Kemewahan
Pendidikan di Negeri Seribu Danau
Qaimah Umar ; Guru SDN Harapan Baru IV Bekasi
|
MEDIA INDONESIA, 25 Mei 2015
MUNGKIN tak banyak guru yang
seberuntung saya bisa melihat langsung kondisi sekolah dan suasana belajar
yang berlangsung di Finlandia. Sebagai negara dengan skor PISA yang
meyakinkan dalam lima tahun terakhir, pendidikan di Finlandia bisa dibilang
mengagumkan setidaknya karena tiga hal.
Pertama, kemauan politik
pemerintah yang kuat untuk mengevaluasi dan mengubah sistem pengajaran yang
berlangsung di sekolah. Kedua, memberi kepercayaan guru untuk melaksanakan
kurikulum pemerintah berdasarkan situasi dan kondisi lingkungan sekolah.
Ketiga, memberikan insentif yang tinggi terhadap guru dengan catatan guru
tersebut benar-benar dicintai dan disukai para siswanya.
Jika kita merujuk pada kata
sistem yang berasal dari bahasa Yunani systema, secara umum pengertiannya
ialah `cara atau strategi', sedangkan dalam bahasa Inggris, system juga
berarti susunan, jaringan dan juga cara tentang bagaimana suatu strategi atau
cara berpikir sebaiknya dilakukan. Jika dihubungkan dengan kata pendidikan
(Yunani pedagogi; paid dan agogos) yang berarti membimbing,
sistem
pendidikan bisa dikatakan sebagai sebuah strategi dan cara yang dilakukan
secara sadar dan terencana, untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana
belajar yang menyenangkan.
Dari pengamatan sederhana yang
saya temukan di beberapa sekolah Finlandia, yakni kemampuan guru sangat
sejalan dengan keinginan pemerintah dalam menjabarkan sebuah proses belajar
mengajar. Karena itu, tidak mengherankan jika sistem pendidikan di Finlandia
sangat berbeda dengan Indonesia, terutama dari perspektif delivery pengajaran. Hampir semua guru
mau dan patuh mengikuti aturan pemerintah yang ditetapkan dan dievaluasi
setiap empat tahun sekali, tetapi dengan masa uji coba yang cukup panjang
jika terjadi sebuah rencana perubahan dalam sistem pendidikannya.
Meskipun tidak adil rasanya
membandingkan Indonesia dengan Finlandia, beberapa yang kentara dari aspek
kebijakan pendidikan yang sangat sederhana sesungguhnya bisa ditiru dan
dilaksanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita.
Misalnya saja, untuk tiap bayi
yang lahir kepada keluarganya diberi maternity
package yang berisi tiga buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu
sendiri.
Alasannya sederhana, bahwa pendidikan
anak usia dini ialah tahapan kritis yang tidak boleh hilang begitu saja dari
pantauan para orangtua. Mungkin inilah alasannya, mengapa Kemendikbud
beberapa waktu lalu menyodorkan untuk membentuk pejabat setingkat dirjen yang
mengurusi hal-ihwal keayahbundaan.
Kemudian, kegemaran membaca
aktif didorong sedemikian rupa dalam konteks sekolah. Negeri Seribu Danau
ini, julukan untuk Finlandia, menerbitkan lebih banyak buku anak-anak
daripada negeri mana pun di dunia. Guru diberi kebebasan melaksanakan
kurikulum pemerintah, bebas memilih metode dan buku teks.
Setiap buku, terutama buku-buku daras untuk pendidikan dasar, gambar lebih
banyak dari kata-kata atau kalimat. Karangan hanya dengan gambar daya kritis
berpikir anak akan tumbuh dan berkembang, sehingga terbiasa dalam
menganalisis situasi berdasarkan pemahamannya.
Selain itu, proses belajar
mengajar di sekolah berlangsung rileks dan saat masuk kelas, siswa harus
melepas sepatu, hanya berkaus kaki. Belajar aktif diterapkan guru yang
semuanya tamatan S-2 lulusan universitas yang juga memiliki program yang
mumpuni dalam mencetak guru-guru berkualitas. Itulah mengapa orang Finlandia
merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur.
Paradoks
Dari beberapa gambaran tadi,
pada akhirnya saya berkesimpulan, bahwa suatu skema sistem bisa berjalan
dengan baik dan mudah jika ada kemauan politik dari pemerintah. Dalam konteks
Indonesia, kemauan politik (political
will) bukan hanya dibutuhkan dari pemerintah, melainkan juga dari para
anggota legislatif kita yang terkadang kurang peka dan peduli dengan agenda
sistem pendidikan nasional.
Sebut saja misalnya ujian nasional
(UN). Pemerintah Finlandia, jika ingin saya katakan secara ekstrem, sangat tidak
menggemari pola ujian nasional buat anak-anak di sekolah mereka. Frekuensi
tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah menjadi semacam
matrikulasi untuk masuk ke perguruan tinggi. Bahkan, yang lebih ekstrem lagi,
hampir tidak ada guru yang memiliki kegemaran memberikan pekerjaan rumah (home work) bagi para siswa mereka,
karena hanya akan menambah beban psikologis anak untuk berkembang secara
baik.
Di Finlandia, kemandirian dalam
mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh guru-gurunya
yang begitu dihormati, tetapi juga ditularkan kepada para siswa melalui
berbagai kesempatan-kesempatan penting.
Salah satunya, yakni setiap
pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal ujiannya untuk mata pelajaran
yang menurutnya sudah dia kuasai. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar guru
dan siswa menikmati proses belajar yang joyful
dan menyenangkan.
Kini, Finlandia menikmati kemewahan
sebagai negara paling kompetitif di dunia. Singapura dan Inggris nyatanya
ikut mengadopsi beberapa cara dan strategi pengajaran dan pembelajaran yang
diberlakukan oleh Finlandia. Dari sebelumnya negeri agraris yang tak
terkenal, kini Finlandia maju di bidang teknologi. Produk HP Nokia, misalnya,
merajai pasar telepon seluler di dunia. Itulah keajaiban pendidikan Finlandia
yang menekankan pada aspek kreativitas dan semangat menumbuhkan rasa ingin
tahu siswa. Dalam pemahaman para guru di Finlandia, kreativitas dan rasa
ingin tahu ialah semacam saudara kembar atau bisa juga sepupu, yang jika
ditiadakan dalam sebuah proses belajar mengajar, pastilah akan terjadi banyak
masalah.
Paradoks lain yang juga penting
untuk saya kemukakan ialah tidak adanya posisi pengawas sekolah (school supervisor) yang menurut
mereka, malah akan membebani posisi sekolah. Pengawasan sekolah dalam sistem
pendidikan mereka dilakukan dua pemangku kepentingan (stakeholders), yaitu untuk tanggung jawab akademis, diserahkan
kepada kepala sekolah dan universitas, sedangkan untuk persoalan relasi
dikembalikan kepada masyarakat, untuk menilai apakah sebuah sekolah tersebut
baik atau tidak. Dalam konteks pendidikan di Tanah Air, tugas pengawas memang
terasa tak jelas karena selain keterampilan, para pengawas kita sangat kurang
dalam masa lah pedagogis. Tidak jarang para pengawas hanya menjadi semacam watchdog yang siap memarahi guru jika
melakukan kesalahan administratif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar