Babak
Baru Pemberantasan Korupsi
M Fajar Marta ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 28 Mei 2015
Entah disengaja atau
tidak, peta pemberantasan korupsi tengah memasuki babak baru. Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi yang sebelumnya begitu dominan kini menurun.
Sebaliknya, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara RI yang sebelumnya relatif
landai, mulai unjuk gigi dengan semakin gencar mengungkap kasus korupsi.
Tak dimungkiri, tahun
ini mulai terjadi pergeseran dominasi pemberantasan korupsi di antara penegak
hukum, yakni KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri.
Melemahnya KPK tentu
sangat beralasan. Langkah Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto menetapkan calon Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai
tersangka korupsi pada Selasa (13/1) siang kembali memantik konflik dengan
Polri. Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri langsung menjerat Ketua KPK
Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka dalam
dua kasus pidana terpisah.
Abraham dijerat kasus
pemalsuan dokumen administrasi, sementara Bambang dengan kasus mengarahkan
kesaksian palsu dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin
Barat, Kalimantan Tengah. Dua kasus yang terjadi jauh sebelum keduanya
menjadi pimpinan KPK.
Tak berhenti di situ,
penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga dijadikan tersangka atas peristiwa
yang terjadi 11 tahun silam ketika dia menjabat Kepala Satuan Reserse
Kriminal Polres Bengkulu. Abraham dan Bambang pun dinonaktifkan dari jabatan
mereka. Presiden Joko Widodo melantik Taufiequrachman Ruki sebagai Pelaksana
Tugas Ketua KPK serta Indrianto Seno Adji dan Johan Budi SP sebagai Plt Wakil
Ketua KPK.
Di sisi lain, KPK juga
disibukkan oleh maraknya gugatan praperadilan yang diajukan sejumlah pihak
yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Situasi bertambah rumit karena
Mahkamah Konstitusi juga memberikan kewenangan lembaga praperadilan untuk
menguji keabsahan penetapan tersangka. Kini, hampir setiap pekan digelar
sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sejauh ini, sudah tiga
tersangka KPK yang permohonan praperadilannya dikabulkan, yakni Komjen Budi
Gunawan; mantan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ilham Arief Sirajuddin;
dan mantan Direktur Jenderal Pajak yang juga mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
Hadi Poernomo. Hasil sidang itu membuat status tersangka ketiganya gugur.
Kinerja berbalik
Rentetan peristiwa
tersebut membuat KPK seolah kehilangan kegarangannya. Produktivitas KPK
menyidik kasus korupsi pun anjlok. Berdasarkan data KPK, jumlah kasus yang
disidik KPK selama triwulan I-2015 hanya 10 kasus. Padahal, KPK mampu
menyidik 58 kasus pada 2014 atau hampir 15 kasus per triwulan. Pada 2013,
jumlah kasus yang disidik mencapai 70 kasus, 17 kasus lebih per triwulan.
Sebaliknya, dilihat
dari kuantitas kasus korupsi yang disidik, kinerja Kejaksaan Agung justru
meningkat signifikan. Dalam konteks ini, yang dilihat hanyalah kasus korupsi
yang disidik langsung oleh Kejaksaan Agung, bukan kejaksaan negeri atau
kejaksaan tinggi.
Hal ini tidak terlepas
dari langkah Jaksa Agung HM Prasetyo membentuk Satuan Tugas Khusus
(Satgassus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3TPK)
Kejagung awal 2015.
Satgassus berisi 100
jaksa yang merupakan hasil seleksi dari seluruh Indonesia. Sebanyak 75 jaksa
ditempatkan sebagai penyidik, 21 jaksa sebagai penuntut umum, dan 4 jaksa
sebagai eksekutor. Jumlah personel Satgassus hampir setara dengan KPK yang
memiliki 75 penyidik dan 47 penuntut umum.
Tiga bulan dibentuk,
menurut Prasetyo, Satgassus menyidik 112 kasus korupsi. Sebanyak 88 kasus
merupakan kelanjutan hasil penyelidikan 2014 dan 24 kasus merupakan perkara
baru. Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan sebelum Satgassus
dibentuk.
Pada 2013, misalnya,
total perkara korupsi yang disidik Kejaksaan Agung hanya 85 kasus. Sementara
pada 2012, jumlah perkara yang disidik juga hanya 85 kasus.
Bareskrim Polri pun
tak mau ketinggalan. Beberapa kasus yang menyita perhatian publik sedang
ditangani polisi tahun ini. Kasus-kasus tersebut antara lain dugaan korupsi
pengadaan uninterruptible power supply
(UPS) di Provinsi DKI Jakarta; kasus penjualan kondensat jatah negara yang
melibatkan SKK Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI);
kasus proyek pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api di Gedebage, Jawa
Barat; dan kasus implementasi payment gateway di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia tahun 2014.
Lebih berani
Lonjakan kinerja
penanganan kasus korupsi yang ditunjukkan Kejaksaan Agung dan Polri jelas
membawa harapan baru. Pasalnya, Kejagung dan Polri itulah yang sejatinya
menjadi motor pemberantasan korupsi. Kelahiran KPK pada 2003 justru dipicu
ketidakmampuan kejaksaan dan kepolisian memberantas praktik korupsi sampai ke
akarnya.
Namun, kejaksaan dan
kepolisan jangan dulu menepuk dada karena mulai mengimbangi KPK. Apalagi jika
kinerja itu sekadar untuk menunjukkan mereka bisa melakukan apa yang
dikerjakan KPK selama ini sehingga keberadaan lembaga anti rasuah ini tidak
diperlukan lagi.
Bagaimanapun, apa yang
dilakukan kejaksaan dan kepolisian saat ini belum teruji dan belum menyentuh
esensi pemberantasan korupsi yang sesungguhnya. Kasus korupsi yang ditangani
Satgassus Kejagung antara lain kasus bantuan sosial dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Cirebon, Jawa Barat, dengan kerugian negara Rp 1,8
miliar; korupsi alat kontrasepsi di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional dengan jumlah kerugian negara Rp 4,4 miliar; korupsi pengadaan alat
kesehatan dan obat-obatan di RSUD Raden Mattaher, Jambi; proyek pengadaan
program siap siar di TVRI pusat; dan kasus kredit fiktif Bank BNI Cabang
Parepare, Sulawesi Selatan.
Kini, publik menanti
sejauh mana kejaksaan dan kepolisian mengungkap kasus-kasus korupsi bernilai
besar. Jaksa dan polisi harus lebih berani dari KPK dalam menyeret koruptor
kelas kakap ke penjara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar