenuhi kriteria radikal tadi.
Baru
sepekan kemudian, dalam pertemuan yang difasilitasi AJI tersebut, Saud Usman
menyebutkan ada dua berita di Hidayatullah.com yang dianggap radikal dan
berbahaya. Lalu beliau menunjukkan kedua berita itu kepada saya, dan tak
bersedia menunjukkannya kepada semua wartawan yang hadir di acara itu.
Setelah
melihat dua berita itu, muncul kembali pertanyaan di benak saya, bagaimana
bila konten yang dianggap radikal tadi sebenarnya telah memenuhi kode etik
jurnalistik? Apakah ia tetap terkategori radikal? Saya sendiri merasa kedua
berita yang disebutkan oleh Saud Usman sudah memenuhi kode etik jurnalistik.
Atau,
jika pertanyaannya dibalik, apakah mungkin sebuah karya jurnalistik yang
telah memenuhi standar kode etik jurnalistik divonis radikal dan berbahaya?
Jika jawabnya mungkin, berarti ada yang tak sempurna pada kode etik tersebut.
Pertanyaan
berikutnya, apakah sebuah media massa yang memuat satu atau dua konten yang
dianggap radikal harus ditutup/diblokir/diberedel, atau cukup konten
radikalnya saja yang ditarik/dicabut?
Pemerintah
melandaskan pemblokiran ini pada Peraturan Menkominfo No 19 Tahun 2014. Itu
artinya pemblokiran ini memiliki landasan hukum. Namun, faktanya, pemblokiran
ini telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi dari media-media Islam kesayangan mereka telah dicabut.
Kegaduhan ini tentu bertolak belakang dengan tujuan diterbitkannya permen itu
sendiri.
Kita
patut bersyukur karena pemerintah—dalam hal ini Kominfo—kemudian membentuk
tim panel yang bertugas memberikan masukan terkait konten radikal. Saya kira
ini cukup memberi solusi terhadap persoalan blokir atas nama radikalisme yang
sempat menghantui kebebasan pers di Tanah Air ini.
Namun,
jika tim ini tidak tuntas menjawab pertanyaan tadi, saya khawatir hasilnya
akan sama dengan sebelumnya. Sebab, subjektivitas atas dasar suka atau tidak
suka antarkelompok akan memengaruhi keputusan tersebut.
Satu hal
lagi, saya setuju negara ini harus ada pagar yang membatasi ruang gerak
berekspresi masyarakatnya, termasuk insan pers. Sebab, kebebasan yang
sebebas-bebasnya akan menghasilkan kebablasan yang sebablas-bablasnya.
Saya
khawatir kebablasan yang sebablas-bablasnya ini kelak akan melanggar fitrah
kita sebagai manusia. Jika sudah begini, bencana akan menanti kita.
Namun,
pagar ini harus sempurna dan kokoh, bukan pagar yang rapuh. Kita tak ingin
Indonesia menjadi negara yang membolehkan menggambar kartun Rasulullah SAW
demi apa yang disebut kebebasan berekspresi. Kita ingin bangsa ini kuat dan
beradab. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar