RS,
Dokter, dan BPJS Kesehatan
Fachmy Idris ; Mantan Ketua Umum IDI
|
KOMPAS, 30 Mei 2015
Artikel Lutfhie Hakim
(Kompas, 13 Mei 2013) berjudul "Kewajiban Kerja Sama BPJS-Rumah Sakit
Swasta" perlu diklarifikasi. Dalam artikelnya, Lutfhie menyebutkan bahwa
pernyataan Presiden bahwa rumah sakit harus dipaksa bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan adalah salah. "Sepertinya
Presiden kurang memperoleh informasi yang
benar tentang bagaimana kerja sama rumah sakit swasta dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," ujar Lutfhi.
Kebetulan penulis tahu
persis ceritanya. Pernyataan Presiden bermula dari tanya jawab dengan buruh
perkapalan saat penyerahan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Seorang penerima KIS
mengeluh tentang pelayanan kesehatan. Ada temannya dalam keadaan gawat
darurat ditolak rumah sakit (RS) swasta. Diduga latar belakangnya karena
status pasien adalah peserta BPJS Kesehatan.
Tentu Presiden kaget.
Respons spontan Presiden sangat jelas. Beliau menyatakan akan memberi sanksi
bagi RS yang menolak pasien emergensi. Di sini, Presiden jelas tidak salah.
Dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan: "Pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau
pekerjaan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam
keadaan gawat darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (2) atau Pasal
85 Ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus
juta rupiah)...".
UU ini berlaku 2009.
Sementara BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 2014. Ini artinya, jauh
sebelum ada BPJS Kesehatan, RS wajib memberikan pertolongan pada pasien
emergensi.
Agak aneh apabila
kemudian dunia perumahsakitan, khususnya komunitas kedokteran, memberikan
respons berlebihan. Terkesan ada "pemidanaan baru" di era BPJS
Kesehatan. Mestinya, RS sangat
diuntungkan. Sebelum ada BPJS Kesehatan, posisi RS lebih berat. Ada kewajiban
melayani pasien emergensi, tetapi tak ada kepastian apakah pasien atau
keluarganya mampu bayar atau tidak. Kondisi ini cenderung menyebabkan sebelum
pasien ditolong, diminta deposit sejumlah uang. Apabila uang tidak ada,
pasien cenderung ditolak atau "dirujuk" ke RS lain. Ini berbahaya.
Bisa saja saat dirujuk, nyawa pasien melayang di jalan.
Mengapa RS
diuntungkan? Di dalam Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan
disebutkan, "Pelayanan Fasilitas Kesehatan yang tidak menjalin kerja
sama dengan BPJS-K dibayar dengan penggantian biaya; dan biaya dimaksud
ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS-K setara dengan
tarif yang berlaku di wilayah tersebut.".
Memang, apa yang
ditulis Luthfie tidak seluruhnya salah. Betul bahwa menurut Perpres Jaminan
Kesehatan, ".Fasilitas Kesehatan milik swasta yang memenuhi persyaratan
dapat menjalin kerja sama dengan BPJS-K.". Namun, di dalam UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional sebagai rujukan Perpres No 12/2013 tidak disebutkan istilah
"dapat bekerja sama".
Artinya, kosakata "dapat bekerja sama" ini adalah
terminologi Perpres No 12/2013.
Presiden Jokowi
memiliki kewenangan merevisi perpres ini, dari terminologi "dapat
bekerja sama" menjadi "wajib
bekerja sama". Sekali lagi, Presiden Jokowi tidak salah, kalau suatu
saat mewajibkan RS bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Pemidanaan dokter
Pernyataan Presiden
juga menjadi bahasan di media sosial,
khususnya oleh dokter yang merasa terusik dengan ancaman sanksi
dimaksud. Penulis jadi teringat ucapan Profesor Sjamsu Hidayat, Guru Besar FK
UI, yang pernah menyatakan: jadi dokter adalah pilihan, sebagaimana juga
menjadi tentara sebagai pilihan. Artinya, risiko dalam tiap pekerjaan
sesungguhnya sudah diketahui dari awal saat memilih profesi. Risiko jadi
tentara adalah peluru. Profesi lain juga begitu. Namun, sejauh mengerjakan
semua itu secara profesional, risiko atas pekerjaan profesionalnya pasti akan
terhindari.
Menolong pasien dalam
keadaan emergensi bagian dari implementasi sumpah dan etika kedokteran.
Selama mengerjakan dengan benar, berdasarkan standar profesi, tak perlu ada
kekhawatiran atas pemidanaan dimaksud. Praktisi hukum tahu, praktik
kedokteran tak dapat dituntut pada hasil akhir dari pekerjaan kedokteran, tetapi
pada benar-tidaknya upaya yang dilakukan dokter.
Dengan demikian, tidak
ada alasan dokter khawatir untuk menangani pasien gawat darurat. Jika semua
prosedur dikerjakan dengan baik, dokter pasti akan terhindar dari delik
pidana.
Berbeda dengan sanksi pidana
yang dengan sengaja tidak mau menangani pasien emergensi. Selain melanggar
UU, juga ketidakmauan ini diyakini semangatnya tidak sejalan dengan tujuan
seseorang saat memilih berprofesi menjadi dokter, yaitu to serve humanity; sebuah tujuan suci (noble obligation) sebagaimana yang tertulis dalam mukadimah
Organisasi Kedokteran Dunia (World
Medical Association). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar