Membuldoser
Aktivis Lingkungan Hidup
Firdaus Cahyadi ; Aktivis Lingkungan
|
KORAN TEMPO, 29 Mei 2015
Jopi Peranginangin
pada 23 Mei 2015, setelah menonton band Navicula yang mendukung kampanye
sebuah organisasi lingkungan hidup, dibunuh. Siapa sebenarnya Jopi
Peranginangin? Kenapa dia dibunuh?
Jopi--begitu ia akrab
dipanggil--adalah seorang aktivis lingkungan hidup. Ia pernah bekerja bersama
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), dan Greenpeace. Sejak Januari 2015, ia menjabat juru kampanye dan
kepala proyek riset perizinan kebun sawit di Sawit Watch.
Akhir-akhir ini Jopi dikabarkan sedang menginisiasi penelitian tentang
peraturan daerah (perda) untuk mencegah korupsi di perkebunan sawit yang
kerap muncul tanpa proses. Proyek itu dilakukan selama setahun di Kalimantan Utara dan
Sulawesi Tengah. Hasil penelitian
rencananya akan diterbitkan sebelum Juli 2015. Sayang, belum sempat hasil
penelitian itu diterbitkan, Jopi telah dibunuh.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, pada awal Mei, seorang
pejabat negara yang sangat dekat dengan kekuasaan mengatakan bahwa sawit
harus diproteksi pemerintah sehingga, apabila ada lembaga atau kementerian,
bahkan LSM (lembaga swadaya masyarakat), yang menghambat perkembangan
industri sawit nasional, mending dibolduser saja.
Apakah pembunuhan Jopi
hanya sebuah peristiwa kriminal biasa atau terkait dengan pernyataan pejabat
yang akan membuldoser pihak-pihak yang mengganggu perkebunan sawit? Jawaban
dari pertanyaan itu bergantung pada sebuah proses hukum yang jujur,
transparan, dan adil atas kasus pembunuhan Jopi.
Terlepas dari apakah
pembunuhan Jopi ada kaitannya dengan pernyataan keras sang pejabat kepada
pihak-pihak yang mengkritik perkebunan sawit atau tidak, yang jelas upaya
untuk membuldoser aktivis lingkungan hidup sebenarnya sudah lama terjadi di
negeri ini.
Ini konsekuensi logis
dari model pembangunan yang kini sedang menjadi arus utama dan didukung para
pengambil keputusan di banyak negara, baik negara-negara maju maupun
berkembang. Model pembangunan itu adalah memaksimalkan keuntungan korporasi
dengan mengeluarkan biaya sosial dan lingkungan hidup dari keseluruhan proses
produksinya. Biaya sosial dan lingkungan hidup itu nantinya akan dibebankan
kepada negara dan masyarakat. Korporasi cukup memberikan sedikit uang untuk
memoles citranya sehingga tetap diterima oleh masyarakat.
Dipertahankannya model
pembangunan seperti tersebut di atas menjadi ancaman bagi aktivis lingkungan
hidup. Sebab, model pembangunan itu mengharuskan negara dan juga korporasi
membuldoser suara-suara kritis aktivis lingkungan dan masyarakat yang
memprotes aktivitas perusahaan.
Jika demikian,
sebenarnya, bila ingin menghentikan upaya membuldoser aktivis lingkungan
hidup, kita harus mengawalinya dengan menghentikan model pembangunan yang
merusak alam. Sebab, keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama. Jika negara
yang seharusnya melindungi keselamatan warganya memilih untuk membuldoser
aktivis lingkungan hidup dan di sisi lain membiarkan terus model pembangunan
yang merusak alam, itu sama saja dengan upaya bunuh diri secara ekologis. Hal
seperti ini seharusnya segera disadari oleh Presiden Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar