Pencari
Suaka dan Martabat Bangsa
Ahyudin ; Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT)
|
REPUBLIKA, 21 Mei 2015
Apa yang menjadikan
bangsa besar? Sama sekali bukan kedigdayaan ekonomi apalagi militernya. Bukan
bersebab kehebatannya menaklukkan bangsa lain. Kenangan kebesaran atas sebuah
bangsa, melalui leadership bangsa, ada pada kapasitasnya mengelola
kemanusiaan.
Kemanusiaan, sebuah
platform lintas bangsa, mondial, universal. Siapa atau bangsa apa hebat
mengelola kemanusiaan, membantu bangsa lain, dialah bangsa besar. Peluang itu
sedang terhidang di halaman Tanah Air kita.
Aceh pascatsunami
adalah 'pesta kemanusiaan' yang menempatkan Indonesia ajang kerja
penyelamatan jiwa manusia. Filantropi dunia unjuk kebaikan di tengah krisis
kemanusiaan ini. Yakinlah, itu bukan kebetulan. Bangsa ini sedang ditatar
menjadi bangsa besar: latihan mengelola elemen-elemen lintas bangsa dalam
urusan kemanusiaan. Bangsa lain berbondong-bondong menolong pemulihan Aceh
(dan Nias) pascatsunami.
Ini 'buah' kebaikan
Indonesia berkali-kali mengirim pasukan perdamaian (Kontingen Garuda)
bertahun silam. Misi memulihkan kedamaian tak boleh hilang dari bangsa ini,
kalau keberkahan ingin terus mengalir bagi negeri ini. Lalu, pekan ini medio
Mei, setelah berlalu 'Hari Pendidikan Nasional' dan 'Hari Kebangkitan
Nasional', beratus pencari suaka muncul di pantai Aceh Utara.
Mereka mencoba
peruntungan hidup, sebagian sempat bekerja di Malaysia, lalu berbekal
tabungannya, kembali ke Myanmar menjemput keluarganya. Malang tak dapat ditolak,
mereka terdampar setelah kehabisan bahan bakar dan pangan ke perairan
Indonesia. Bukan kebetulan. Ini 'utusan langit' menguji bangsa kita: akankah
bangsa ini ditinggikan martabatnya sebagaimana martabat bangsa-bangsa lain
yang dengan ikhlas dan sadar bersemangat menyelamatkan kehidupan, menolong
manusia-manusia lain yang teraniaya; ataukah menjatuhkan derajat kebangsaan
kita dengan membiarkan kematian melenyapkan umat manusia lainnya?
Saya bersyukur,
Kementerian Luar Negeri RI segera membantah kabar bahwa Indonesia menghalau
pencari suaka kembali ke laut lepas. Pasti, Indonesia tidak sezalim itu. Kita
bangsa yang pernah sengsara dan ditolong bangsa lain, baik sebelum merdeka
maupun ketika sudah menjadi NKRI.
Balas budi kita tidak
cukup hanya untuk negara-negara terkait, negara-negara penolong, tapi harus
lebih dari itu: kepada kehidupan. Kita tak ingin model pertolongan yang
transaksional, equal, pas banderol. Karena kita bangsa besar, kita layak
melakukan lebih; lakukan lebih dari yang biasa. Menolong, dengan
sesungguh-sungguh pertolongan. Kita tidak menolong sebatas fatsun bangsa di
kawasan yang sama. Kita tidak menolong sebatas etik dan kepatutan.
Pada diri pencari
suaka, kaum yang teraniaya, lemah tanpa daya, ada kekuatan perubahan. Dalam
perspektif Muslim, perubahan (kebaikan) terjadi bersama mereka yang paling
lemah. Membantu yang teraniaya sama dengan menghadirkan kekuatan Yang
Mahabesar. Modal hebat mendongkrak martabat bangsa, menolong bangsa/etnis
lain yang terlemah.
Mengapa kalau PBB
menyebut Rohingya etnis paling sengsara di dunia, tak banyak pemerintah atau
bangsa-bangsa di dunia mengajukan diri menjadi penolongnya? Apakah karena
faktor Myanmar "saudara se-ASEAN" kita?
Kalau benar makna
persaudaraan itu dihayati, saudara yang keliru harus diselamatkan dengan
diingatkan. Kalau tidak, kita membiarkan saudara kita selamanya dalam
kesalahan. Kesalahan yang ini, Myanmar gagal menunjukkan iktikadnya
memelihara kehidupan. Mengusir Rohingya entah ke mana, membiarkan Rohingya
menemui ajal perlahan, lebih kejam dari perang cepat yang segera mematikan.
Beratus bahkan beribu Rohingya, mati di laut perlahan karena lapar, sakit
atau terempas badai.
Martabat Indonesia
cemerlang ketika banyak jiwa bangsa lain yang hadir di halaman rumah kita
dalam kondisi tak berdaya, kita selamatkan. Tampilan fisiknya, sudah mirip,
agamanya pun sama dengan mayoritas Indonesia, kalaupun tidak, mereka pun
sama: manusia seperti kita.
Kita juga punya Tanah
Air yang luas, yang memungkinkan untuk menjadi lahan penghidupan manusia di
atasnya. Rohingya (pun sebagian pencari suaka Bangladesh), orang-orang yang
bersedia bekerja demi hidup. Mereka pejuang kehidupan, yang kalau kita beri
kesempatan, bukan mustahil, bangsa Indonesia memiliki alasan hebat untuk
memohon keamanan dan kemakmuran bagi negerinya, ketimbang kalau kita
mengabaikan pencari suaka itu.
Menutup tulisan ini,
sepenggal catatan saat menengok pencari suaka Rohingya dan Bangladesh ini di
Aceh Utara. Hanya ada sedikit yang bisa bicara Melayu, lebih sedikit lagi
bahasa Inggris. Satu di antaranya, Thanbe Ahmed (20 tahun).
Ia mengaku pencari
suaka dari Bangladesh. Semula ia berpikir mau ke Malaysia. Itu karena ia
punya cerita, banyak yang selamat dan membangun kehidupan baru di sana. Ia
belum kenal Indonesia. Ia dengar, pencari suaka di Indonesia tak bisa
menetap. "Tapi, pikiran saya berubah. Indonesia is good country. Kami
disambut orang Indonesia, orang Aceh. Kami merasa aman," ungkapnya.
Baru beberapa saat di
Aceh, ia sudah merasakan kehangatan bangsa Indonesia. Kebaikan Aceh adalah
kebaikan Indonesia. Aceh mewakili Indonesia menjadi etalase kemanusiaan
dunia. Penyambut pencari suaka itu, orang-orang biasa, nelayan, petambak,
pedagang kecil, atau petani. Bahkan, siswa-siswi dan mahasiswa menunjukkan
kehangatannya.
Kata Rozy, relawan
lokal warga Lhoksukon, biasanya pukul 21.00 jalanan di Desa Kuala
Cangkui—menuju area tempat pelelangan ikan, di mana pencari suaka
dipusatkan—sudah sunyi. "Tapi hari ini, pukul sepuluh malam saja masih
banyak yang datang. Semua bukan cuma mau melihat-lihat. Tak ada yang datang
tangan kosong. Minimal mereka berbagi uang," ungkap Rozy yang
menyaksikan fenomena serupa sejak pencari suaka itu ditampung di GOR
Lhoksukon.
Selain badan-badan
dunia, seperti UNHCR dan IOM, media nasional maupun internasional, badan
lokal, seperti Dinas Sosial Aceh dengan Tagana, PMI Aceh, beberapa pejabat
lokal dengan pakaian tak resmi, dan entah apalagi yang serbaremang-remang
karena penerangan masih terbatas malam itu, menunjukkan kemanusiaannya.
Sesaat saya merasa, kita terus menanjak menuju bangsa bermartabat karena
memuliakan manusia dengan menyelamatkan kehidupan.
Saya makin yakin,
pencari suaka itu akan kita persaudarakan dengan bangsa kita. Kita takkan
pernah sengsara dengan menolong sesama manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar