Muhammadiyah
Berpolitik
Hajriyanto Y Thohari ; Kader Muhammadiyah, Mantan Wakil Ketua MPR
|
REPUBLIKA, 07 Mei 2015
Apakah
Muhammadiyah berpolitik? Pasti! Tetapi, tentu saja, berpolitiknya
Muhammadiyah berbeda dengan berpolitiknya partai politik. Sebagaimana diatur
dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah; Kepribadian Muhammadiyah; Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah; Khittah Perjuangan Muhammadiyah;
Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; dan Pedoman Hidup Islami
Warga Muhammadiyah, serta Keputusan-Keputusan Muktamar dan Tanwir-nya,
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah, dan amar ma’ruf nahiy munkar yang bersifat nonpolitik.
Muhammadiyah
bukan parpol dan tidak berafiliasi dengan parpol manapun. Lantas bagaimana
berpolitiknya Muhammadiyah selama ini?
Dr
Alfian dalam Islamic Modernism in
Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial
Period 1912-1942 (1989) menemukan bahwa karena Muhammadiyah merupakan
gerakan nonpolitik, keterlibatannya berbeda dengan organisasi lain yang
menjadikan politik sebagai profesinya. Sebagai organisasi nonpolitik,
Muhammadiyah bila dimungkinkan berupaya memainkan peran politik tidak secara
langsung dan terbuka, seperti misalnya dulu menyerahkannya pada SI, PII
(Partai Islam Indonesia), Masyumi, dan Parmusi, sesuai situasi politik
nasional. Tipe-tipe logika situasional inilah yang menentukan modus operandi
dan modus vivendi politik Muhammadiyah.
Hanya
saja, sebagai kelompok kepentingan dengan tujuan keagamaan dan sosialnya,
Muhammadiyah memperlihatkan melalui berbagai cara yang terkadang secara
langsung dan terbuka terlibat politik. Karena itu, Muhammadiyah selama ini
tampak memiliki peranan ketiga sebagai salah satu kekuatan politik yang
diperhitungkan setiap penguasa yang datang silih berganti.
Mungkin
baru akhir-akhir ini saja terutama setelah satu dasawarsa reformasi,
Muhammadiyah terpuruk dalam politik di negeri ini. Apalagi jika politik
didefinisikan secara definitif dengan kekuasaan. Dalam definisi yang sempit
ini "matahari terbit memang sedang tenggelam" dalam jagat
perpolitikan nasional mutaakhir.
Tak
mengherankan jika bukan hanya orang Muhammadiyah yang masygul menyaksikan
fenomena tidak diakomodasinya Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Presiden
Jokowi-JK, melainkan juga beberapa aktivis dan Indonesianis ikut
bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi?
Diyakini
semua pihak bahwa Muhammadiyah adalah salah satu pilar dan jangkar NKRI.
Akomodasi politik bagi kekuatan Islam modernis dan moderat ini dianggap
konvensi atau keniscayaan politik. Tetapi, alih-alih diakomodasi,
Muhammadiyah malah dinafikan. Dan ini baru pertama kali terjadi sepanjang
sejarah perpolitikan negeri ini.
Meski
belakangan disyukuri, banyak analisis untuk menjelaskan fenomena pengabaian
Muhammadiyah yang notabene keluar dari kelaziman tradisi politik Indonesia
itu. Dua tokoh cendekiawan muda Muhammadiyah yang sejak awal di lingkaran
pertama pasangan capres yang memenangi Pilpres 2014, salah seorang di
antaranya tetap setia di sana, dengan penuh bahagia memberikan analisis
terperinci dalam enam poin yang kesemuanya sangat masuk akal.
Tetapi
intinya, menurut saya, di atas segalanya, wajah politik Muhammadiyah masih
diwakili sepenuhnya oleh Prof Amien Rais (dengan PAN-nya). Dan semua orang
tahu tokoh ini berada di mana dalam Pilpres 2014.
Maka,
lihat saja, meski ada banyak tokoh kelas satu Muhammadiyah yang mendukung capres
Jokowi-JK, termasuk Buya Syafii Maarif dan Sutrisno Bachir, bahkan ada di
antaranya menjadi tim sukses, tetapi kontribusi politik mereka tidak
mendapatkan konsesi politik di kabinet. Mungkin karena dukungan politik itu
terlalu individual, lugu, dan ikhlas-ikhlasan saja, atau juga fatsun politik
di negeri ini sudah berubah di luar kelaziman.
Walhasil,
keberadaan tokoh berpengaruh Muhammadiyah, termasuk Relawan Matahari
Indonesia (RMI), di sisi politik sebelah sana hanya dianggap bunga-bunga.
Secara politik mereka ini dianggap tidak bisa mengimbangi dominasi political
leverage dan political magnitude ketokohan Prof Amien Rais yang di
belakangnya ada gerbong parpol.
Dalam
konteks dan perspektif ini maka nyata sekali—suka atau tidak—parpol telah
menjadi wahana yang bukan hanya sangat instrumental tapi menentukan
perpolitikan nasional saat ini. Berdasarkan pengalaman politik terakhir ini,
saya sampai pada kesimpulan Muhammadiyah perlu "memiliki" parpol.
Saya sengaja mencantumkan tanda kutip sebab pengertian "memiliki"
ini harus dielaborasi dan dirumuskan lebih lanjut.
Bagi
Muhammadiyah memiliki parpol bukannya tanpa preseden, apalagi ahistoris.
Muhammadiyah pernah "memiliki" Masyumi dalam modus anggota istimewa
(secara institusional), PII (secara organisasional), Parmusi (secara
eksponensial), Sekber Golkar (secara eksponensial), dan PAN—dengan segala
romantika dan problematikanya. Bagaimana format "memiliki"-nya dan
bagaimana "hubungan" Muhammadiyah dengan partai politik ini adalah
termasuk krusial yang harus dipikirkan mendalam dan sungguh-sungguh. Pasti
upaya pencarian rumusan ini tidak mudah, tapi bukannya tidak bisa.
Muhammadiyah
mempunyai banyak pengalaman panjang yang dapat dijadikan preseden dan
inspirasi bagaimana berpolitik secara kontekstual. Muhammadiyah harus
mengkaji manfaat dan mudaratnya "memiliki" parpol. Ijtihad politik
di masa lalu terbuka untuk dievaluasi dan direformulasikan kembali sesuai
konteks dan logika situasi yang menyertainya.
Sebagai
contoh, Tanwir Tahun 1955 Muhammadiyah mengevaluasi keterlibatannya secara
institusional dalam Masyumi sebagai anggota istimewa karena dirasa merugikan
dakwah yang menjadi misi utamanya. Padahal, bagi Muhammadiyah, politik itu
meski penting hanyalah faktor komplementer.
Maka
dari itu, sidang tanwir (1939) memandang wadah politik tersebut harus berada
di luar struktur kelembagaan Muhammadiyah. Secara terperinci, rumusannya
adalah bagi Muhammadiyah (1) politik itu penting, tetapi (2) tidak menjadi
bidang garapan Muhammadiyah.
Jika
Muhammadiyah ingin berjuang di bidang politik maka (3) harus dibuat wadah
tersendiri yang (4) berada di luar struktur yang (5) tidak berhubungan secara
organisasional dengan Muhammadiyah, tetapi (6) keduanya—Muhammadiyah dan
parpol "milik"-nya itu—harus bisa bekerja sama secara simbiosis
mutualisme untuk dakwah. Dan last but not least, (7) dalam mengembangkan
parpol ini harus bekerja sama dengan kekuatan bangsa dan umat Islam lainnya.
Mengapa
wadah politik itu mesti di luar Muhammadiyah yang tidak berhubungan secara
institusional? Jawabnya karena Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, bukan
organisasi politik, bahkan tidak memiliki afiliasi dengan—dan sampai kapan
pun tidak akan menjadi—parpol. Tetapi, sangat meyakinkan bahwa untuk
mewujudkan cetak biru berdasarkan pandangan dunianya, Muhammadiyah memerlukan
bukan hanya strategi kebudayaan, melainkan juga politik.
Bagaimana
modus operandi berpolitiknya dan seperti apa modus vivendinya dengan parpol
yang dimilikinya itu tentu harus diletakkan dalam konteks Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah. Sebagai gerakan (movement
atau harakah) dakwah yang selalu mengharuskan adanya mobilisasi sistematis
dan sistematisasi yang dinamis, Muhammadiyah kadang-kadang memerlukan parpol.
Percayalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar