Dua
Pilihan Menteri Olahraga
Toriq Hadad ; Wartawan Tempo
|
KORAN TEMPO, 28 Mei 2015
Kisruh Persatuan Sepak
Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah "membelah" Istana. Wakil
Presiden Jusuf Kalla mendesak Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi segera
mencabut surat pembekuan PSSI. Sedangkan Menpora, yang disokong oleh Presiden
Joko Widodo, terlihat mencoba mencari alternatif lain.
Di mana pemerintah
seharusnya meletakkan prioritas? "Menyelamatkan" PSSI dari adanya
kemungkinan sanksi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dan buru-buru
mencabut surat pembekuan tersebut? Atau merombak total program pembinaan
sepak bola Indonesia demi masa depan yang lebih baik?
Kalau tak bisa memilih
dua prioritas itu sekaligus, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi tidak
usah ragu untuk memilih yang kedua, jalankan pembinaan berjenjang, terutama
pada pemain berusia muda.
Prestasi tim nasional
Indonesia jauh dari membanggakan. Yang terbaik dalam lima tahun terakhir
adalah tim nasional usia 19 tahun menjuarai kejuaraan remaja ASEAN (AFF) di
Indonesia pada 2013. Anak-anak asuhan pelatih Indra Syafri itu untuk pertama
kalinya menjadi juara setelah menaklukkan Vietnam melalui adu penalti. Itu
pun ada catatan, Australia, tim yang cukup kuat, mengundurkan diri dari
turnamen tersebut.
Di luar tim U-19 tadi,
prestasi PSSI seperti demam, naik-turun bergantung pada "cuaca".
Peringkat Indonesia pun menunjukkan tren melorot, dan sekarang terpuruk di
peringkat ke-159, padahal Indonesia pernah mencapai ranking ke-87 pada 1998
dan 2001. Di Asia saja, Indonesia sudah sangat sulit "bicara",
apalagi di pentas dunia.
Ketimbang bermimpi
terlalu tinggi untuk membawa tim senior masuk ke putaran final Piala Dunia,
lebih baik mencoba hal yang lebih masuk akal, yakni piala dunia usia muda.
FIFA memiliki kejuaraan dunia untuk pemain muda berusia 17, 19, dan 20 tahun.
Indonesia pernah tampil dalam Piala Dunia U-20 di Jepang pada 1979. Tapi itu
lantaran kebetulan Irak dan Korea Utara serta Saudi Arabia mengundurkan diri.
Bambang Nurdiansyah dan Budhi Tanoto cs waktu itu tiga kali kalah dalam babak
penyisihan grup.
Di sini, kita
membicarakan pembinaan jangka panjang dan berjenjang. Jepang membutuhkan 25
tahun untuk membangun fondasi sepak bolanya. Bila prioritas diletakkan pada
usia muda, yang artinya termasuk kategori sepak bola amatir, kewenangan
pembinaan mutlak sepenuhnya berada di tangan Menteri Pemuda dan Olahraga,
sesuai dengan Undang-Undang Olahraga Nomor 3/2005.
Menpora bisa memutar
kompetisi-kompetisi antar-SSB (sekolah sepak bola), pelajar, remaja, dan
pemuda dari usia 12 sampai usia 19 tahun. Dengan bantuan Dinas Olahraga yang
tersebar di berbagai provinsi, tak terlalu sulit untuk menggerakkan kompetisi
ini, apalagi jika Kementerian Olahraga bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Kompetisi untuk usia
muda, dengan pemain yang energik dan bersemangat penuh, dengan permainan yang
(semoga) lebih bersih dari "pengaturan skor" dan pengaruh
"bandar judi", barangkali akan lebih menarik banyak orang untuk
datang memenuhi stadion. Semangat kompetisi antardaerah, yang dulu pernah
bergelora pada masa klub perserikatan berjaya, pada era 1980-an, agaknya akan
kembali mewarnai sepak bola kita. Lalu siapa bilang kompetisi seperti itu tak
akan mendatangkan keuntungan finansial lewat pembayaran tiket masuk, hak siar
televisi, atau sponsorship dari berbagai produk?
Sanksi FIFA mungkin
saja jatuh, tapi FIFA akan berpikir ratusan kali sebelum melakukannya.
Prestasi sepak bola Indonesia memang tak menarik di mata FIFA, tapi Indonesia
sebagai "konsumen" atawa "pasar" tentu luar biasa
atraktif. Setiap FIFA punya "gawe" besar, misalnya Piala Dunia,
Indonesia adalah pembeli setia hak siar televisi yang harganya ratusan
miliar.
FIFA-yang sangat
berorientasi bisnis-pasti paham bahwa puluhan juta orang Indonesia mengikuti
kegiatan organisasi itu lewat media online dan media sosial-"pasar"
masa depan yang menunggu saat untuk mendatangkan tambahan dolar. Kegilaan
orang Indonesia akan sepak bola merupakan aset yang siap dimonetisasi bagi
keuntungan FIFA. Memberi sanksi untuk Indonesia merupakan opsi terakhir bagi
FIFA.
Kalaupun sanksi FIFA
jatuh kepada PSSI, sebenarnya itu malah menjadi "momentum" bagus
bagi Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk menjalankan pembinaan sepak bola
usia muda. Kompetisi lokal kelompok umur tetap bisa dijalankan di dalam
negeri, dari Sabang sampai Merauke. Tidak perlu berpikir bertanding atau ikut
turnamen apa pun di luar negeri, tapi benar-benar memutar roda kompetisi
dengan maksimal. Dari sana, diharapkan tampil kembali anak-anak muda berbakat
yang akan menjadi pemain masa depan Indonesia-seperti saat negeri ini
melahirkan Ramang, Witarsa, atau Djamiat Dalhar.
PSSI selama ini
mendapat dana pembinaan olahraga nasional dari kas negara melalui Kementerian
Olahraga. Bila ingin "survive", PSSI mau-tak mau mesti mengikuti
program pembinaan yang dikembangkan Kementerian Olahraga. Rasanya, hanya
pengurus PSSI yang berdedikasi tinggi dan sadar akan pentingnya
"menanam" demi masa depan yang akan bertahan dalam organisasi
tersebut. Bila kompetisi sudah menunjukkan hasilnya, pengurus PSSI tak lagi
bertikai, atau mungkin ada asosiasi baru sepak bola Indonesia, setahun atau
dua tahun FIFA pasti membuka pintunya kembali.
Yang paling penting
sekarang, Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta Menteri Imam
Nahrawi mesti satu "bahasa" melihat kisruh sepak bola ini.
Prioritas mesti diletakkan pada pembenahan sepak bola kita secara menyeluruh,
bukan sekadar menyelamatkan PSSI dari "ancaman" sanksi FIFA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar