Tradisi
Kehati-hatian KPK
Patra M Zen ; Ketua Komite Bantuan Hukum,
Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat
Indonesia
|
KORAN SINDO, 28 Mei 2015
Fenomena kekalahan
ketiga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan praperadilan
sebaiknya dievaluasi oleh pimpinan KPK. Hal ini bukan saja menunjukkan ada
ketidaktelitian pimpinan KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka,
melainkan juga merupakan ada realitas kekacauan logika dalam menilai dan
menafsirkan alat bukti.
KPK tidak dapat
mempertahankan perbuatan dan keputusannya dalam menetapkan Komjen Pol Budi
Gunawan (mantan kepala Lemdikpolsaat ini Wakapolri), Ilham Arief Sirajuddin
(mantan wali Kota Makassar), dan Hadi Poernomo (mantan ketua Badan Pemeriksa
Keuangan/BPK) selaku tersangka tindak pidana korupsi saat diuji di
pengadilan. Saat pengadilan mengabulkan praperadilan seorang yang telah
ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka, setidaknya ada dua masalah utama yang
muncul yakni bukti permulaan dan perampasan kemerdekaan jika tersangka
ditangkap dan ditahan.
Praperadilan adalah
mekanisme pengujian yang menjadi kewenangan pengadilan untuk menguji sah atau
tidak sahnya perbuatan penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan/penuntutan,
dan penetapan
tersangka, di samping untuk memeriksa permintaan ganti kerugian dan
rehabilitasi jika sebuah perkara tidak diajukan ke pengadilan.
Seperti kita ketahui,
putusan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo dikabulkan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Mei 2015. Kritik terhadap putusan
tersebut tak ayal dilontarkan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrahman
Ruki. Mantan ketua KPK Jilid I (2003-2007) ini menyatakan putusan hakim
praperadilan telah melampaui permohonan pemohon (Hadi Poernomo) dan
bertentangan dengan UU serta memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum
maupun bagi pemberantasan korupsi (SINDONEWS, 26/5/ 2015). Artikel ini tidak
akan memperdebatkan putusan praperadilan yang telah diketuk, tetapi
mengingatkan kembali tradisi kecermatan yang dibangun oleh para pimpinan KPK
di awal berjalannya lembaga ini.
Tradisi Kehati-hatian
Tugas utama penyidik
adalah mencari serta mengumpulkan bukti. Bukti merupakan modal paling utama
bagi penyidik untuk mengetahui apakah benar telah terjadi tindak pidana dan
menemukan siapa tersangka yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut.
Dalam proses
penyidikan, seorang penyidik akan mengumpulkan bukti dengan cara memanggil
saksi-saksi yang dianggap mengetahui peristiwa tindak pidana, mengumpulkan
bukti surat, dan meminta pendapat ahli. Dalam konteks penyidikan KPK, proses
pencarian alat bukti ini tidak jarang terliput media saat penyidik melakukan
penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan melakukan penyadapan yang dimiliki
KPK juga digunakan untuk mendukung proses penyidikan yang dilakukan.
Pada masa awal berdiri
KPK, Taufiequrrahman Ruki adalah seorang pimpinan KPK yang mengajarkan
kehati-hatian dalam bertindak. Ruki bahkan pernah menyatakan, penyidik KPK
diminta untuk mencari lima alat bukti walaupun hukum acara hanya meminta dua
alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Kehati-hatian
diperlukan karena KPK oleh undang-undang tidak diperbolehkan menghentikan
perkara yang telah berlangsung. Tradisi kehati-hatian ini agaknya memudar
belakangan.
Gelar perkara yang
seharusnya dilakukan penyidik dan pimpinan KPK untuk menguji kebenaran dan
kelengkapan alat bukti bahkan ditinggalkan, sebagaimana dinyatakan oleh
mantan penyidik KPK, Hendy F Kurniawan, yang bertugas sejak 2008 sebelum
mengundurkan diri pada 2012. Ketika bersaksi dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan,
mantan penyidik KPK ini menerangkan dirinya mundur karena pernah diminta
pimpinan KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa dua alat
bukti (KORAN SINDO, 11/2/2015).
Ketika pimpinan KPK
menetapkan seorang menjadi tersangka, pada dasarnya menunjukkan kemampuannya
untuk berdisiplin mengemukakan alasan-alasan hukum yang didapatkan penyidik
yang terjun langsung dalam pencarian dan pengumpulan alat bukti. Kemampuannya
mengonstruksikan sebuah peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana
berdasarkan alat bukti yang lengkap.
Serta, menunjukkan
juga kebijaksanaan (wisdom),
wawasan (insight), dan
pengetahuannya (knowledge)
menyeleksi alat bukti. Atau, bahkan meminta penyidik untuk mencari lagi alat
bukti lain agar lengkap sebelum menetapkan seseorang yang disangka sebagai
pelaku peristiwa tidak pidana itu. Di sinilah mekanisme gelar perkara menjadi
sentral dan tidak boleh dilewatkan. Dalam forum gelar perkara ini, para
penyidik dan pimpinan KPK seharusnya berdebat keras agar tidak keliru
langkah.
Perampasan Kemerdekaan
Tradisi yang agaknya
masih tetap dilaksanakan adalah penahanan terhadap tersangka sebelum yang
bersangkutan dilimpahkan berkasnya ke pengadilan. Bahkan muncul istilah
”Jumat Keramat”, di mana seorang tersangka KPK ditahan setelah pemeriksaan
pada hari Jumat. Penahanan apa pun bentuknya merupakan perampasan
kemerdekaan.
”Beruntung” para
tersangka yang memenangkan gugatan praperadilan belum ditahan oleh KPK. Jika
seseorang telah ditetapkan menjadi tersangka, lalu ditahan, dan kemudian
gugatan praperadilannya dimenangkan oleh pengadilan, tentu menjadi masalah
bagi penghormatan hak asasi yang bersangkutan. Ilham Arief Sirajuddin dan
Hadi Poernomo misalnya, walaupun tidak ditahan, keduanya dicekal-dicegah
untuk bepergian ke luar negeri. Hal ini juga merupakan bentuk perampasan
kemerdekaan warga negara untuk bepergian.
Kehati-hatian dalam
menetapkan tersangka menjadi amat penting agar tindakan perampasan
kemerdekaan terhadap yang bersangkutan tidak melanggar hak asasi. Dalam
perspektif dan disiplin hak asasi manusia, bentuk-bentuk perampasan
kemerdekaan seperti penahanan harus didasarkan pada alasan hukum yang benar
dan rasional. Kegagalan memenuhi persyaratan ini merupakan bentuk pelanggaran
hak asasi manusia.
Karena merupakan
perampasan kemerdekaan, sejak tahun 1981 KUHAP melimitasi kewenangan penyidik
untuk melakukan penahanan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
bukanlah merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Bukan juga untuk konsumsi
kehumasan atau bertujuan pencitraan.
Perintah penahanan ini
harus didasarkan pada adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi
tindak pidana. Karena
itu, ”tradisi” penahanan sebelum ada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewisde) juga perlu dievaluasi.
Evaluasi dan Kembalikan Tradisi
Kepentingan dan
harapan agar KPK berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka,
melakukan penahanan, mencegah seseorang bepergian atau pun pemblokiran
rekening, didasarkan 3 (tiga) alasan pokok. Pertama, agar kepercayaan
terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga ini sebagai murni
penegakan hukum tidak pupus. Tidak sedikit kritik yang dilontarkan pengamat
bahwa penetapan tersangka oleh KPK juga dipengaruhi oleh motifmotif
kepentingan di luar penegakan hukum dan keadilan.
Kedua, supaya
kekeliruan prilaku penyidik atau pimpinan KPK dapat segera diakhiri. Secara
mudah masyarakat menilai, jika polisi bintang tiga, mantan pejabat tinggi
negara, atau mantan pimpinan daerah saja dapat ditetapkan menjadi tersangka
tanpa proses yang benar, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepada siapa
pun. Masyarakat menginginkan pimpinan KPK memberi pelajaran dan praktik yang
benar di bidang penegakan hukum.
Ketiga, tentu saja
agar hak asasi warga negara tidak ditunda atau bahkan dirampas tanpa dasar
hukum yang benar dan adil.
Evaluasi kelembagaan
sudah sepatutnya dilakukan oleh KPK sendiri. Mengembalikan tradisi
kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi tugas penting pimpinan dan
Plt pimpinan saat ini dan pimpinan KPK ke depan. Semangat dan gagasan
kehati-hatian di tubuh KPK yang diamanatkan undang- undang sebaiknya
dijadikan tradisi (tradere) di
lembaga ini, di-transmit, dilanjutkan, dan dijaga keberlangsungannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar