Menyelamatkan
Rohingya
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder
& Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 27 Mei 2015
Dalam satu minggu
terakhir kita dapat melihat perubahan politik yang positif dalam penanganan
kasus pengungsi yang terapung di tengah lautan. Perubahan ini signifikan
terutama dalam meredanya polemik antara apakah para pengungsi tersebut adalah
pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar atau kelompok masyarakat dari
Bangladesh yang mencari pekerjaan secara ilegal. Rasa khawatir tentang
kemungkinan aliran pengungsi yang menyusul datang apabila mereka diterima
mendarat untuk sementara dapat dikurangi seiring dengan tanggapan positif
dari Pemerintah Myanmar yang berjanji untuk lebih serius menangani masalah
pengungsi ini.
Negara-negara lain di
Asia Tenggara yang telah menandatangani Konvensi tentang Status Pengungsi
1951 seperti Timor Leste, Filipina, dan Thailand juga telah membuka tangan
untuk menerima para pengungsi tersebut.
Di tingkat
internasional, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menyerukan juga kepada
Pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan segera dalam menghentikan arus
keluar etnis Rohingya dari Myanmar.
Beberapa angkatan
perang seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat telah
membantu mencari para pengungsi lain yang masih berada di tengah laut dan
menunggu pertolongan. Walaupun terlambat karena ratusan pengungsi banyak yang
meninggal baik karena kondisi fisik yang lemah atau konflik antara pengungsi
itu sendiri, bantuan tersebut perlu diapresiasi.
Perubahan atmosfer
politik tersebut mungkin juga terkait dengan upaya diplomasi yang dilakukan
beberapa negara, termasuk Indonesia, kepada Pemerintah Myanmar. Pertemuan
antara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan mitranya Menteri Luar Negeri
Myanmar Maung Lwin pada beberapa hari lalu telah menyepakati empat hal
penting yang dapat dianggap sebagai sebuah langkah besar mengingat masalah
ini telah berpuluhpuluh tahun usianya.
Pertama, Pemerintah
Myanmar telah menyepakati upaya untuk mencegah arus irregular migrants dari
wilayah mereka. Kedua , Pemerintah Myanmar juga siap bergabung dengan
negara-negara lain di kawasan untuk memberantas kejahatan human trafficking .
Ketiga , Pemerintah Myanmar segera memerintahkan kedutaan besarnya untuk
melakukan kunjungan kekonsuleran ke tempat-tempat penampungan sementara para
irregular migrants yang saat ini berada di Aceh. Keempat , Pemerintah Myanmar
juga telah menyambut baik tawaran kerja sama Indonesia untuk pembangunan
Rakhine State secara inklusif dan nondiskriminatif.
Kesepakatan yang baik
dan pendekatan diplomasi ”Asia” yang mengedepankan kesantunan oleh
Kementerian Luar Negeri RI terhadap Myanmar mungkin adalah salah satu
variabel yang menentukan penyelesaian pengungsi Rohingya lebih lanjut. Kita
dapat bandingkan misalnya pendekatan Wakil Menteri Luar Negeri AS Antony J
Blinken yang bicara pada hari yang sama dengan pihak RI di mana AS justru
mengedepankan isu hak-hak sipil politik, demokrasi, dan HAM lebih dulu
ketimbang bicara tentang kerja sama yang mungkin dapat dilakukan oleh kedua
negara. Saya tidak mengatakan bahwa isu tersebut tidak relevan, tetapi dalam
konteks negara-negara Asia Tenggara, hal tersebut sangat sensitif terutama
apabila prioritas utama kita adalah menyelamatkan para pengungsi yang masih
ada di laut dan mereka yang mungkin masih akan keluar dari wilayah Myanmar.
Sebagian besar
pendekatan untuk masalah Rohingya yang muncul dari negara-negara maju seperti
Amerika Serikat atau Eropa terlebih dahulu menilai bahwa Pemerintah Myanmar
gagal atau tidak memiliki niat baik dalam menangani masalah pengungsi. Hal
ini membuat Pemerintah Myanmar merasa terpojok, tidak dihargai, dan kemudian
berlaku defensif terhadap segala tekanan.
Pendekatan dan
penyelesaian yang dapat diterima dengan baik oleh Pemerintah Myanmar adalah
kunci dari penyelesaian masalah pengungsi Rohingya. Masalah tersebut tidak
dapat diselesaikan apabila Pemerintah Myanmar menganggap solusi atau jalan
keluar yang ditawarkan oleh negara-negara di kawasan sebagai sebuah campur
tangan atau intervensi terhadap politik di dalam negerinya. Salah satu contoh
adalah menghindarkan penggunaan kata Rohingya dalam diplomasi seperti yang
dilakukan Indonesia.
Pemilihan kata
tersebut akan menimbulkan reaksi negatif yang keras dari Pemerintah Myanmar
dan justru tidak akan produktif dalam diplomasi terutama ketika prioritas
kita adalah menyelamatkan nyawa pengungsi di lautan. Hal ini terjadi ketika
Pemerintah Malaysia mengundang Pemerintah Myanmar ke pertemuan tiga negara
(Malaysia, Indonesia, dan Thailand) dan secara spesifik menyatakan akan
membahas masalah pengungsi Rohingya. Pemerintah Myanmar menolak datang karena
penggunaan kata Rohingya dalam pertemuan internasional akan menimbulkan
gelombang protes di dalam negeri yang mungkin akan membuat pemerintahan tidak
stabil.
Hal teknis dan detail
seperti itu menjadi pelajaran untuk Pemerintah Thailand yang juga akan
menggelar pertemuan dan membahas masalah Rohingya pada tanggal 29 Mei nanti
di Bangkok. Pertemuan itu akan diselenggarakan di bawah judul ”Special
Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean ”.
Contoh di atas
menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi tidak dapat selalu sama dalam setiap
keadaan. Kita perlu melihat apa yang menjadi prioritas. Walaupun niat kita
baik, apabila dijalankan tidak dengan pengetahuan yang mendalam tentang
negara yang menjadi mitra, usaha itu tidak akan berjalan baik.
Tekanan kepada
pemerintahan Myanmar memang harus terus dilakukan terutama dari masyarakat
dan organisasi sipil yang tidak terikat oleh protokol.
Tekanan tersebut dapat
melengkapi pendekatan-pendekatan lain yang tengah dilakukan. Namun kita juga
mesti mengukur sejauh mana tekanan itu akan merugikan atau menguntungkan
subjek yang menjadi perhatian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar