Fenomena
Beras Sintetis
Toto Subandriyo ; Alumnus Bioindustri Pangan
Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB
|
SUARA MERDEKA, 29 Mei 2015
MASYARAKAT kembali
dibuat heboh dengan terbongkarnya peredaran beras sintetis terbuat dari
plastik di Kota Bekasi Jabar. Bersamaan dengan itu juga terbongkar pabrik
susu yang terkontaminasi bahan pembersih lantai di Klaten. Makin bertambah
panjang jumlah tindakan tak terpuji yang terbongkar menyangkut produksi dan
peredaran pangan di masyarakat.
Fenomena puncak gunung
es dari karut-marut keamanan pangan secara perlahan menyembul ke permukaan.
Pertengahan Februari lalu masyarakat dibuat heboh oleh berita terbongkarnya
pembuatan bakso daging celeng (babi hutan) oleh pasangan suami istri di
sebuah pabrik rumahan di Bandung.
Disusul berita
terungkapnya praktik industri kikil berformalin di Tasikmalaya Jabar dan di
Jakarta Barat. Polisi juga membongkar praktik pembuatan es batu beracun di
Cakung, Jakarta Timur. Masyarakat juga dibuat gempar dengan berita terbongkarnya
pabrik pembuatan nata de coco yang dalam proses produksinya dicampur dengan
pupuk ZAdi Sleman, DIY. Tidak berselang lama kemudian mencuat berita
terbongkarnya produksi jajanan anak yang menggunakan bahan baku kedaluwarsa
di Sidoarjo, Jatim. Disusul terbongkarnya produksi kue brownies dan cokelat
yang dicampur ganja di Tangerang, Banten. Brownies dan cokelat itu dipasarkan
secara daring hingga merambah mal dan kampus di Jakarta. Masih banyak lagi
praktik tidak terpuji menyangkut produksi dan peredaran pangan.
Termasuk penjualan
jajanan anak yang menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) berbahaya bagi
kesehatan. Berdasar laporan WHO (2010), secara global terdapat 22 macam
penyakit enterik akibat bawaan makanan yang telah menyebabkan kematian 351
ribu jiwa. Lebih dari 40 persen penderita penyakit enterik tersebut adalah
anak-anak usia balita. Agen penyakit enterik penyebab kematian utamanya
adalah Salmonella typhi, enteropathogenic E coli, dan Norovirus.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan bahwa setiap
orang dilarang mengedarkan pangan tercemar. Pangan tercemar meliputi (1)
mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan
atau jiwa manusia; (2) mengandung cemaran yang melampaui ambang batas
maksimal; (3) mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau
proses produksi pangan; (4) mengandung bahan kotor, busuk, tengik, terurai,
atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari
bangkai; (5) diproduksi dengan cara yang dilarang; dan/atau (6) sudah
kedaluwarsa.
Penegakan Hukum
Sesuai
ketentuan, pangan yang diedarkan di masyarakat merupakan pangan yang aman,
sehat, utuh, dan halal (ASUH). Tidak mengandung residu obat-obatan dan BTP
terlarang, berasal dari sumber yang sehat dan tidak mengalami pencemaran
kuman, diperoleh dari hewan ternak sembelihan tertentu tidak tercampur dengan
bagian hewan lain, serta pangan yang sesuai syariat Islam, tidak haram, serta
bukan daging dari hewan mati sebelum disembelih. Setidaknya terdapat dua penyebab
mengapa makanan berbahaya dan beracun marak beredar.
Pertama karena
rendahnya kesadaran masyarakat. Kedua; pengawasan masih lemah. Kesadaran
masyarakat terhadap keamanan pangan terkait erat dengan daya beli. Tingginya
harga kebutuhan pokok telah memicu beredarnya makanan yang tidak memenuhi
kaidah ASUH yang dijual murah. Penggunaan BTP terlarang sangat membahayakan
kesehatan manusia. Mengonsumsi makanan yang menggunakan BTP terlarang secara
akut seperti bahan pengawet formalin dan boraks, pewarna sintetis rodamin B
dan methanyl yellow sangat membahayakan kesehatan organ tubuh kita.
Mau tidak
mau, suka tidak suka, pemerintah harus bergerak cepat dan tegas menyikapi
peredaran beras sintetis dan makanan berbahaya lainnya. Gerak cepat dan tegas
pemerintah antara lain ditujukan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada
konsumen. Juga untuk melindungi produsen makanan yang benar-benar jujur
melakukan usaha agar tidak gulung tikar karena gencarnya pemberitaan media.
Produk pangan yang membahayakan kesehatan harus secepatnya ditarik dari
peredaran untuk dimusnahkan. Langkah penegakan hukum yang tegas menjadi kata
kunci. Lemahnya penegakan hukum membuat kasus-kasus seperti beredarnya beras
sintetis (plastik) yang membahayakan konsumen ini akan selalu terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar