Islam,
Kejumudan, dan Keindonesiaan
Abdul Waid ; Dosen Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama
(IAINU) Kebumen
|
SUARA MERDEKA, 27 Mei 2015
PENULIS pernah ditanya
oleh Irsyad Manji, intelektual muslimat asal Kanada, pada acara bedah bukunya
Allah, Liberty and Love: the Courage to
Reconcile Faith and Freedom (2011) di LKiS, Surowajan, Banguntapan,
Bantul, Yogyakarta, tahun 2012.
Pertanyaannya,”
mengapa arsitektur masjid-masjid di Indonesia secara keseluruhan menyerupai
arsitektur masjid di negara Arab Saudi dan sama sekali tidak mencerminkan
budaya Indonesia seperti arsitektur bangunan Jawa, Bali, Sunda, atau Madura?
Jangan memaksakan untuk selalu sama dalam segala hal dengan Arab karena bisa
mengundang kekerasan.
Terorisme adalah salah
satunya”. Penulis tidak bisa menjawab pertanyaan Irsyad Manji itu karena
memang dalam banyak hal kita selalu mencontoh Arab. Jika ada satu ritual
Islam yang mencoba menghilangkan simbol-simbol Arab dan pada saat yang sama
menonjolkan simbol-simbol keindonesiaan (non-Arab), hal itu dianggap
melanggar pakem.
Bahkan, lebih jauh
lagi, bisa dianggap dosa. Contoh kasus terbaru adalah pembacaan ayat suci
Alquran dalam acara Isra Mikraj di Istana Negara, Jakarta, oleh seorang qari
Muhammad Yaser Arafat dengan menggunakan langgam Jawa. Kejadian ini membuat
gusar banyak pihak. Wakil Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku
Zulkarnaen, misalnya, menyebutnya sebagai hal konyol.
Situasi ini dianggap
mempermalukan Indonesia di mata internasional. Bagi mereka yang menolak pembacaan
Alquran dengan langgam Jawa, meyakini bahwa kitab Tuhan itu harus dibaca
dengan langgam Arab, intonasi Arab, dan dialektika Arab. Di luar itu,
dianggap salah.
Benarkah demikian?
Atau, masih adakah celah keramahan Islam bagi orang-orang non-Arab? Dalam
buku The Phonology of Tone and
Intonation (2004), Carlos Gussenhoven mengatakan, langgam bicara
seseorang dan intonasinya ketika berbicara dan membaca, mustahil bisa diubah.
Ia terbentuk oleh pengaruh lingkungan sejak lahir.
Intonasi bicara semua
orang di dunia dan langgam baca tidak mungkin bisa sama. Pasalnya, lidah
mereka lahir dan terbentuk oleh lingkungan dan budaya yang berbeda-beda.
Karena itu, seperti apa pun langgam pembacaan Alquran oleh orang Arab, tidak
akan pernah sama persis dengan langgam orang Amerika Serikat, Prancis,
Inggris, Italia, atau pun orang Jawa.
Dari sini tampak jelas
bahwa menyeragamkan langgam pembacaan Alquran adalah upaya yang terlalu
memaksakan dan sia-sia. Di sisi lain, upaya tersebut akan menguatkan
pandangan sebagian pihak bahwa Islam adalah agama eksklusif dan
antitoleransi. Bila kita telusuri norma-norma hukum Islam, agama ini
sebenarnya telah merespons keanekaragaman budaya dengan kelahiran sebuah
kaidah fikih,” adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukumî.
Kaidah yang juga
diakui oleh imam paling populer di Asia Tenggara, Abu Abdillah Muhammad bin
Idris As-Syafiíi yang kemudian menyimpulkan bahwa adat istiadat, termasuk
pembacaan Alquran dengan langgam Jawa, dapat dijadikan sebuah hukum (diterima
sebagai kebenaran dalam hukum) selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan
pokok syariat.
Ketentuan-ketentuan
pokok dalam pembacaan Alquran adalah tajwid (ilmu pengetahuan tentang kaidah
serta caracara membaca Alquran dengan sebaik-baiknya). Pembacaan Alquran bisa
salah jika melanggar ketentuan tajwid. Dari semua ketentuan yang ada dalam
tajwid, tidak ada larangan membaca Alquran dengan langgam Jawa, Sunda,
Sumatra, atau Madura. Ketentuan tajwid ini pun sebenarnya masih mengundang
perdebatan.
Sebab, tajwid dan perangkat-perangkat
lainnya dalam Alquran (bukan Alquran-nya) adalah produk budaya. Tahun 62 H,
Abul Aswad al-Duali dan Hajjaj bin Yusuf al- Tsaqafi menciptakan titik-titik
dalam huruf Arab.
Tahun 180 H, Imam
Kholil bin Ahmad al-Faraidi menciptakan tandatanda bacaan huruf Arab dalam
Alquran seperti fathah, kasroh, sukun, dhommah, dan lain-Tahun 210 H, Imam
Abu Ubaid Qosim bin Salam (wafat 224 H) menciptakan ilmu tajwid. Dengan
demikian, tajwid adalah produk budaya dan hasil kreativitas manusia, bukan
murni ketentuan pokok dalam wahyu.
Kearifan Lokal
Salah satu cara untuk
mengeluarkan agama dari lubang kejumudan adalah meneguhkan agama yang ramah
terhadap kearifan lokal. Ingat, radikalisme pemahaman yang melahirkan
tindakan ekstrem seperti terorisme berawal dari kejumudan pola pikir yang
memaksa semua hal harus sama persis dengan apa yang ada di Arab. Tidak hanya
dalam persoalan ritual ibadah, pemaksaan itu juga dikerahkan pada tata kelola
pemerintahan, sistem politik, hukum, kepemimpinan, cara berpakaian, manajemen
bisnis, dan lain-lain.
Artinya, Arab adalah
kiblat yang diyakini sebagai bagian pokok dan penting dalam agama. Kejumudan
semacam itu harus segera diakhiri untuk menatap masa depan agama yang lebih
cerah. Dalam konteks Indonesia, bentuk penekanan kearifan lokal dalam agama
adalah menghadirkan Islam keindonesiaan yang khas.
Mengacu pada konsep
almaqosid al-syariíah (tujuan-tujuan ditetapkannya hukum), semua budaya lokal
yang ada di Indonesia dapat diterima dalam Islam selama tidak bertentangan
dengan menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan
menjaga harta. Hanya dengan menekankan kearifan lokal itulah Islam akan
dikenal sebagai agama damai dan santun, dan agama yang layak diterapkan di
tiap ruang dan waktu.
Mari kita bawa Islam
ke Indonesia, tetapi jangan bawa Arab ke Indonesia. Bukankah Walisongo
berhasil menyebarkan Islam kali pertama di tanah Jawa karena mengadopsi
kearifan lokal? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar